Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7

'Hidup itu cuma sekali. Kalau tiga kali mah minum obat.'

***

Bau keringat Reza tidak ada bedanya dengan persilangan antara cuka apel dan kaus kaki yang tidak kering usai dijemur berhari-hari. Membikin hidung Rona yang tak sengaja lewat terhempas, terpelanting terkena polusi. Udara di kamar Reza sudah tercemar. Gadis itu mengintip ke dalam. Melihat abangnya sibuk angkat beban menggunakan radio butut yang hampir setiap pagi dinyalakan.

"Bang Eja ngapain, sih? Bau banget," celoteh Rona. Jemarinya menjepit hidung, membikin suaranya sengau.

Reza menggeram rendah, menonjolkan otot-ototnya dengan ekspresi berlebihan. Di depan cermin, dia terus memperhatikan perut buncit penuh lemak dan sampah itu bergerak-gerak. Kembang kempis seperti orang kehabisan napas. Keringat mengaliri setiap inci kulit Reza, menciptakan efek mengkilap, mengalahkan motor kredit milik tetangga yang baru dicuci.

Dahi Rona makin mengkerut, menelisik tingkah Reza yang semakin tak bisa dia mengerti. Potret Kai dengan pose seksi dan baju terbuka terpampang di layar ponsel abangnya. Tak tahan, dia akhirnya menerobos masuk. Sambil bersedekap, Rona melempar tatapan ingin tahu. Hidungnya sudah dijepit dengan penjepit jemuran guna menghalau karbon dioksida di kamar ini.

"Bang Eja, mau ngapain, sih? Angkat-angkat radio segala. Pakai foto jodohku lagi."

Reza melirik singkat. "Biar nggak kalah sixpack kayak si Kai-Kai ini," katanya, lalu menurunkan radio butut tersebut. Sudut-sudut bibirnya ditarik membentuk seulas raut bangga. "Gimana? Udah mulai kelihatan, 'kan?"

"Iya, kelihatan. Kelihatan lemak dan beban hidupnya," timpal Rona.

"Tunggu aja sampai perut abangmu ini bukan hanya sixpack, tapi tenpack. Pasti lebih maco daripada jodoh halumu itu. Jangan minta tanda tanganku." Reza berceloteh seraya mengusap keringat menggunakan handuk kecil yang tadi disampirkan di sandaran kursi.

"Minta tanda tangan buat apa. Paling-paling buat bungkus gorengan," ledek Rona. Gadis itu melepas penjepit jemuran di hidung, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Yang sayangnya malah membuatnya ingin muntah gara-gara bau badan Reza yang menyebar di udara tak kunjung hilang.

"Woo, mulutmu!" Reza menyahut penjepit jemuran dari tangan Rona, lalu menjepit hidung adiknya dengan keras. Gadis itu langsung memekik sakit. "Awas aja kalau nanti abangmu tambah glowing. Nggak terima jasa pansos dari adik modelan kamu! Wis, sana! Ganggu aja."

Reza mendorong Rona pergi hingga pintu. Namun gadis itu berbalik lagi, meraih ponsel miliknya, lantas menghapus foto Kai yang terpajang di sana.

"Entar kalau Bang Eja belok bisa berabe," celetuknya. Lidahnya terjulur dengan ekspresi yang membuat Reza ingin meluluh-lantahkan jiwa dan raga Rona. Namun karena dia calon imam ganteng idaman, dia tak jadi melakukannya.

"Enak aja! Wis, sana!"

Akhirnya Rona hilang dari pandangan. Reza mendengkus, berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Keringatnya nyaris bikin dia pingsan.

Usai mandi dan segar, Reza langsung melompat ke kasur, menekuri ponsel. Ada satu panggilan tak terjawab di sana. Dari Inggit. Reza langsung menghubungi gadis itu kembali. Barangkali ada hal penting sampai telepon begini. Biasanya dia dulu yang menghubungi Inggit.

"Assalamualaikum, Dik Inggit. Ada apa kok tiba-tiba telepon?"

"Waalaikumsalam, Mas. Nggak ada apa-apa, kok. Cuma mau kasih tahu kalau jaketnya masih di aku. Takutnya mau dipakai Mas Eza kerja."

"Oalah, gara-gara jaket. Tak kira mau bilang kangen, hehe." Reza menggaruk rambutnya yang gatal, penuh ketombe dan belum sempat keramas. Setelah itu jarinya diendus. Ternyata cukup untuk membuat kepala kliyengan.

"Rencananya mau Inggit kembalikan, tapi kayaknya besok aja habis pulang kerja. Soalnya sekarang lagi ada acara sama Ayah."

Reza mendadak heboh. Namun begitu teringat bayang-bayang wajah Ruslan yang kerap kali menodong agar mengurus peternakan lalu bisa menikah membuatnya meringis. Dia belum berani membiarkan Inggit mengunjungi rumahnya, apalagi sambil mengembalikan jaket. Nanti yang ada malah ditanya macam-macam.

"Eh, dipakai dulu juga nggak apa-apa. Nggak dikembalikan juga nggak apa-apa, kok. Santai aja." Reza tertawa-tawa agak terpaksa. Masalahnya jaket itu belum lunas. Tapi karena ini Inggit, mungkin masih bisa ditoleransi. Hitung-hitung sebagai bentuk pengorbanan.

"Nggak, ah. Bang Eza lebih butuh jaketnya. Inggit juga udah ada jaket banyak di rumah," balas Inggit di seberang.

Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di benak Reza yang sudah karatan dan penuh debu. Baru membayangkan saja sudah merasa antusias. Senyumnya berpendar malu-malu. Guling di dekapannya ditepuk-tepuk pelan.

"Gimana kalau besok tak jemput aja pas berangkat sama pulang kerja? Sekalian ngembalikan jaket, sekalian beli batagor di depan Discapil. Gimana, Dik Inggit? Ide bagus, 'kan?"

"Lho, nggak malah ngerepotin, Mas? Aku bisa antar ke rumah Mas Eza, kok. Alamatnya masih sama, 'kan?" Suara Inggit di seberang terdengar samar-samar, terendam riuh kendaraan berlalu-lalang. Sepertinya gadis itu sedang di jalan atau entahlah.

"Nggak ngerepotin, kok. Tenang aja. Aku malah senang kalau bisa antar-jemput begitu. Bisa ketemu kamu terus. Jadi ada banyak waktu buat ngobrol." Saat berkata begitu, muka Reza jadi bersemu merah. Membayangkan bisa melihat wajah Inggit setiap pagi dan sore hampir setiap hari. Pun bisa sekaligus mengenang masa SMA di mana dia juga pernah melakukan hal yang sama meski hanya sampai halte dekat rumah Inggit.

"Beneran nggak apa-apa, Mas? Nanti malah beneran ngerepotin," tanya Inggit memastikan.

"Serius, nggak apa-apa. Aku malah senang banget kalau kamu mau terima. Nggak perlu sungkan." Reza meyakinkan.

Dia harus lebih gencar melakukan pendekatan. Setelah usaha untuk membuat perutnya kotak-kotak seperti kotak nasi, dia juga perlu membuat Inggit menganggapnya sebagai lelaki yang bisa diandalkan. Yang baik, yang nyata, bukan cuma sekadar halu seperti si Kai-Kai itu. Kalau dia sudah bertransformasi menjadi manusia gagah dan menawan, mental Inggit pasti juga akan seperti permen Yupi yang bisa meleyot sewaktu-waktu. Sungguh sebuah pemikiran yang brilian.

"Ya udah, kalau memang nggak keberatan, Inggit mau."

Reza langsung bersorak sambil meloncat-loncat sebelum teriakan Rona membuatnya diam. Wajah semringah masih mengendap di wajah, belum mau enyah.

"Oh, ya, semalam aku juga habis nonton drama yang tentara-tentara itu, lho. Walaah, ternyata wajahnya hampir mirip aku semua." Reza terbahak-bahak, padahal tidak ada yang bisa ditertawakan. Inggit di seberang juga tampak bingung harus menanggapi apa. Akhirnya memilih tak menanggapi.

"Halo, Dik Inggit? Ini masih nyambung, to?" Suatu ketika Reza bertanya usai merampungkan acara tertawanya.

"Masih, Mas. Ini juga Inggit lagi dengerin Mas Eza ngomong." Gadis itu tertawa sungkan.

"Terus lagi, aku nonton si Kai-Kai itu joget. Itu, lho, lagu yang liriknya 'ke kosan dong beibi, ke kosan dong beibi'. Nah, itu. Kalau cuma joget gitu aku yo kayake bisa." Dan bla bla bla. Reza menyerocos sendiri, berbicara panjang luas sampai tak sadar liurnya beterbangan.

"Halo, Dik Inggit? Ini kamu masih dengar, to? Kok nggak ada suaranya iki, lho," tanya Reza sambil memeriksa sinyal barangkali hilang-timbul seperti doi yang hobi ghosting.

"Masih, Mas."

Reza tersenyum lega. Kalau sudah terputus, berarti dia dari tadi bicara sendiri seperti orang gila. Untungnya tidak.

"Siapa itu, Nggit?"

Suara seorang pria tiba-tiba terdengar. Reza otomatis menjauhkan ponsel dari telinga, hendak memastikan bahwa sambungan teleponnya masih dengan Inggit.

"Eh, ini ...."

Telepon diputus sepihak. Padahal Reza sudah mangap, bersiap melontarkan sesuatu. Tapi ... ah, ya sudahlah. Dia harus minum setelah bicara menggebu-gebu seperti tadi.

***

"Ona! Eja! Ayo, sarapan dhisik!"

Rumi berteriak dari arah dapur menuju meja makan. Kedua tangannya membawa sepanci sayur asem yang asapnya masih mengepul. Lauk-pauk sudah siap di meja. Ruslan bersama secangkir kopi hitam panas juga sudah nangkring di kursi. Kumisnya kadang bergerak-gerak ketika nyamuk sengaja mampir untuk 'say, hi'.

Rona yang pertama muncul. Seragam sekolah melekat rapi lengkap dengan dasi, sepatu, dan tas yang tersampir di bahu. Mulutnya menguap lebar. Sepertinya gadis itu habis bergadang lagi menonton drama hingga pagi.

"Eja! Bangun! Wis isuk iki, lho!" Rumi kembali berteriak. Kakinya beranjak, hendak menuju kamar Reza. Begitu pula sapu di tangan untuk jaga-jaga kalau putra sulungnya itu belum bangun.

"Selamat pagi, Emak yang paling cantik!" sapa Reza ketika pintu terbuka. Laki-laki itu sudah wangi dan rapi. Senyum lebar seperti iklan pasta gigi tersuguh cerah sekali. Dahi Rumi menunjukkan kernyitan heran. Entah kesambet apa anaknya pagi ini.

"Pagi, Pak! Pagi, Dik!" Reza kembali menyapa sambil dadah-dadah. "Pagi, dunia. Pagi, burung." Dia juga menyapa burung yang hinggap di jendela, tapi bukan Kakak Tua.

"Pagi, lantai. Pagi, bakteri. Pagi, udara. Pagi, mentari. Pagi, bunga-bunga bermekaran. Pagi, para penggemar tak kasat mata yang senantiasa Eja banggakan!" Reza masih melanjutkan. Semua yang ada di sana hanya menatap tak mengerti, tak berkedip, tak bernapas, tak bertulang.

"Eja pamit dulu. Lagi buru-buru. ada meeting penting. Assalamualaikum!"

Reza langsung melesat pergi usai berpamitan. Ruslan berseru-seru, "Bocah edan! Wedhus e durung diadusi!"

Sayangnya, Reza sudah tak terlihat. Telanjur pergi bersama Wilson-vespa biru unyu kesayangannya. Rona yang menyaksikan adegan luar biasa tadi cuma bisa geleng-geleng kepala. Hanya dia yang menjadi saksi hebohnya si Abang yang berisik sampai pukul tiga dini hari.

***

Jangan lupa mampir juga, kuy!

1. Jurig by Quintis8

2. Jiwa Yang Tertukar by SeiongJeans

3. My Love from the Past by merosems

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro