III
──────────
Restore Me
──────────
***
III
***
Mental Mamanya saat ini, lebih sehat dibandingkan saat masih bersama Papanya. Itu yang Kaia pikirkan, adiknya meskipun terkadang suka merengek, lebih terlihat baik-baik saja dibandingkan satu rumah dengan Papanya.
Sejatinya, Kaia jadi percaya kalau tidak ada cinta yang benar-benar bertahan seumur hidup. Cinta itu rasa yang tidak akan bertahan lama, jika iya pun, mungkin rasa itu tidak akan sebesar dan sehebat rasa pertama.
Rumah minimalis modern itu menjadi rumah pertama Mama di Jakarta setelah mendapatkan harta gono-gini. Dengan rumah itu juga, Kaia merasa bahwa kehidupan baru bisa dimulai dengan cara yang baik-baik.
Kucing peliharaannya, Garfield mengeong setelah melihat Kaia masuk ke dalam rumah. "Assalamulaiakum, Beb." Kaia mencium wajah Garfield.
Kalya, adiknya baru saja keluar dari kamar dan menjerit super heboh. "Kak! Kakak!"
"Apa sih?" sahut Kaia kesal, dia ini baru datang ke rumah sudah disambut teriakan heboh saja.
"Papa kirim uang sama aku, Kak!"
"Oh ya? Bagus kalau gitu, kasih Mama juga."
"Mama juga di kasih, Kak. Katanya Papa dapat proyek di Ubud, makanya kita dikasih rezeki sama Papa."
"Oh.." Kaia tersenyum, dia belum cek rekeningnya tapi ya.. Namanya juga kalau berharap dan nggak sesuai ekspektasi nanti dia juga yang repot akan rasa kecewanya.
"Kakak dikirim juga nggak sama Papa?"
"Nggak tahu," jawab Kaia malas. Dia menggendong Garfield dan memberikan Royal Canin itu pada majikannya.
"Cek dulu rekeningnya!"
"Iya nanti," sahut Kaia malas.
Kalya menarik napasnya, adiknya mengikuti Kaia ke arah dapur dan mengeluarkan susu kotak low fat rasa cokelat kesukaan Kaia. "Kak, udah lah.. Tinggal di sini sama aku sama Mama, biar Kakak bisa hemat nggak harus di apartemen, sewanya kan mahal."
Apartemen itu adalah apartemen yang Kaia pertama beli saat dia berhasil menginjakkan kaki di Jakarta. Tapi sayangnya, gara-gara banyaknya kenangan buru bersama Zac, rasanya Kaia ingin menjual unit apartemennya.
"Sudah nggak sewa, ya! Sori." deliknya dengan sombong pada Kalya. "Lo nggak tahu, ya? Gue beli unit itu udah lebih dari empat tahun."
"Ya maklum, aku kan nggak tahu info apa-apa tentang Kakak. Fokus sekolah." bisa saja jawabnya itu.
Kaia meneguk susu dingin itu dan menarik napasnya, jika dia akan menjual unit apartemennya, itu bisa menambah biaya kuliah Kalya. Benar juga, kenapa Kaia baru kepikiran sekarang, ya?
Oke, mulai besok Kaia akan membereskan apartemennya. Membuang barang-barang yang setidaknya tidak berguna, dia hanya akan membawa barang-barang miliknya yang berguna ke rumah. Lagi pula, tiga kamar di rumah minimalis ini sepertinya memang pas diisi olehnya, Mamanya dan Kalya.
"Lho, kamu pulang?" sahut Mamanya yang entah darimana juga.
Kaia melihat Mamanya dengan heran, ibu-ibu satu ini maunya apa, sih? Katanya, dia akan mulai membuka pesanan kue, tetangga banyak yang excited karena kue buatan Mamanya cukup enak. Padahal, Mamanya itu tergolong warga baru di sini.
"Mama habis darimana?"
"Dari grosir depan, beli terigu. Kenapa kamu? Lemas banget, besok kerja, nggak?"
"Kerja lah.." Kaia berdecak. "Besok kan hari Senin."
"Ya sudah, malam ini tidur di sini? Mama belum masak, Kalya juga jarang makan, Mama makan sama tahu goreng juga cukup."
"Ma, ngirit boleh tapi jangan kayak orang susah juga dong." balas Kaia sebal, membayangkan Mamanya memakan makanan sederhana seperti itu, mentang-mentang sudah tidak ada suami yang harus dilayani.
Mamanya malah tertawa puas. "Mama nggak ngirit, nggak tahu aja.. nggak nafsu makan, biasanya Mama masak setiap hari buat Papa, tapi sekarang yang makan cuman Mama sama Kalya aja."
"Dih?" Kaia mengangkat bahunya geli. "Kangen sama Papa bilang aja,"
Kaia membuka tasnya dan mengambil ponselnya, kedua matanya membulat melihat pop-up SMS BRI-NOTIF masuk dari rekeningnya.
Sobat BRI! Dana sebesar Rp 80.000.000 masuk ke rekening Anda....
Papanya memberikan uang padanya juga? Well, kenapa dia diberi delapan puluh juta? Apa Kalya diberi sebanyak ini?
"Ma," tanya Kaia penasaran, berapa nominal uang yang Papanya berikan. "Papa kirim uang sama Mama, kan? Berapa?"
Mamanya yang tengah mengocok telur, gula dan mentega itu terkekeh pelan. "Kenapa?"
"Aku tanya, Ma! Papa kasih aku delapan puluh juta, baru aja masuk nih uangnya ke rekening."
"Ya bagus toh?"
"Ma.. Serius.."
"Papa kasih tiga ratus lima puluh juta, sekalian buat bayar kuliah Kalya."
Oh Tuhan, Kaia menarik napasnya lega, tadinya dia sudah siap untuk menjual apartemennya untuk biaya kuliah Kalya. "Hm, terus Kalya dikasih berapa sama Papa?"
"Lima puluh,"
"Mm,"
"Masih besar kamu, Kak." balas Mamanya dengan tawa. "Kamu kan lebih besar dari Kalya, kebutuhan kamu juga banyak."
"Mm,"
"Kecuali, kalau kamu mau nikah, Papa bakal lagi mikirin kebutuhan kamu, acara dan segala macam. Mungkin, Papa juga lagi bisa kasih banyak sekarang, ya semoga aja proyek Papa berjalan lancar, Kaia. Papa nggak bisa hidup kalau nggak ada kerjaan, mungkin itu juga yang bikin Papa jadi ruwet sama Mama." jelas Mamanya kini.
Malah jadi sesi curhat, rasanya ada sesuatu yang bleeding di sini, mungkin hati Mamanya. Tapi tetap saja, Kaia tidak bisa membenarkan apa yang Papanya lakukan pada Mamanya. Hubungan pernikahan tidak selamanya sempurna, tapi perempuan juga bukan samsak sebagai bahan pelampiasan sebuah amarah yang terbentuk karena keadaan.
Kaia sudah merasakan itu semua, rasa bersalah, rasa takut karena ketidaktahuan terhadap masalah yang Mama dan Papanya hadapi. Dia hanya seorang anak di sini, tapi salahnya Papanya melibatkan Kaia secara tidak langsung dan memberikan Kaia penglihatan secara langsung bahwa kehidupan pernikahan bisa sepelik itu karena kurangnya komunikasi, kesalahpahaman, dan rasa egois yang tidak mau kalah.
"Kalya," Kaia memanggil adiknya.
"Apa, Kak?"
"Kuliah yang benar, biar cepat lulus. Tanggungan keluarga kan cuman lo doang."
"Ish!" Kalya manyun mendengarkan ucapan kakaknya itu. "Aku tahu aku beban, nggak usah di perjelas juga kali..."
"Ya habis.. Biaya kuliah lo paling mahal daripada biaya kuliah gue,"
"Kakak kan anak Udayana. Udah deh, kalau aku anak UPH ya jelas─beda." katanya dengan nada bicara yang menyebalkan.
Kaia melengos malas, tapi dia bersyukur setidaknya Papanya tidak lepas dari tanggung jawab. Lalu, setelah ini apa? Apa dia harus menjaga keutuhan dan kebahagian Mama dan Kalya? Atau mencari kekosongan yang sudah lama dia rasakan?
Tapi bagaimana jika orang-orang pun nyatanya tidak memantaskan Kaia untuk mendapatkan kebahagiaan. Bagaimana jika nyatanya, Kaia sudah tertinggal untuk mendapatkan kebahagiaannya?
Siapa orang yang sudah merebut kebahagiaanya ini?
Siapa dia?
Kenapa rasanya setakut ini? Dan bagaimana jika orang yang dia temui di masa depan nanti menunjukan bahwa Kaia tidak pantas mendapatkan porsi kebahagiaannya?
Apa ada tolak ukur untuk mendapatkan kebahagiaan itu? Dengan cara apa? Menikah?
"Kaia,"
Suara Mamanya yang tengah memasuki loyang ke dalam oven itu membuat Kaia tersadar dari lamunannya. "Besok bisa temani, Mama?"
"Ma, besok aku kerja."
"Pulang kamu kerja, kebetulan acaranya malam kok."
"Kemana?"
"Undangan pernikahan anak Bu RT, rumahnya disebelah, anak bungsunya menikah di hotel Langham."
Kaia membulatkan matanya, hebat juga bisa menikah di hotel bintang lima. "Bu RT kaya, Ma?"
Mamanya malah tertawa mendengarnya. "Nggak tahu, Mama nggak penasaran. Tapi anak-anaknya memang sukses sih, kedengarannya."
"Ah," Kaia berdecak, memang rumput tetangga lebih hijau daripada rumput halaman sendiri. "Ya udah, besok ya.."
"Iya, Sayang. Pakai baju yang sopan, jangan yang ketat-ketat." pinta Mamanya lagi.
Kaia menggeleng pesimis. "Nggak ada, Ma. Mama tahu sendiri bajuku semuanya ukuran baju monyet."
"Astaghfirullah Kaia."
"Nggak apa-apa dong, Ma. Mumpung punya body bagus, buat apa kalau nggak dipamerin, yang penting kan aku masih gadis, belum punya suami." serobot Kaia dengan enteng.
Mamanya hanya bisa menghela napas, sementara Kaia berencana membuat geger warga satu komplek cluster ini. Lihat saja, nama Mamanya, adiknya dan dirinya akan terkenal dalam sekejap. Meskipun warga baru, sepertinya Kaia harus mulai menunjukkan taring agar warga-warga di sini, tidak ada yang merendahkan Mamanya.
Mamanya tidak akan menjadi tukang kue, dan jika ibu-ibu komplek memerintah Mamanya seperti ini lagi, Kaia akan pastikan dia akan membuka gerai toko kue untuk Mamanya sendiri dan mempekerjakan karyawan untuk Mamanya.
Hadeuh, sulit juga ingin jadi orang kaya. Apa gue harus mulai pinjam modal sama Andrea?
***
a/n:
Update pagi soalnya aku mau OSCE wkwk entar kelupaan, takut dihujaaaattt soalnya sudah janji untuk update tiap hari hehe..
Sejauh ini, tiga part cerita Kaia sudah dipublish, gimana kesannya setelah mengenal Kaia?
Sekian dulu cuap-cuapnya, mau belajar lagi. Bye-bye, have a good weekend!
29, Juli 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro