Part 3
Hai...
Aku come back lg dgn ceritanya Estu...
Semoga masih ada yg baca + nungguin ceritanya Estu...
Happy reading...
🌼🌼🌼
Rumah terasa sepi, gelap gulita ketika Restu menginjakkan kakinya di rumah mewah yang sedari lahir ia tempati. Biasanya ada para pekerja yang berseliweran. Kedua orang tuanya sering tidak ada di rumah karena mereka sama-sama bekerja. Ia menduga mungkin saja di luar sana kehidupan orang tuanya sangat lah liar. Ayah dan ibunya masing-masing mempunyai pasangan untuk menghangatkan ranjang mereka. Restu tidak ingin mencari tahu karena itu sudah menjadi urusan kedua orang tuanya. Lagi pula mereka sudah sama-sama dewasa kan?
Memasuki kamar, Restu merebahkan badannya ke kasur yang terasa dingin. Matanya melihat lurus platfrom kamar. Kadang menjadi anak tunggal itu tidak mengenakan karena tidak bisa menceritakan keluh kesah yang dirasakannya. Kadang ia iri dengan Sangaji yang mempunyai kakak dan adik. Rumah tidak akan menjadi sepi karena kehadiran saudaranya. Tidak sepertinya yang sering merasa kesepian. Restu tersenyum sedih akan nasibnya, lebih baik ia memikirkan cara bagaimana bisa mendekati Sabina dan membuatnya nyaman akan kehadirannya. Dari pada memikirkan jalan hidupnya yang sudah sangat berantakan.
Restu merasakan getaran ponsel di saku celana. Mengambilnya dan melihat sebaris kata yang mengajaknya untuk berkumpul bersama teman-teman semasa kuliah. Ia menimbang-nimbang apakah akan menerima ajakan bertemu dengan teman-temannya atau tidak.
Ah, ikut aja lah, lagian Aji lagi di rumah orang tuanya.
Bangun dari tidurnya, Restu menyambar kunci mobil dan dompet. Mengendarai mobilnya, menuju di mana teman-teman yang biasa membawa kesenangan sesat untuknya menunggu.
**********
Sangaji terbangun dari tidur lelapnya. Ia merasa terusik akan dering ponsel yang terus-terusan menjerit meminta perhatiannya. Baru saja ia mau mengangkat panggilan yang berasal dari Restu. Namun, panggilan itu sudah terputus. Tidak lama masuk nada pesan yang memberitahukan kalau Restu berada di depan pintu apartemennya dan ternyata yang menghubunginya bukan lah Restu. Ia tahu siapa orang yang mengantarkan Restu ke apartemannya.
Masih aja temanan sama orang-orang kaya gitu. Gilanya kumat tuh anak, gumam Sangaji dalam hati. Ia melirik jam yang berada di sampingnya. Menunjukan sudah pukul tiga pagi. Sekalian saja ia bersiap-siap untuk ke kantor dan kembali ke apartemannya. Ia akan kembali pulang ke rumah orang tuanya saat akhir pekan nanti.
Mengendari mobil, Sangaji menuju daerah Sudirman Jakarta selatan. Di mana apartemennya berada. Tidak sampe satu jam lebih ia sudah memarkirkan mobilnya di basman aparteman. Saat langkah kakinya sudah mendekati unit apartemennya, ia melihat seorang pria yang duduk di lantai. Menyenderkan tubuhnya di pintu dan seorang laki-laki yang berdiri.
Pria yang berdiri menoleh, ia tersenyum tipis.
"Sudah lama kalian di sini?" tanya Sangaji melirik Restu yang sedang tertawa seperti orang gila. Mukanya memerah karena banyaknya minuman keras yang masuk ke dalam tubuhnya.
"Belum lama, gue cuma nganterin Estu ke sini, karena dia yang minta buat di anterin ke tempat Lo," ujar pria yang memakai Hoodie biru.
"Thanks."
"Gue pamit kalau gitu."
Sangaji melihat kepergian teman Restu yang setahunya membawa dampak negatif untuk sang sahabat. Ia menghembuskan napasnya lirih melihat Restu dalam keadaan kacau.
"Gimana gue mau percayain adek gue sama Lo, kalau Lo nya aja gak bisa buat gue percaya?" gumam Sangaji lirih. Ia mengangkat badan besar Restu dan melingkarkan tangannya dilehernya membawanya masuk ke dalam.
*************
Restu merasa terganggu dalam tidurnya, ia membuka matanya pelan-pelan. Ia dapat melihat sinar matahari yang langsung ke wajahnya. Ia membalikan tubuhnya membelakangi jendela kamar yang sudah terbuka lebar.
"Udah bangun Lo?" sapa Sangaji yang masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Restu.
"Hm."
"Gue mau siap-siap kerja, ada nasi goreng di meja makan."
"Hm."
"Ham Hem ham, gak bisa ngomong Lo?"
"Ji."
"Apa?"
"Pinjem ponsel," minta Restu membalikan badannya. Ia menengadahkan telapak tangannya menunggu.
"Buat apaan?"
"Buat ngirim pesan."
"Jangan aneh-aneh Lo," ancam Sangaji memberikan ponselnya.
Restu mengambilnya dan menutup seluruh badannya dengan selimut.
"Gak kerja Lo?" tanya Sangaji.
"Gak, libur dulu sekarang."
"Mentang-mentang usaha bokap sendiri, banyak gaya Lo," sinis Sangaji melipat kedua tangannya di dada.
"Tutup pintunya nanti gue balikin ponsel Lo," usir Restu tanpa harus menjawab kata-kata Sangaji.
"Eh, dasar sahabat laknat Lo!" Sangaji membanting pintu kesal. Membuat Restu terlonjak kaget. Ia hanya mendengus kesal atas ulah Sangaji.
Restu kembali fokus ke dalam ponsel milik Sangaji. Ia mengecek setatus di aplikasi whatsapp, siapa tahu gadis pujaannya membuat story'. Tapi ternyata tidak ada, ia tidak habis akal. Jemarinya mulai mengetik pesan di nomer Sabina.
Me :
Dek, kamu lagi ngapain?
Si Bontot :
Lagi nghapalin surat Al-Baqarah, Mas.
Me :
Gak ke kampus dek?
Si Bontot :
Nanti siang, Mas.
Me :
Jam berapa?
Si Bontot :
Jam satu lewat.
Me :
Coba Mas mau dengar hapalan kamu.
Tidak lama Sabina mengirim pesan suara yang berisi suara Sabina dengan lantunan surat Al-Baqarah, terdengar sangat lah merdu di telingganya. Ya Allah merdu banget suara calon bini gue, kata batin Restu yang tersenyum senang. Tingkahnya sudah seperti remaja labil yang sedang jatuh cinta padahal umurnya sudah mau memasuki kepala tiga. Ia meneruskan pesan yang berisi suara Sabina ke dalam nomernya sendiri. Ponsel Sangaji bergetar kembali bertanda ada pesan masuk lagi dari Sabina.
Si Bontot :
Gimana Mas? Ada yang salah gak?
Me :
Gak ada yang salah kok, udh bagus malah.
Saat jarinya ingin mengetik pesan kembali tiba-tiba saja ponselnya di rebut oleh Sangaji.
"Udah, gue mau berangkat kerja, kerjaan gue banyak. Pulang Lo ke unit sendiri."
"Iya, bawel Lo kaya emak-emak," balas Restu mengulung dirinya dengan selimut karena takut kena pukul. Tidak terdengar suara apa-apa, Restu menduga kalau Sangaji sudah berangkat bekerja, membuka selimutnya pelan-pelan. Restu mengaduh kencang karena belakang kepalanya di keplak oleh Sangaji yang ternyata belum lah pergi.
"Njirrr!" teriak Restu mengusap kepalanya yang terasa berdenyut.
Sangaji tergelak kencang dan berlari keluar dari kamar yang biasa di tempati oleh Restu ataupun teman-temannya bila menginap.
Restu ngedumel di dalam kamar. Ia turun dari kasur dan memasuki kamar mandi. Ia berencana ke kampus Sabina untuk melihatnya dari jauh. Ia takut Sabina tidak baik-baik saja di sana.
Jakarta, 27 Mei 2023
~Cindy Arfandani~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro