7. Odonata
Riuh rendah suara aplaus menggema seiring berakhirnya sesi presentasi hari ini. Seorang mahasiswa berambut gondrong dan berpakaian rapi membungkuk dari atas podium kecil di salah satu sudut ruangan. Lampu kembali terang, bersamaan dengan layar proyektor yang dimatikan. Seluruh anggota laboratorium entomologi—termasuk profesor dan kepala lektor—sudah duduk di sana selama satu jam. Menyimak penjabaran kemajuan penelitian yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa.
Sudah menjadi rutinitas laboratorium entomologi setiap minggunya untuk mengadakan seminar bagi mahasiswa anggotanya. Secara bergantian mereka akan melakukan presentasi dan melaporkan progres penelitian yang diambil serta mendapatkan masukan dari Profesor Saito dan lainnya.
Sebuah kegiatan yang selalu disukai oleh Sayo semenjak menjadi anggota lab musim semi lalu. Bagaimana gadis itu selalu antusias saat Senin tiba—hari diadakan seminar—selalu tampak pada binar matanya yang penuh keingintahuan. Dia akan mengambil tempat duduk yang terdepan. Mencatat hal-hal apa yang kiranya penting, dan terkadang memberi saran. Akan tetapi, tidak untuk kali ini. Pandangan tersebut lebih banyak kosong; melamun. Pikirannya berkelana. Saat Mume muncul dalam cermin yang memantulkan bayangannya.
Peristiwa di apartemen masih hangat di benaknya. Roh nona aristokrat tersebut meminta hal gila kepadanya. Mendekati Shirogane. Oh, bukan. Maksudnya Gin. Atau?
Jujur, Sayo sedikit dibuat pusing. Apa hubungan antara Shirogane dan Gin? Siapa dia? Apakah Gin adalah reinkarnasi Shirogane atau semacamnya? Dan kenapa Mume bisa merasuki-nya?
Inginnya tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Namun, ancaman Mume kepadanya jika dia tidak mau mendekati Gin—sesuai keinginannya—masih terngiang-ngiang di kepalanya.
“Jika kau tidak mau? Aku yakin kau akan melakukannya. Karena jika tidak mau aku yang akan melakukannya sendiri,” kata Mume saat itu dengan nada yang menciutkan nyali. Senyumnya menyeringai menakutkan.
“Kobayashi!” Tepukan keras di pundak Sayo berhasil membuatnya tersadar. “Kau kenapa?”
Tampak salah seorang temannya menegur Sayo yang sedari tadi melamun. Gadis berkucir ekor kuda dan mengenakan kacamata tersebut tampak sedikit khawatir sebab Sayo tidak terlihat seperti biasanya.
“Eh, seminarnya sudah selesai, ya?” tanya balik Sayo yang baru menyadari bahwa di ruangan itu telah sepi. Hanya tinggal dirinya dan Namie—mahasiswi berkucir ekor kuda yang satu tingkat di atasnya tersebut—di dalam sini.
“Kau tidak apa-apa, kan? Minggu depan adalah jadwal presentasimu. Tadi Profesor Saito memintamu untuk bersiap-siap,” ucap Namie segera mengajaknya bergegas keluar ruangan dan menguncinya.
“Terima kasih sudah mengingatkanku, Senpai,” kata Sayo tulus yang dibalas oleh anggukan Namie.
(Senpai: senior, kakak kelas)
Sayo pun segera bergegas. Dia harus melakukan pengambilan data lagi. Lupakan sesaat tentang Mume dan permintaan konyolnya. Dia tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Ada yang jauh lebih penting yang harus dia raih.
Gadis berambut hitam jelai tersebut kembali ke laboratorium dan mengemasi mejanya. Memasukkan beberapa barang ke dalam ransel lalu menyandangnya pada kedua bahu. Tak lupa sebuah tas besar berisi peralatan sampling yang telah dia persiapkan. Hari ini dia berencana akan pergi ke salah satu sungai di kebun botani milik fakultas yang cukup jauh; kira-kira satu setengah jam perjalanan dengan kereta.
Kaki itu melangkah tergesa. Memijak lantai berkeramik putih hingga menimbulkan suara derap yang menggema di seluruh koridor. Selasar demi selasar dia susuri untuk menuju pintu keluar gedung. Hingga langkahnya tiba-tiba terhenti oleh sebuah lengan yang menghadangnya saat baru saja menapaki jalanan kampus.
Sayo mendongak. Mendapati sepasang iris arang yang akhir-akhir ini menarik rasa penasarannya. Dia terkejut, tentu saja. Kenapa pria ini bisa berada di sini?
“Hai, Nona. Sepertinya kita memang ditakdirkan untuk bertemu kembali,” sapanya diiringi seringai menawan yang Sayo yakin bisa membuat wanita apa pun tertawan.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Sayo menautkan alis. “Apa kau sengaja mengikutiku?”
Gin tergelak. Gadis di hadapannya ini benar-benar sesuatu. “Kalau iya memangnya kenapa?”
“Sepertinya aku harus benar-benar menelepon polisi atas tindak pelecehan seksual tempo hari dan penguntitan,” desis Sayo seraya menyingkirkan lengan besar Gin dari hadapannya.
Pria tinggi besar itu semakin melebarkan senyum. Sikap tak acuh Sayo benar-benar telah menarik perhatiannya. Bahkan dia sampai harus menemuinya di kampus akibat rasa penasaran yang tidak mampu dibendung lagi.
“Apa kau ingin pergi?” tanya Gin menyusul langkah Sayo.
“Iya,” jawab gadis itu dengan lugas.
“Ke mana? Sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar makan siang,” ucap Gin.
“Terima kasih atas tawarannya. Tapi, aku harus melakukan hal yang jauh lebih penting.”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan ikut denganmu.”
Langkah Sayo mendadak berhenti. Dia menelengkan kepala ke arah Gin. Melirikkan kedua matanya dengan tajam.
“Apa kau tidak memiliki pekerjaan lain?” tanyanya.
“Pekerjaanku adalah bersenang-senang,” jawab Gin ringan diselingi tawa kecil.
“Dasar orang tua pengangguran,” maki Sayo merekahkan senyum lebar Gin. “Jangan berani-beraninya mengikutiku!”
“Jika aku menolak?”
Sayo memutar bola matanya ke atas. Segera dia merogoh saku celana dan mengambil gawainya. Sejurus kemudian, benda pipih tersebut sudah menempel di telinga kanannya. “Halo, kantor polisi?”
Gin dengan cepat merebut ponsel dari tangan Sayo dan mematikannya. Membuat gadis itu mendelik dan berusaha merebut gawai miliknya. Namun, Gin yang lebih cekatan segera memasukkan benda berwarna perak metalik tersebut ke kantong celana.
“Aku akan mengembalikan ponselmu jika kau mengizinkanku untuk ikut,” kata Gin.
“Kekanakan,” maki Sayo tidak percaya.
Dia tak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya bisa bergeming memandang senyum kemenangan Gin yang sudah berada di depan mata. Gadis beriris hitam dengan rambut bak julur jelai itu pun mendesah.
Mereka tidak sadar bahwa ada sepasang mata lain yang mengawasi keduanya. Di balik jendela kaca lantai tiga gedung Fakultas Sains dan Teknik. Wajah berbingkai kacamata itu mengamati lekat segala interaksi Sayo dan Gin. Memfokuskan pikiran agar mampu mendengar percakapan di antara mereka meski dengan jarak sejauh ini.
***
Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi gadis bermata hitam dengan tenunan rambut sebahu itu, selain berada di dekat alam. Menepi sejenak dari hiruk-pikuk metropolitan Osaka yang angkuh ke suatu tempat yang tenang bersahaja. Bising yang memekakkan telinga berganti suara angin, desik dedaunan, dan tonggeret yang mulai menyanyi pertanda datangnya musim panas. Hanya hijau yang tertangkap sejauh pandangan, pun udara penuh ion negatif yang memenuhi paru-parunya.
Butuh waktu satu jam mendaki dari pintu masuk kebun botani hingga mereka mencapai tempat ini. Sebuah sungai yang tak terlalu lebar dengan arus yang cukup tenang. Sayo langsung mempersiapkan semua perlengkapannya; sebuah jaring mes dengan gagang panjang dan ember. Sepasang bot kini menggantikan sepatu canvas-nya. Kepalanya terlindungi oleh topi bucket berbahan denim yang sedikit memudar warnanya akibat terlalu sering terkena terik matahari.
Gin yang sedari tadi hanya mengekori Sayo pun mengamati semua gerak-geriknya. Duduk di atas sebuah batu di tepi sungai dengan kaki menyilang, sepasang mata arang itu lekat memperhatikan. Bagaimana gadis tersebut mengukur suhu air dan keasamannya, hingga kini tengah melawan arus dengan jaring yang dimasukkan ke dalam air sembari alas kakinya menggesek-gesek dasar sungai. Semuanya tidak luput dari perhatiannya.
“Apa aku boleh bertanya sesuatu?” ucap Gin memecah keheningan yang hanya diisi angin sedari tadi. Mulutnya sudah gatal sebab Sayo yang melarangnya untuk berbicara apa pun selama perjalanan di kereta. Bahkan ketika mereka mendaki hingga ke sini.
“Tidak,” jawab Sayo cepat tanpa mengalihkan fokusnya.
“Kau benar-benar lugas sekali. Mirip seperti Keisuke.”
“Terima kasih,” timpal Sayo ketus.
“Baiklah.” Gin melebarkan senyum. “Tapi aku benar-benar penasaran dengan sesuatu.”
“Aku harap kau tidak bertanya apa pun.” Sayo sedang tidak ingin fokusnya teralih kepada apa pun selain penelitiannya.
Gin terkekeh kecil. Perempuan yang kini sedang berpanas menantang matahari itu ternyata begitu liat. “Apa kau tidak takut kulitmu terbakar matahari dan menjadi cokelat?”
“Apa kau bisa diam?” tanya Sayo mulai jengah dengan berbagai perkataan Gin. Tangannya mengusap peluh yang mulai membanjiri dahi dan lehernya.
Gin menggeleng. “ Aku sudah diam hampir tiga jam.”
Sayo mendengkus. Jika saja bukan karena ponselnya hingga saat ini masih tertawan pada pria itu, dia tidak sudi keasyikannya terganggu oleh kehadiran orang lain.
Senyuman kembali merekah di kedua sudut bibir tebal Gin tatkala melihat Sayo hanya diam dan kembali menyaruk-nyaruk air. “Apa kau sedang mengumpulkan berbatuan sungai?”
“Bukan, tapi mencari serangga.”
“Serangga? Dengan itu?” Telunjuk Gin mengarah ke jaring mes dengan gagang panjang di genggaman Sayo.
“Tentu saja,” jawab Sayo singkat.
“Oh, ya. Kau ini mahasiswinya Keisuke, ya?” gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.
Mata arang itu tak henti menatap Sayo. Meski pemandangan di sekitarnya tidak bisa dikatakan biasanya saja—bahkan cenderung indah dengan bukit-bukit yang tertutup pepohonan berlatar langit biru yang cerah. Namun, retinanya tak teralih satu senti pun pada perempuan yang tengah melalukan pekerjaannya dengan serius.
“Sepertinya kau menyukai serangga,” tebak Gin.
Sayo kembali menepi dengan jaring penuh benda abiotik sungai dan biotik-biotik kecil yang dia cari. Dia meminta Gin membantunya mengisi air pada ember kecil yang sudah dipersiapkan. Sejurus kemudian, seluruh isi jaring pun ditumpahkan ke dalam ember dan memilahnya.
“Serangga mewakili hampir 90% spesies hewan di bumi,” ucap Sayo tanpa ditanyai oleh Gin.
“Benarkah?” tanya Gin cukup terkejut. Selama ribuan tahun hidupnya, dia baru mendengar hal semacam itu.
Sayo mengangguk serius. “Ada sekitar 800 ribu hingga satu juta spesies serangga yang sudah diidentifikasi. Meskipun banyak, tapi kehadirannya diabaikan oleh manusia. Padahal serangga adalah makhluk yang diciptakan untuk memiliki daya guna besar bagi kehidupan manusia. Salah satunya menjadi bio-indikator lingkungan. Kita bisa mengetahui tingkat cemaran hanya dengan melihat seberapa banyak keanekaragaman serangga di daerah itu.”
Gin benar-benar takjub. Bukan karena fakta yang baru saja dijabarkan oleh Sayo. Akan tetapi kalimat demi kalimat yang baru saja diucapkan oleh gadis itu adalah yang terpanjang yang pernah dia dengar. Diam-diam pria itu mengulum senyum.
Kegiatan memilah pun sudah selesai, hingga hanya menyisakan serangga-serangga kecil dari ordo ephemeroptera, coleoptera, plecoptera, trichoptera, dan odonata yang tertinggal. Gin ikut tertarik melihat saat Sayo memasukkan insekta tersebut ke dalam sebuah wadah kaca kecil dan menunjuk pada satu hewan.
“Serangga apa ini? Mirip jangkrik,” tanyanya.
“Itu bukan jangkrik, tapi nimfa capung,” jelas Sayo sembari bersiap untuk mengambil serangga lagi di dalam air.
“Bentuknya tidak mirip capung,” komentar Gin.
“Apa kau pernah melihat bentuk ulat yang sama seperti kupu-kupu? Capung menghabiskan sebagian besar hidupnya; antara dua sampai enam tahun sebagai nimfa di dalam air daripada terbang di udara. Saat mereka dewasa dan memiliki sayap, itu berarti hidupnya tinggal beberapa minggu saja. Mereka berburu, lalu kawin, dan bertelur di dalam air.”
Gin semakin mengulum senyum. Kini dia tahu bagaimana caranya agar bisa mengakrabi Sayo. Yaitu dengan pembicaraan tentang hal-hal yang disukainya; serangga.
“Aku tahu sesuatu tentang capung,” ujar Gin tatkala Sayo hampir menceburkan kakinya ke dalam air kembali. “Saat capung kawin, mereka akan saling menempelkan ekornya hingga membentuk tanda hati, kan? Aku harap kita juga memiliki kesempatan seperti sepasang capung yang—”
Kalimat Gin terputus. Dia merasakan lengannya tertarik dengan keras secara tiba-tiba. Keseimbangannya goyah, membuat tubuh besar itu oleng. Detik berikutnya, bisa dipastikan pria itu terjerembap ke dalam air. Matanya terbeliak ketika mendapati sepasang mata itu begitu dekat dengannya; tubuh kecil dalam kungkungannya. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro