Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6

‘Halu itu sah-sah saja. Yang belum sah itu kita.’

***

Rumi memberi nama Reza Rahardja bukan tanpa alasan. Dia berharap, dengan nama itu Reza bisa menjadi pengayom seperti Jasa Raharja dan menjadi seganteng Reza Rahardian, yang disegani, diberi gelaran red karpet, ditaburi bunga-bunga saat melambaikan tangan untuk menyapa tetangga lewat. Namun kenyataannya bukan demikian. Anak sulungnya itu jauh dari yang diharapkan. Bila bisa di-refund, Rumi akan melakukannya detik ini juga.

Rumi memandang Reza tanpa berkedip. Bukan karena terpana lantaran terlalu menawan bak Goo Jun Pyo yang ditonton di TV ikan terbang. Melainkan karena daster bunga kesayangannya berada di lantai, sementara busa dan air menggenang di sekitar.

Reza dengan handuk membalut pinggang, rambut penuh busa sampo, serta sikat gigi di genggaman tangan berusaha meraba-raba dinding. Kalau meraba yang lain, sudah pasti dia akan dikeplak. Apalagi meraba isi dompet yang isinya cuma foto KTP dengan pose mata merem sebab berkedip sewaktu dijepret.

Kaki Reza yang penuh kutu air menginjak-injak daster Rumi sebagai keset. Pintu kamar mandi terbuka. Lagu Jaran Goyang terdengar keras dari dalam sana. Wanita itu sudah mengumpulkan tenaga dalam, siap untuk mengeluarkan rasengan melihat Reza seperti itu sambil tetap goyang-goyang mengikuti irama musik.

“Eja!” jeritnya. Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap. Suara teriakan Rumi bergetar, menusuk sanubari, melesak cepat hingga gendang telinga.

Reza membuka satu mata, berusaha menilik sang emak yang mukanya seperti belum dikasih jatah sama bapak. Jatah belanja, maksudnya.

“Luistrwiknya mwati, yha, Mwak?” tanya Reza polos sambil meneruskan acara sikat gigi. Mulutnya masih penuh busa dari pasta gigi. Sebelum bicara lagi, dia mengeluarkan sikatnya dari mulut. “Kok kerannya tiba-tiba mati? Kan Eja mau keramas.”

“Dasternya kenapa kamu injak-injak! Kamu ndak tahu belinya di mana?!” Rumi berteriak, membuat burung yang mampir di jendela beringsut kabur karena serangan jantung. Wanita itu tidak menggubris pertanyaan Reza barusan.

“Lho, yo ndak tahu kok tanya Eja,” balas Reza. Dia masih bertahan melek dengan satu mata. Perih mulai menjalar di sebelah matanya yang lain karena busa sampo mendadak turun lagi lebih banyak.

Rumi mendekat, menabok pantat Reza, lalu menjewer telinga sampai laki-laki itu berteriak. Busa odol di mulut segera beterbangan. Seketika ada efek gerak lambat yang mendramatisir busa-busa itu sebelum akhirnya nemplok di muka Rumi.

“EJAA!”

Burung-burung berperut buncit yang tengah leyeh-leyeh menikmati hidup di dahan pohon mangga kembali menggelepar, menjauh dengan radius paling aman agar tidak terkena serangan jantung.

“Mas Eza?”

Reza tersadar, merinding sendiri mengingat pengalaman bertahan hidupnya dari Rumi pagi tadi. Siapa suruh menaruh daster di kamar mandi. Reza pikir, daster itu sudah kotor atau sudah tak terpakai dan berniat dijadikan kain lap. Ternyata, oh, ternyata.

Reza menggerakkan kepala, menatap presensi Inggit yang kini terlihat mengibaskan tangan pelan di depan wajah. Mata yang sedikit sipit itu mengerjap beberapa kali, mengamati wajah laki-laki di sampingnya.

“Mas Eza mikirin apa? Kok ngelamun?”

Reza buru-buru menggeleng. Tengkuknya diusap canggung. Musababnya tak lain karena Inggit berjarak terlalu dekat. Membikin jiwa jomlonya yang berkarat nyaris meninggoy. Jedug, jedug, jedug, bunyi musik dangdut yang diputar oleh orang di sebelah mereka. Reza kira, itu suara degup jantungnya. Ternyata bukan.

“Eh, nggak, kok. Tadi cuma mikirin si Robert udah tak kasih makan apa belum.” Reza ber-hehe dengan muka konyol. Inggit hanya mengangguk. Dia tahu Robert. Kambing itu sudah menjadi cerita Reza sejak mereka masih duduk di bangku SMA.

“Robert pasti udah besar, ya, Mas, sekarang?” Inggit bertanya.

“Udah. Sayangnya masih jomlo,” celetuk Reza.

“Kayak yang ngomong, ya?” Inggit menimpali sambil tertawa. Kemudian dua jarinya teracung, bermaksud menunjukkan gestur bahwa dia hanya bergurau walau sebenarnya memang begitu adanya.

Reza terkekeh. “Maksudnya kamu?”

“Ya Mas Eza, dong. Kan pacar Inggit masih sibuk di Korea.”

“Hahahalu,” timpal Reza. Tawanya meluncur. Jawaban Inggit tidak pernah berubah bila ditanya begitu. Padahal kalau dipikir-pikir, tingkat kerupawanannya hampir mirip-mirip dengan mereka. Sekali menyanyi sambil pegang mikrofon, dia pasti akan mendapat banyak sorakan. Sorakan untuk segera turun dari panggung.

“Eh, tapi Mas Eza beneran jomlo? Single?”

“Bukan single lagi. Udah jadi album malah.”

“Dih.” Inggit menabok lengan Reza dengan tas selempang kecil pelan.

Mereka sekarang tengah duduk beralaskan tikar berukuran sedang yang dibawa Inggit dari rumah. Tulisan ‘Alun-Alun Bung Karno’ tampak jelas dari tempat mereka duduk. Hari ini, gadis itu libur kerja dan memilih menghabiskan waktu lagi dengan Reza yang kini sibuk mengunyah irisan mangga muda dari rujak buatan Inggit. Rasa asam manis bercampur pedas langsung menyerbu lidah, membikin sensasi segar di kala panas begini.

Inggit asyik menikmati permen kapas yang sudah mengempis. Jajanan masa kecilnya itu dibelikan Reza setelah lelah berkeliling kota Ungaran yang pagi ini sedikit mendung. Hampir saja khawatir akan hujan. Untungnya, beranjak siang begini, matahari bisa stand by. Ditambah, tadi Reza menjadi instruktur senam dadakan untuk anak TK yang sedang ada kegiatan bersama di alun-alun. Inggit juga turut membantu. Membantu menertawakan sambil mengabadikan lewat ponsel dalam bentuk video.

Dari pengalaman di atas, Reza bisa memetik pelajaran hidup berharga yaitu, jagalah tulang sejak dini agar tidak encok ketika sedang joget di depan gebetan. Namun, melihat Inggit bisa tertawa begitu lepas seperti itu membuat dia tak berhenti mengulum senyum sejak tadi. Dia selalu suka kalau bisa membuat Inggit bahagia. Apalagi bahagia dalam ikatan ... ekhem ... pernikahan. Aduh, aduh. Baru membayangkan saja sudah bikin dia meleyot.

Daya halu-nya semakin menjadi ketika melihat Inggit bermain-main dengan anak TK tadi. Di kepala sudah membentuk awan-awan yang memunculkan imajinasi ketika Inggit jadi ibu dari anak-anaknya kelak. Memang lancar sekali dia kalau disuruh mengkhayal begini. Sekalian saja jadi penulis Wattpad. Siapa tahu ceritanya laris dan jadi terkenal. Mukanya akan terpampang nyata di poster-poster seminar online sebagai pengisi materi. Baik, Kak Reza. Silakan menyampaikan materinya.

Selesai dengan rujak, Reza mengambil dua tangkup roti lapis yang diiris segitiga. Satu untuk Inggit, satu untuk dirinya. Judulnya mereka sedang piknik, biar udara segar Ungaran bisa membersihkan debu dan polusi di kepala Reza yang sumpek.

“Aku semalam sempat kaget, lho, Mas. Pas Mas Eza kirim balasan kutu kupret begitu. Eh, ternyata salah kirim.” Inggit memulai, ingat pesan balasan Reza kemarin. Sebelah pipinya mengembung, mengunyah gigitan roti lapis. Reza sudah gereget ingin mencubit pipi gadis itu bila tangan Inggit tidak mengibaskan rambut ke belakang gara-gara angin menerbangkan helai-helainya menutupi muka. Alhasil, Reza harus menerima wajahnya dihempas rambut Inggit keras-keras. Perih langsung menyebar di mata.

“Aku lebih kaget waktu lihat kamu rebutan poster sama adikku waktu itu.” Reza berujar setelah menelan roti lapisnya, tidak mau mengingat tragedi semalam. “Kalau mau, mending tak cetakkan foto wajahku. Jadi biar nggak rebutan. Yang penting kan sama-sama kertas. Sama-sama gambar oppa-oppa.”

“Kalau foto Mas Eza, Inggit ya nggak mau.”

“Lho, kenapa nggak mau. Wong sudah ganteng maksimal begini, kok.” Reza mengambil botol minum, meneguk beberapa tegukan lalu menyodorkan botol lain kepada Inggit.

“Kan ada Kai, Mas. Lagian poster official-ku nggak sengaja robek. Jadi, aku beli lagi yang murah-murah cuma buat ganti aja,” jelas Inggit. “Mas Eza emang bisa nge-dance kayak Kai?” tanya Inggit di sela suapan terakhirnya.

“Bisa. Kalau di kamar mandi sering nge-dance. Dik Inggit mau lihat?” tanya Reza. Inggit langsung melambaikan tangan, menolak. Di sini banyak orang, takut kalau jogetan Reza jadi viral.

“Nggak kamu, nggak Rona. Yang disebut kok si Kai-Kai itu terus. Coba mana, lihat wajahnya. Seberapa keren dibanding aku.”

Inggit langsung membuka ponsel, menyerahkannya kepada Reza potret seorang Kai dalam foto teaser comeback terbaru yang langsung bikin laki-laki itu diam. Reza berdeham, mengembalikan ponsel Inggit lagi. Dia mengaku kalah keren, tetapi cuma dalam hati. Inggit sudah meloloskan tawa melihat ekspresi Reza seperti orang menahan buang air besar.

Ketika sudah pulang, Reza buru-buru mengintip kamar Rona. Mencari poster Kai di antara deretan poster yang menempel di dinding kamar. Begitu ketemu, dia hendak melepas poster tersebut untuk dijadikan referensi meluluhkan hati Inggit.

“Eh, eh! Bang Eja mau ngapain?!” seru Rona tidak santai. Rambutnya masih basah. Ada handuk mengalung di leher. Baru selesai mandi.

“Dia katanya mau kambek-kambek. Kapan itu?”

“Kambek apaan? Comeback kali! C-O-M-E-B-A-C-K!” ketus Rona, berusaha melindungi posternya.

“Halah, wes, sama aja! Bacanya juga kambek.” Reza tampak menggebu-gebu. “Kata Inggit grupnya dia mau comeback. Nah, kapan?”

“Mau ngapain? Kepo aja.”

“Mau beliin album. Sebentar lagi ulang tahunnya Inggit.”

Rona melebarkan mata. Tangannya sontak menarik kerah kemeja Reza. “Rona juga mau!”

“Nggak, nggak. Beli aja sendiri!”

Gadis itu langsung cemberut. Kerah kemeja Reza sudah dilepas. Kaki dientakkan keras. Dia melirik abangnya sebentar, lalu sebuah ide gemilang muncul di kepalanya. Senyum licik terbit dari sudut bibir.

“Kuaduin Bapak, nih. BAPAK, BANG EZ—”

Reza langsung membekap mulu Rona yang berteriak. “Iya, iya! Tak beliin! Puas kamu!”

***

Jangan lupa mampir juga, kuy!

1. Jurig by Quintis8

2. Jiwa Yang Tertukar by SeiongJeans

3. My Love from the Past by merosems

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro