XXXIII
──────────
Restore Me
──────────
***
XXXIII
***
Sesuai janjinya, Kaia memaafkan Indra. Dia menerima Indra kembali, mereka melakukan aqiqah untuk Janaka, dan memberi nama lengkap Janaka Nawasewa Kesuma. Nama belakangnya adalah nama yang Indra berikan untuk Janaka, Kaia tidak banyak protes dia bahkan menerima semua nama depan dan nama keluarga yang Indra putuskan.
Sampai saat ini, Kaia percaya bahwa Indra tidak mencintainya, dan dia tidak bisa mencintai Indra. Mungkin, karena itu adalah coping mechanism yang Kaia pakai untuk melindungi dirinya, Kaia tidak mau merubah persepsinya tentang Indra. Apakah Indra mencintainya atau tidak, itu bukan urusannya.
Karena Kaia rasa, dia tidak perlu tahu akan apa yang terjadi nantinya. Jika, suatu saat Desy mungkin bisa kembali lagi, atau Indra yang masih memiliki rasa yang tertinggal pada Desy, Kaia rasa dia tidak perlu tahu. Fokusnya kini adalah pertumbuhan Janaka dan kesehatan mentalnya. Terlebih dia menerima Indra kembali, dia hanya ingin Janaka memiliki kasih sayang yang lengkap dan berusaha memberikan kedamaian untuk dirinya sendiri.
Sejak Janaka lahir, Kaia sadar diri bahwa dia tidak bisa memberikan momen yang pas dan baik untuk anaknya. Kelahiran anaknya harusnya menjadi hari yang membahagiakan bukan hanya dilalui oleh rasa pelik dan kekecewaan.
Ubahnya perilaku Indra, mungkin itu bentuk dari tanggung jawab yang pria itu lakukan. Maka itu, menjalani hari bersama Indra Kesuma yang Kaia anggap sebagai teman dan Ayah Janaka cukup melelahkan pada awalnya. Membayangkan bagaimana Indra bisa kembali tinggal bersamanya, tapi ketika Kaia membayangkan bagaimana Desy yang mengklaim bahwa Indra juga miliknya membuat hati Kaia panas.
Ingatan itu tidak pernah bisa hilang, itu kenapa ada masanya Kaia enggan melihat wajah Indra, dan karena sikapnya yang keterlaluan juga pada Indra, Kaia mengabaikannya beberapa kali, dalam waktu yang sering. Indra pasti bisa merasakan perbedaannya, Kaia percaya Indra bukan pria bodoh kalau ternyata Kaia sendiri benci dan enggan bersikap baik pada suaminya sendiri.
Tapi ternyata, kebiasaan itu sudah mendarah daging, intinya Kaia sudah membebaskan Indra sejak lama dari hatinya.
Janaka kini sudah menginjak usia enam bulan, MPASI adalah program percobaan yang Kaia berikan pada Janaka. Meskipun sudah mengikuti takaran nutrisionis tetap saja, Kaia masih belum percaya diri memberi Janaka makan dengan tangannya sendiri.
"Wah.. Naka mau makan ya?" Indra baru saja keluar dari kamar ketika melihat Janaka telah duduk di salah satu kursi khusus untuk bayi.
"Iya, Ayah.. sudah mulai makan, nih," jawab Kaia.
Menurut perhitungan protein MPASI yang dianjurkan untuk bayi enam sampai delapan bulan adalah dua ratus kalori perhari atau setara dengan sepuluh sampai lima belas persen. Tapi tetap saja, praktiknya tidak semudah itu nyatanya. Kaia lebih percaya bahwa porsi makan Janaka akan muat seukuran kepalan tangan Janaka saja, bukan kepalan tangan miliknya.
Kaia sudah bereksperimen pagi ini, membuat nasi, telur ayam, santan, wortel dan tempe. Intinya, semua dijadikan satu dan membuat konsistensi makanan untuk Janaka seperti bubur, bahkan bisa dibilang lebih lembut dari bubur, Kaia tidak mau usus Janaka bekerja lebih ekstra untuk pertama kalinya.
Anaknya terlihat excited, karena sudah bisa duduk, dan di hadapannya terdapat sebuah gelas anti tumpah yang sudah diisi air oleh Kaia, Janaka sampai menekuk wajahnya dengan konsentrasi melihat permukaan air yang bergoyang karena ulahnya.
"Itu air, Nak.. buat Naka minum, okay? Sekarang, Ibu mau kasih Naka makan, semoga Naka suka, ya.. kalau nggak suka nggak apa-apa, nanti Ibu buat makanan yang lebih enak lagi, biar Naka sehat, ya?" ujar Kaia berkata pada Janaka.
Kedua mata Janaka membulat dan kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. Melihatnya saja sudah membuat Kaia bahagia, dia bersyukur karena Janaka mengerti ucapannya akhir-akhir ini.
"Naka udah ngerti kalau diajak bicara, dia sering senyum kalau lihat kamu," cetus Indra yang duduk di sisinya.
Kaia menoleh menatap Indra dengan heran. "Nggak pergi ke kantor, Mas?"
"Aku.." Indra kini kelihatan bingung, yang kebingungan bukan hanya Indra saja melainkan anaknya juga ikut melirik Ayahnya.
"Kenapa, Mas?"
"Aku lupa taruh dimana kunci mobilku," jawab Indra pelan.
Kaia ternganga lalu sedetik kemudian terdengar suara Janaka yang tertawa dengan suara bayinya. "Ya Allah, Mas.. diketawain Naka tuh,"
Kaia bangkit berdiri namun Indra buru-buru menahannya. "Kamu kan mau kasih makan Naka, Kaia."
"Ya tapi kan kamu harus berangkat kerja,"
"Nanti aja," kilahnya. "Aku mau lihat Naka makan dulu,"
"Astaga.. Naka lihat Ayahmu ini!" adu Kaia.
Janaka hanya terkekeh pelan, Kaia mulai menyuapkan makanan yang sudah dia buat tadi. Rasanya memang tidak enak karena kealamian kandungan makanan itu, dan ya pastinya sangat sehat, tapi semoga saja Janaka tidak menolaknya.
"Gimana, Nak? Enak?" tanya Kaia dengan penasaran.
Naka menelannya dengan begitu cepat, raut wajahnya terlihat kebingungan mungkin karena faktor kaget akan pengalaman pertama makanan yang menyapa lidahnya. Lalu, tak berselang lama, kedua tangan Janaka bergerak-gerak dengan semangat.
"Enak, Sayang?" tanya Kaia pada Janaka.
Kaia memberikan suapan kedua, dan ternyata Janaka menerimanya dengan baik. Indra berseru senang, mencium ubun-ubun putranya dengan gemas. "Good boy, makan yang banyak biar cepat besar,"
Kaia terharu, dia tidak menyangka bahwa respons Janaka sangat bagus. Apa jangan-jangan, Janaka hanya berpura-pura ingin menghargainya? Tapi masa, sih? Janaka kan belum bisa berbohong.
"Besok Ibu buatin menu lain lagi, ya.. yang penting, Naka semangat makannya, oke?"
Lalu bocah bayi itu mengangguk.
Setelah berhasil memberikan MPASI pada Janaka, Kaia buru-buru membantu cari kunci mobil yang Indra lupa entah dimana meletakkannya.
Lalu dia menemukannya di sisi sofa terselip masuk di celahnya, segera Kaia mencari Indra di kamarnya dan melihat suaminya yang lagi-lagi tengah mengganti jas.
"Kenapa ganti jas?" tanya Kaia.
Indra berbalik padanya dan tersenyum. "Nggak pede aja,"
Bagaimana bisa seorang Indra Kesuma tidak percaya diri?
Bahkan, jika dibandingkan penampilan Kaia yang sangat lusuh sekarang, rasanya Kaia tidak memiliki waktu untuk merawat dirinya sendiri, bisa mandi, creambath mandiri saja sudah untung. Wajah lusuh, rambut yang kurang terurus, dan tubuh yang melar.
Poin menyedihkan lainnya adalah, rambut Kaia rontok parah. Ada mitos lagi yang mengatakan, bahwa kerontokan yang terjadi padanya karena anaknya, Janaka yang kini tengah hobi memainkan air liurnya.
Kaia tak mau ambil pusing, mungkin dia cukup kelelahan karena mengurus Janaka sehari-hari, belum lagi.. Kaia tidak memikirkan bahwa sebenarnya seluruh tubuhnya membutuhkan perhatian yang besar melalui perawatan. Jadi, sangat bohong besar wanita bisa cantik alami tanpa perawatan.
"Kamu selalu tampan, Mas." jawab Kaia pada Indra dan membantu Indra memasangkan jasnya. "Malah aku yang minder dekat kamu, apa lagi kalau lihat diri aku di kaca, jelek banget aku tuh.."
Indra buru-buru menggeleng dan meraih wajah Kaia dengan kedua tangannya. "Gimana bisa kamu menilai diri kamu sendiri jelek? Aku malah malu sama kamu, tiap hari aku kepikiran, kayaknya kamu nggak suka sama aku lagi, atau mungkin aku membosankan buat kamu."
Lah.. Kok..
Kaia menggeleng, asumsi yang Indra buat itu terlalu berlebihan. "Malah aku yang nggak percaya diri, kayaknya kamu malas tiap lihat aku di rumah penampilan kusut, seadanya, nggak pernah make up, perutku masih buncit, payudara aku berisi dan besar, tapi aku yakin kalau ASI aku udah nggak ada, dua-duanya bakalan kendor.."
"Oh my Godness, you never know your effect on me, Kaia."
"Memang kenapa?"
"Always gorgeous, is you. Aku nggak pernah melihat seorang ibu yang cantiknya kayak Mama aku dan kamu, but you have something magical aura that made me falling in love,"
Kaia menyembunyikan senyumannya dan mendorong bahu Indra. "Dangdut banget kamu!"
"Beneran! Habis.. sampai sekarang kamu tetap anggap aku sebagai teman, kenapa? Aku udah nggak ganteng lagi buat kamu? Aku udah nggak menarik buat kamu, kan? Atau mungkin, kamu memang udah nggak cinta lagi sama aku?" tanya Indra.
Teman, ya, Kaia menganggap Indra sebagai temannya. Karena sampai saat ini, dia sudah menghapus pemikiran dari kata saling cinta di antara mereka.
"Kalau kamu nggak ganteng, kasihan Janaka.. dia kan mirip kamu," balas Kaia berusaha membesarkan hati Indra dan mengalihkan pembicaraan mengenai hati.
"Ah, iya.. kalau begitu, aku tampan, soalnya Janaka juga tampan nggak ketulungan."
"Mm, ya.. semerdeka kamu," jawab Kaia dengan tawanya.
Kaia lalu melihat handuk Indra yang masih tergeletak di atas ranjang, dan karena terlalu lama akhirnya handuk basah itu membuat sebuah pola lingkaran di atas ranjang.
"Oops!" kata Indra begitu melihat Kaia meraih handuknya. "Maaf, lupa.."
Kaia menarik napasnya, selalu begitu, tapi biarkan saja.. suami lain mungkin bisa saja melakukan hal yang lebih parah. "Nggak apa-apa, asalkan kamu nggak ikut nangis kayak Naka aja, soalnya dari tadi kamu kelihatan menyedihkan, sengaja banget ya bikin aku prihatin sama kamu?"
"Memang kenapa kalau aku nangis? Kalau kamu prihatin akan kondisi aku, itu artinya kamu memang nggak bisa pura-pura nggak perhatian sama aku, kan?"
"Berisik, deh.. aku pusing.. kesannya aku punya dua bayi, satu bayi besar dan bayi kecil. Lagian, mau nggak perhatian gimana, tiap hari aku ketemu kamu, dan ya.. jangan buat wajah menyedihkan lagi, teman." tekan Kaia dengan bercandanya.
"Aku kayaknya bakalan nangis, sih." putus Indra.
Kaia langsung menoleh menghadap Indra dengan raut wajah kebingungan. "Kenapa?"
"Karena kamu nggak terima cinta aku lagi, karena kamu nggak cinta sama aku lagi, kamu cuman anggap aku teman. Jadi, aku putuskan aku bakalan menangis."
Indra mengatakannya dengan begitu enteng, senyumannya yang kalem menciptakan sesuatu yang bergemuruh di dalam dada Kaia.
"Sana berangkat ke kantor!" usir Kaia, tidak baik juga membahas soal perasaan dengan Indra.
Indra malah menggeleng dan mendekatkan tubuhnya pada Kaia. "Masih nggak percaya sama aku?" tanyanya lagi.
Ini sudah berjalan enam bulan, dan Kaia masih merasa bahwa hawa dia bisa menerima Indra sebagai pasangannya akan terasa sangat sulit.
"Mas.. jangan paksa aku buat percaya sama kamu lagi, sakit."
"Aku cinta kamu, aku cinta kamu!" bisik Indra di telinganya dengan intonasi yang tegas. "Kalau kamu nggak percaya, aku bakal mengucapkannya tiap hari."
Kaia memundurkan wajahnya dan mengusap rahang Indra yang belum dicukur, bulu-bulu tipis itu begitu kasar di tangannya dan Kaia suka. "Kamu bakal mengucapkannya tiap hari?"
"Ya,"
"Kalau nggak berpengaruh buat aku gimana?" tanya Kaia dengan polos.
"Aku bakal buat kamu terpengaruh sama cinta aku lagi,"
"Gimana caranya?"
"Kayak gini.." Indra menciumnya.
Ini adalah ciuman pertama entah sejak kapan terakhir yang sudah Kaia lupakan. Selama enam bulan tinggal bersama, Kaia dan Indra tidak satu kamar, mereka tertidur terpisah dan Kaia tidak melayani Indra sebagai istri yang memiliki kewajiban kepada untuk melayani suami.
Ciuman Indra begitu lembut, gigitan yang begitu gentle hingga membuat Kaia terbuai, lidah Indra masuk ke dalam mulutnya begitu pelan, tidak terburu-buru untuk menjamah seisi rongga mulutnya, Kaia tersenyum lebar saat merasakan tangan Indra yang meremas pinggangnya.
Sudah dibilang badannya melar, tapi sepertinya Indra kurang percaya karena kini, tangan Indra turun menelusuri kedua pantatnya dan meremasnya secara perlahan. Ciuman itu terselesaikan dengan cara yang tidak pernah Kaia bayangkan, bibirnya yang membengkak dan memerah, napasnya dan napas Indra yang saling bersahutan, Kaia dan Indra saling pandang satu sama lain.
Tidak terasa, senyuman Indra benar-benar menular padanya. Indra meraih tangannya dan mengecup telapak tangannya dengan penuh kelembutan.
"I love you," ucap Indra.
Lalu Indra mengajak Kaia menuju garasi mobil, dimana di dalam mobil Indra membuka dahsboard dan begitu terkejutnya Kaia ketika Indra memberikan satu kotak beludru berwarna biru dengan pita putih di atasnya.
Begitu Indra membukanya, di sana terdapat cincin dengan mutiara putih yang dikelilingi oleh berlian. Cincin itu begitu cantik, dan ketika Kaia melirik pada jari-jari Indra yang besar, Kaia sadar bahwa Indra sama sekali tidak pernah melepaskan cincin pernikahan mereka.
Kaia malah justru jadi orang pertama yang melepas cincin pernikahan mereka dengan alasan; satu, dia kesal dan benci pada Indra saat Indra mengakui bahwa dia masih mencintai Desy. Kedua, jari-jarinya berubah menjadi gendut ketika dia hamil Janaka.
"Kamu nggak pakai cincin, aku nggak tahu alasan kamu kenapa nggak pakai cincin nikah kita, anyway─I'm just wanna say sorry to you, untuk semua rasa sakit yang pernah kamu rasakan karena aku, untuk semua rasa kecewa kamu karena aku, I'm so sorry, Kaia.."
Lalu Indra meraih jemari kanannya dan memasangkan cincin itu pada jari manisnya. "Beautiful," pujinya.
Kaia menahan senyumannya yang ingin terbit sekarang juga, sebenarnya dia ingin memeluk Indra dan mencium Indra. Jiwa-jiwa naas karena merindukan Indra sudah mulai bangkit, dan sebisa mungkin Kaia harus pandai menahannya. Karena kalau tidak, dia bisa jatuh cinta lagi pada Indra.
"Thank you, Mas.."
Kaia memilih jawaban netral, belum saatnya, karena Kaia harus memastikan sesuatu sebelum hal buruk terjadi lagi di masa depan.
***
a/n:
Hei manusia, tahu diri dong ah... Indra Kesuma nih, rasanya pengen gue habek-habek!
Apa perlu momen menyedihkan lagi? Biar membuat Indra sadar betapa brengseknya beliau?
Oh ya, soal hubungan Kamila mertuanya Kaia dan Papanya Indra bakal dibahas kok! Tenang, saya ini penyuka happy ending, tapi nggak memungkiri juga kisah Indra bakal happy ending hahahaha.
Masa mertuanya happy ending, anaknya nggak? Gila aja kali...
28, Agustus 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro