Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

‘Usaha tak pernah mengkhianati hasil. Paling-paling cuma nikung aja.’

***

“Mundur! Mundur!”

Suara kernet angkot mendominasi lalu-lalang aktivitas di Pasar Bandarjo pagi ini. Begitu penumpang keluar, penumpang yang lain langsung berjubel masuk. Sang kernet masih berteriak, melambaikan tangan guna menarik calon penumpang lain. Mobil box yang membawa banyak barang berjejer. Udara pagi yang dingin sepenuhnya tertimbun keringat, tergantikan bau khas pasar yang campur aduk.

“Ayo, Bu. Masih ada tempat kosong.” Si kernet menghampiri seorang ibu dan anak berusia sekitar enam tahun, menuntunnya menuju angkot.

Wis kebak iki lho, Mas. Jangan ditambah penumpang lagi.” Seorang ibu bertubuh tambun yang tengah menikmati sebungkus gethuk memprotes. Mulutnya fokus mengunyah. Bokongnya digeser, merapat dengan penumpang lain yang langsung menyuarakan keluhan.

“Dua lagi. Ayo, masih cukup, Bu!” Tak mengindahkan ucapan penumpang tambun tadi, si kernet berseru kepada ibu-ibu yang membawa banyak belanjaan. Penumpang di dalam langsung mengeluh sebab kursinya sudah sangat sempit. Sudah mirip ayam penyet. Ibu-ibu calon penumpang itu jadi serba salah. Sungkan ketika harus membuat orang-orang di dalam angkot bergeser lebih mepet lagi.

“Ja!” Si kernet menyapa. “Kok suwi ora tau pethuk. Wis kerja ning endi?

Reza berhenti sejenak, melongokkan kepala di antara kardus-kardus berat yang dia bawa. “Eh, iya, Mas. Sibuk di peternakan!” serunya. Tak punya waktu untuk meladeni pria kurus berkulit keling tersebut. Dia tak bisa menahan beban berat di tangannya terlalu lama. Jadi, sebelum kernet itu bertanya-tanya lagi, dia langsung pamit.

“Duluan, Mas!”

“Oh, iya-iya.”

Reza kembali melanjutkan kegiatannya. Sejak pagi, dia sudah merasa seperti pejabat negara yang sibuk. Mulai dari mengantar Inggit, membersihkan peternakan, memberi makan Robert dan teman-teman, lalu baru bisa ke pasar untuk bekerja.

Sejak sebelum resmi lulus sekolah, Reza sudah terbiasa membantu Pakde di pasar mengangkat tumpukan pigura yang akan dijual. Hasilnya lumayan untuk tambahan uang jajan. Lumayan juga untuk mentraktir batagor Inggit sepulang sekolah di depan kantor Discapil.

Bagi anak remaja seperti dirinya kala itu, hal tersebut sudah keren. Sangat jauh berbeda dengan remaja di cerita yang biasa dibaca Rona, yang isinya anak SMA sudah jadi CEO, pakai motor sport, mobil mahal, dan disegani seluruh penghuni sekolah. Bahkan guru pun kadang takut untuk menegur.

Reza? Boro-boro pakai motor sport. Pakai sepeda sambil berboncengan dengan Inggit saja sudah serasa dunia milik berdua. Yang lain hanya sisa upil yang menempel di lubang hidung, tak terlihat.

Reza menaruh kardus-kardus berisi sembako tadi di lantai. Kaus lengan panjang agak tebal dengan sablon sebuah merek rokok dilepas—yang iklannya selalu muncul ketika larut dan lebih mirip iklan pariwisata. Sungguh sebuah plot twist saat tahu di akhir iklan tersemat nama merek rokok.

Keringat mengalir di sekitar pelipis. Pun tubuhnya yang kini terasa semriwing berkat angin yang berembus lewat celah ventilasi udara. Reza menyeka butiran peluh yang terasa asin ketika tak sengaja mengenai bibir. Tiba-tiba di kepalanya muncul sebuah pertanyaan yang mungkin bisa dijadikan bahan penelitian untuk membuat jurnal ilmiah. Lebih asin mana antara upil, peluh, dan ingus?

“Sudah semua, Ja?” tanya Bu Lisa. Bukan Lisa Blackpink. Lisa yang ini lebih merakyat dan terjangkau. Mudah didapat dan tersebar di toko terdekat bertanda khusus.

“Masih kurang, Bu Lis. Balik dua kali mungkin sudah beres,” jelas Reza. Bajunya diayun-ayunkan, mengipasi wajahnya yang kini berubah kehitaman terpapar panas. Bakal roti sobek yang dibentuk di perut guna menyaingi si Kai-Kai itu belum terlihat hilalnya. Masih buncit kebanyakan makan nasi padang.

“Oalah, yo wis. Nanti kamu taruh di situ aja. Saya mau beres-beres.”

Reza mengangguk, lalu kembali mengambil kardus-kardus di luar. Bajunya dipakai untuk membalut rambut dan muka seperti ninja. Setelah pekerjaan ini selesai, dia bisa beristirahat sebelum mengangkut barang lain—bila ada—atau langsung bisa pulang dan kembali saat menjelang sore. Tergantung.

Dua kali bolak-balik, Reza berhasil menuntaskan pekerjaan. Ada sekitar tiga mobil box yang dia angkut barang-barangnya sejak pagi. Lelah membuat napas berembus berkali-kali. Entah sampai kapan dia akan hidup seperti ini. Kerja sebagai kuli panggul di pasar dengan gaji rendah. Rasanya terlalu terlambat untuk memulai. Mencicipi pekerjaan yang jauh lebih baik seperti orang-orang dengan pakaian rapi yang biasa ia lihat ketika berangkat ke pasar.

Memikirkan masa depan memang satu dari sekian banyak hal yang membuat Reza kadang merasa rendah diri. Lamarannya banyak tertolak karena berstatus ‘cuma lulusan SMA’. Padahal banyak pula lulusan SMA yang bisa melejit kariernya berkat kerja keras dan ketekunan. Kalau dipikir-pikir, dia bahkan tak yakin punya kemampuan apa. Dia merasa tak cakap dalam bidang apa pun. Dan saat itulah, berubah menjadi power ranger sepertinya adalah pilihan terakhir yang bisa dia lakukan.

“Ini, Ja, upahmu hari ini.” Bu Lisa muncul, menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan. Reza segera menerima setelah mengucapkan terima kasih. Dia akan pulang bila es tehnya sudah habis. Lelah sekali rasanya.

“Tak lihat-lihat kok akhir-akhir ini kamu jarang ke pasar. Sudah dapat kerjaan bagus, ya?” tanya wanita berjilbab tersebut, ikut duduk lesehan di dekat Reza. Lipstik merah menyala sedikit belepotan menempel di pinggir gelas kala menyeruput es cendol yang esnya sudah mencair.

“Kalau pagi sibuk urus peternakan. Biasanya selesai sampai siang. Kalau Pak Tohir nggak ngabari, ya berarti nggak ada kerjaan. Makanya nggak ke pasar.” Reza menjelaskan. Netranya fokus pada kendaraan yang diparkir di dekat pasar. Toko sembako milik Bu Lisa ini memang letaknya tidak terlalu masuk ke pasar.

“Apa ndak mending ikut urus peternakan aja? Biar bisa buat modal cari istri,” celetuk wanita tersebut. Dengkusan Reza meluncur cepat. Apa orang di sebelahnya ini telepati dengan bapaknya?

“Kapan mau nikah, Ja? Tetanggaku seumuranmu sudah nimang anak semua. Bahkan yang nikah umur 19 ada banyak. Masa kamu kalah?”

Reza meneguk es tehnya. “Kapan-kapan kalau ingat. Lha, dikira nikah itu lomba agustusan apa? Kok ada menang kalah.” Bibirnya mencebik kesal. Tak mengerti jalan pikiran para orang tua yang budiman.

Bayang-bayang wajah Inggit langsung melintas. Cebikan di bibir Reza lantas berganti dengan senyuman miring penuh percaya diri. “Tenang aja, Bu Lis. Nanti bakal tak kenalin kemari kalau sudah sah,” terangnya.

Bu Lisa malah terbahak. Cendol yang bersemayam di mulut ikut muncrat keluar, terbang melambai bersama kuah santan dan gula merah. “Wong jomlo begini kok sok-sokan mau kenalin cewek. Emang kamu punya?”

“Wah, ngejek iki jenenge.”

“Punya?”

Yo belum!”

***

Reza nyaris mati bosan gara-gara sejak sejam yang lalu cuma duduk-duduk kurang kerjaan walau aslinya memang kurang kerjaan. Entah berapa kali dia menguap dalam satu menit. Kalau saja Pak Tohir tidak menyuruh menjaga toko kelontong miliknya, Reza pasti sudah leyeh-leyeh di rumah merancang masa depan di alam mimpi.

Satu-dua pembeli datang, lalu sampai sekarang belum ada yang datang lagi. Pak Tohir mengatakan paling lama lima belas menit. Namun, ini sudah sejam lebih satu menit dua puluh lima detik.

“Apanya yang sebentar.” Reza menggerutu. Kantuknya sudah tak bisa ditahan lebih lama lagi.

Lima menit menunggu, Reza memilih mencuci muka lalu mengerjakan apa pun itu agar rasa kantuknya bisa hilang. Bak sampah yang teronggok di dekat toko di tepi trotoar menjadi tujuan pertama Reza. Sampahnya sudah penuh sampai tercecer di sekitar. Dia menjumputnya satu per satu ke bak sampah, lalu membawanya ke tempat pembuangan sampah yang ada di dekat pasar.

Kondisi mata masih setengah mengantuk dan jalan yang berlubang-lubang membuat Reza tak begitu awas. Suara seruan marah langsung melengking di pendengaran ketika bak berisi sampah yang dia bawa berhamburan, tercecer di trotoar.

“Matamu ditaruh di mana?! Baju saya kotor ini!” Seorang pria paruh baya dengan setelan kemeja rapi memaki-maki. Sebungkus rokok terjatuh dari genggamannya. Matanya yang seperti gang sempit dipaksa memelotot. Dahi dan kepala bagian depan agak pelontos. Satu-dua uban terlihat mencuat. Reza segera membantu, menyerahkan rokok tersebut kepada si pemilik yang masih menatap geram.

“Maaf, Pak. Saya nggak sengaja,” tutur Reza takut-takut. Rasa kantuk yang tadi menyerang tak lagi tersisa, berganti jantung yang berdegup kencang, tapi bukan cinta.

Orang itu masih melontarkan makian sebelum menyahut kasar rokoknya dari tangan Reza, lalu melangkah masuk ke mobil mengkilap yang terparkir tak jauh dari sana. Kaki Reza gemetaran. Bukan karena takut, tapi karena menahan pipis. Sudah di ujung. Dia tak bisa menahannya lebih lama sebelum memungut sampah berbau busuk tersebut dan mengantar hingga ke tujuan.

***

Jangan lupa mampir juga, kuy!

1. Jurig by Quintis8

2. Jiwa Yang Tertukar by SeiongJeans

3. My Love from the Past by merosems

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro