Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Jamuan Istana

Aroma teh kamomil menguar memenuhi segala sudut ruangan—pada salah satu kondominium di area Umeda—saat tangan berkeriput itu menuangkannya ke dalam cangkir porselen. Memikat penghidu pria bermata sipit dengan iris sewarna arang yang kini tengah duduk menyilang kaki di ujung sofa. Sebelah tangannya tertumpu pada pinggiran kursi tersebut, menopang dagu. Bibir tebal merah mudanya terus melengkungkan senyum. Ditambah kibasan kesembilan ekor berbulu putih yang meliuk-liuk riang di belakangnya.

“Tampaknya Anda sedang sangat bahagia, Tuan Morikawa,” ucap Sojiro ikut merekahkan seulas senyum. Pandangannya selalu takjub tatkala tuannya itu mengeluarkan ekor-ekornya, meskipun ini bukan yang pertama kali dia lihat. Gin akan menampakkan anggota tubuhnya tersebut dalam keadaan tertentu; jika dia sedang ingin meluapkan ekspresinya secara sengaja atau tidak.

“Sudah lama saya tidak melihat Anda mengeluarkan kesembilan ekor Anda,” lanjut Sojiro. Tangannya kini memindahkan cangkir porselen berisi teh kamomil yang telah diseduhnya kepada Gin. “Apa ada hal menarik yang terjadi?”

“Rasanya aku hampir lupa dengan perasaan berdesir-desir ini, Harada,” jawab Gin. Di dekatkan mulut cangkir ke bibirnya. Menghirup uap beraroma kamomil yang menenangkan itu, sebelum mengecap rasanya.

“Saya penasaran siapa dia?” tanya Sojiro lagi. Tubuhnya kembali tegak, kemudian menempatkan diri untuk duduk di seberang Gin.

“Kau ingat Kobayashi?” tanya Gin.

Sojiro sesaat terdiam, memikirkan sesuatu sebelum menjawab, “perempuan yang datang bersama Keisuke-kun itu?”

Gin mengangguk. Meletakkan kembali cangkir ke atas cawan. “Ada hal aneh yang aku rasakan tentang dia.”

Sojiro mengulum senyum. Tidak biasanya Gin yang telah dikenalnya hampir setengah abad itu bercerita tentang seseorang, apalagi perempuan. Pria yang sudah dipenuhi uban di rambutnya tersebut tahu bahwa Gin sering tidur bersama wanita-wanita demi mendapatkan energi mereka. Namun, lagi-lagi Sojiro tidak pernah tahu siapa saja.

“Hm, ya. Dia perempuan yang menarik,” komentar Sojiro. “Saya baru pertama kali melihat perempuan yang menolak Anda dan mengancam akan melaporkan kepada polisi.” Sojiro terkekeh geli.

“Bukan hanya itu saja, Harada,” sanggah Gin. Pandangannya sedikit menerawang. “Tatapan matanya itu, aku yakin pernah mengenalnya dulu.”

“Begitukah?”

“Meskipun wajahnya tidak sama, tapi aku yakin itu dia. Mata itu. Aromanya. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi.” Pandangan Gin sedikit berkabut. Hatinya tiba-tiba perih. Dia menutup kelopak matanya. Mengenang sebuah peristiwa.

***

Daidairi, Heian-o, 1014 M

Halaman utama istana telah berhias. Semarak dengan berbagai umbul-umbul aneka rona yang dipasang. Sebuah panggung kayu berpelitur merah dan hijau yang cukup besar telah disiapkan; menghadap langsung ke arah bangunan yang menjadi kediaman kaisar. Sepasang tambur berukuran raksasa—yang disebut daidako—terpasang di kedua ujung sisi. Satu di sebelah kiri dengan ornamen naga, matahari, dan emas. Sedangkan di kanan dirancang dengan phoenix, bulan, dan perak.

Enam belas pria dengan kostum berwarna cerah mulai memasuki panggung dengan berjingkat dan sedikit menekuk lutut. Masing-masing bersiap di posisi mereka. Berbagai alat musik sudah berada dalam genggaman. Menunggu aba-aba untuk memulai pertunjukan.

Para bangsawan berpangkat tinggi juga telah duduk takzim di tempat dengan pakaian-pakaian terbaik mereka. Sutra-sutra dengan tenunan halus membentuk warna dan berbagai pola sesuai tingkatan masing-masing. Topi kanmuri pun menjadi pelengkap penampilan.

Pun dengan para wanita yang berhias lebih dari biasanya demi menyambut jamuan tahun baru di dalam istana. Berbedak putih dengan alis yang dilukis tinggi. Hiasan dan ornamen rambut dipasang. Tak luput, tumpukan jubah junihitoe yang dipadukan membentuk gradasi berwarna-warni yang menunjukkan selera tinggi dari empunya.

Saling bercengkerama selama menunggu acara dimulai. Mereka akan bertanya kabar, saling memuji, melemparkan puisi atau lelucon, bahkan bergunjing; berbisik-bisik membicarakan ini-itu dari balik kipas lipat yang mereka buka lebar. Di kalangan bangsawan perempuan, objek santapan mereka tak lain adalah Fujiwara no Mume yang baru saja datang ditemani beberapa dayang.

Kecantikan wanita anggun itu benar adanya. Gerak-gerik lembutnya membuat sebagian mata menatap kepadanya. Gerai rambut hitam panjangnya terikat dengan buntal di atas kepala terhias mahkota kecil bersepuh emas yang disebut houkan. Di kedua tangannya tergenggam kipas lipat dari kayu cemara yang dilukis dan diberi tali warna-warni. Tumpukan jubahnya sungguh elok dengan perpaduan warna memanjakan mata, juga rok celemek yang diikat di belakang membuat kesan riak ketika kakinya melangkah lamat-lamat.

“Bukankah itu putri pertama Daijou-daijin?” bisik seorang nyonya muda yang berada pada barisan tepat di belakang Mume kepada seseorang di sebelahnya. “Aku dengar dia dipaksa menggantikan posisi adik perempuannya yang baru meninggal sebagai calon permaisuri.”

Wanita di sebelahnya mengiakan. “Dia juga tidak pernah tampak di Kyo. Menurut rumor, selama ini dia tinggal di Gunung Hiei dan mendalami ajaran Buddha.”

“Aku juga mendengarnya. Dia akan resmi menjadi permaisuri seusai ritual kedewasaan kaisar,” timpal salah satu di antara mereka.

Tatapan mereka teralih kepada sebuah bilik kecil dengan tirai bambu yang mengelilinginya. Siluet tubuh seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun di dalamnya tampak samar dari pandangan luar. Itulah Sang Kaisar yang baru saja mendapatkan takhtanya.

Mume yang mendengar itu semua hanya bisa mengeratkan genggaman pada kipas lipatnya. Menahan geram yang memanasi hatinya. Apakah orang-orang itu tidak tahu bahwa suara bisik-bisik mereka terlalu berisik dan sampai kepada objek yang sedang dibicarakan? Sungguh, gadis itu muak.

Beruntunglah, gunjingan tersebut tidak berlanjut saat siulan halus mulai terdengar. Awalan yang lembut. Suara seruling bambu yang ditiup itu lalu melengking panjang, ditingkahi ketukan ritmis dari drum kakko dan diikuti oleh tabuhan taiko dan shoko. Sejurus kemudian disambung oleh petikan dawai koto dan biwa secara bersamaan. Semuanya berpadu harmonis dan terkesan mistis dalam pertunjukan ansambel gagaku.

(Koto: salah satu jenis alat musik siter tradisional Jepang.

Gagaku: salah satu jenis musik klasik Jepang yang sudah ditampilkan di istana kekaisaran sejak abad ke-7)

Perhatian teralih. Mume bernapas lega karena tidak lagi menjadi bahan gunjingan. Telinganya khidmat menikmati nada mendayu-dayu yang dikeluarkan oleh sekumpulan pemusik pria yang tengah berada di atas panggung pertunjukan. Semuanya tampak biasa saja dan terdengar tenang. Hingga suara bisik-bisik itu mampir lagi ke telinganya, memecah kekhusyukannya.

“Kau lihat pemain biwa di sebelah kiri itu? Aku belum pernah melihatnya.”

“Sepertinya dia pemain baru.”

“Tampannya.”

“Coba lihat! Pandangan matanya juga tajam.”

“Terlihat seperti seorang pria sejati.”

“Sepertinya aku harus mengajaknya bermalam.”

“Nyonya, Anda ini sungguh keterlaluan. Berilah kesempatan kepada kami yang masih muda ini.”

Lalu suara tawa pelan terpecah. Begitulah percakapan mereka yang membuat Mume jengah sekaligus jijik. Dibukanya kipas lipat miliknya. Tentu saja bukan karena udara yang gerah. Namun, untuk mengintip siapa gerangan yang menjadi pembicaraan. Mume menyembunyikan wajah. Hanya sepasang mata almonnya dengan obsidian hitam yang terlihat. Dia memfokuskan pandang ke arah panggung, kepada Sang Pemain Biwa.

“Baiklah. Dia memang punya aura yang memesona,” bisiknya dalam hati.

Meski biwa bukanlah instrumen utama dalam seni gagaku, tetapi orang itu terlihat lebih menonjol dari yang lain. Pipinya yang tirus dengan rahang kokoh, juga mata kecil nan tajam. Karismatik. Kurang lebih itulah hal yang bisa dinilai oleh Mume. Membuat pria itu mampu lebih terlihat di antara keenam belas pemusik.

Gadis itu terperanjat tatkala pandangannya tak sengaja berserobok dengan mata Si Pemain Biwa. Gegas dia menggulir bola matanya ke arah lain; berpura-pura tak melihat. Akan tetapi, tatapan itu tetap lekat kepadanya. Menghunjam keras ke arahnya seakan tak ingin lepas begitu saja—walaupun satu inci—dari gerak-geriknya.

Merasa tak nyaman. Perlahan Mume memalingkan mata kembali dan menemukan pemain biwa tersebut melengkungkan senyum tipis kepadanya. Sekejap, jantungnya berdegup kencang. Desiran halus pada aliran darahnya menimbulkan sensasi menggelitik yang baru dirasakannya. Dia bahkan lupa dengan kipas yang menutupi sebagian wajahnya dan hampir melorot dari tangannya. Namun pada detik berikutnya, Mume kembali tersadar. Dilipatnya benda dalam genggamannya itu, lalu mengangkat dagu; memasang wajah angkuh. Bertingkahlah seperti gadis ningrat lainnya, Mume.

***

Menghirup udara segar. Mungkin inilah yang Mume perlukan sekarang—setelah lelah tersenyum di dalam sana dan mengakibatkan pipinya hampir kram. Dia berada di taman istana bagian barat yang masih menggersang akibat musim dingin yang masih berlangsung. Seperti tanpa kehidupan di sini, hampir seluruh tanaman tak berdaun. Namun, ada satu yang menarik perhatiannya. Sebatang pohon prem yang mulai mengeluarkan kuncup bunganya pada ranting-ranting tipis nan kurus.

“Sepertinya kau sedang kabur, Nona?” kejut Shirogane tiba-tiba saat Mume sedang menatap kosong pada kuncup kecil itu.

Gadis itu terkejut. Nyalang dan segera bersikap waspada. Dia menarik lengannya tepat di depan hidung, membuat kain jubahnya ikut terangkat dan menutupi sebagian wajahnya. Kedua mata berbentuk almon itu mengintip, mendapati pemuda Si Pemain Biwa ada di sana. Hanya berjarak lima kaki darinya.

“Apa kau mengikutiku?” tanya Mume seraya mundur satu langkah.

Shirogane tersenyum tipis. Gadis di hadapannya ini telah mampu menarik penuh atensinya beberapa saat lalu. Dunianya seakan teralih begitu saja tatkala sepasang mata meneduhkan itu melihat ke arahnya dengan saksama. Suara genderang musik yang memenuhi telinganya mendadak sunyi. Terganti oleh desir yang merajai. Oh, mungkin inikah yang dinamakan manusia sebagai cinta pada pandangan pertama?

“Bagaimana jika aku mengatakan iya?” tanya Shirogane balik.

Tentu saja dia melakukannya. Sejak bayangan Mume memenuhi matanya, segala tindak tanduk perempuan itu tak pernah luput dari pengindraannya. Bahkan ketika dia diam-diam menyelinap untuk kabur saat jamuan makan sedang berlangsung. Semua berlangsung di bawah pandang Shirogane.

Mume membelalak. Pria itu terlihat berbahaya. Perasaan waspada semakin dia rasakan. Kakinya kembali melangkah mundur. Dia harus kabur dari pemuda ini. Akan tetapi, dengan cepat lengannya dicengkeram oleh Shirogane yang tak ingin membiarkannya pergj begitu saja.

“Kau bisa melepaskan tanganmu,” sentak Mume.

Shirogane tidak menuruti permintaan perempuan itu tentu saja. Dia malah semakin mengikis jarak mereka. Hingga kedua pasang mata itu saling menatap dalam dekat. Bahkan wajah Mume kini tanpa penghalang.

“Jika ada yang bisa mengalahkan kecantikan bunga prem yang mulai menguncup di musim dingin, itu adalah kau, Nona.” Sebuah rayuan keluar dari bibir tebal Shirogane.

“Bualanmu tidak akan berguna untukku,” balas Mume seraya mendorong tubuh Shirogane menjauh.

“Oh, begitukah?” angguk Shirogane. “Lalu, haruskah aku katakan bahwa kau merasa bosan?” Kembali Shirogane mengulas senyum.

“Jangan bicara seenaknya! Tahu apa kau?” tuding Mume. Dia tidak menyukai penilaian orang lain terhadap dirinya.

“Anda menyelinap kabur dari acara jamuan. Bukankah itu menunjukkan bahwa Anda lelah berpura-pura tersenyum dan bersikap seperti wanita bangsawan lainnya?”

Mume membisu. Kalimat Shirogane tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Sejak kecil ayahnya telah mengirimnya ke Gunung Hiei, jauh dari ibukota. Membuatnya tak pernah terbiasa dengan acara pesta para kaum ningrat.

“Aku dengar kau adalah calon permaisuri. Tetapi kenapa kau terlihat tidak bahagia?” lanjut Shirogane. Matanya berusaha menyelidik apa yang ada di dalam hati Mume. “Ah, bukan. Maksudku berpura-pura bahagia,” koreksinya.

“Apakah kebahagiaan harus diukur dengan apa yang terlihat?” balas Mume dalam bisik.  “Dalamnya hati seseorang tidak akan ada yang pernah tahu.”

“Kau benar, Nona. Namun, yang terlihat olehku adalah kau yang berpura-pura tersenyum di dalam sana. Padahal jelas terlihat bahwa kau tidak menyukainya.”

Perempuan itu kembali merenung. Memang dia hanya berpura-pura tersenyum dan bersikap sesuai etika yang berlaku. Bahkan dia juga pasrah ketika kabar meninggalnya Sang Adik sampai di telinganya. Membuatnya harus melanjutkan beban tanggung jawab sebagai calon permaisuri kaisar.

“Maka, kenapa kau tidak menciptakan kebahagiaanmu sendiri, Nona?”

Mume terperangah. Kalimat Shirogane barusan begitu mempengaruhi pikirannya. Selama ini dia hidup sesuai protokol ayahnya. Selalu didikte ketika melakukan apa pun. Dia tidak ingat kapan terakhir kali melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.

Kuncup bunga prem menjadi saksinya. Tatkala Sang Bunga mulai merekah. Memekar dengan caranya sendiri, bukan dengan aturan orang lain. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro