Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

‘Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau tidak ada, ya sudah, kita numpang selfie.’

***

“Eja, kandang yang di sebelah utara wis dikasih pakan apa durung?”

Kang Yahya yang kumisnya baru dicukur agak berseru. Kepalanya melongok ke luar kandang. Menilik Reza yang duduk-duduk di dekat Robert. Karung wadah pakan ada di sampingnya. Laki-laki usia 24 itu tidak sedang memberi pakan, melainkan sibuk mendengarkan sesuatu lewat ponsel. Sementara Robert—kambing teman curhat Reza yang kini mengenakan syal dan kupluk—sibuk menarik rumput dari karung karena Reza tak kunjung memberikannya.

“Eja!” panggil Kang Yahya. Yang dipanggil tidak menyahut. Malah kini senyum-senyum seperti habis dapat THR.

“Oalah, iki kupinge budek apa piye to?” gerundel Kang Yahya. Tangannya masih sibuk memerah kambing di kandang terpisah yang khusus untuk proses pemerahan. Bak-bak berukuran sedang sudah hampir penuh. Kang Yahya gemas sendiri.

Pria yang usianya tak lagi muda itu berdiri. Membawa susu kambing segar di wadah tadi ke tempat penyimpanan. Setelahnya, dia menghampiri Reza. Memberi tepukan lumayan keras di bahu.

“Eja!”

Kali ini Reza baru menoleh. “Kenapa sih, Kang. Teriak-teriak mulu kerjaannya. Mending bagi-bagi duit daripada teriak-teriak. Pantas aja belum dapat gandengan,” balas Reza setengah mengomel. Acara berbalas pesan suara dengan Inggit jadi terjeda. Robert yang tadinya makan langsung berhenti. Terkejut terheran-heran dengan dua manusia di depannya.

Mendengar suara perempuan dari ponsel Reza, Kang Yahya langsung mendekat, berusaha mendengar lebih jelas. Matanya langsung melebar dramatis mirip pemain sinetron yang di-zoom wajahnya dari berbagai sisi—dari depan, bawah, kanan, kiri, langit-langit rumah.

“Heh, kamu pagi-pagi sudah dengerin suara cewek. Kamu dari tadi nonton bokep, ya?” tuduh Kang Yahya. “Makanya tak panggilin ndak nyaut.”

“Enak aja. Orang berbudi pekerti luhur kesayangan nenek moyang macam Eja mana mungkin nonton begitu.” Reza langsung mengeluarkan ponselnya dari aplikasi berbalas pesan yang tadi memutar suara Inggit sedang bernyanyi.

“Lha terus tadi apa?”

“Suara Tsunade,” pungkas Reza. Kaki jenjangnya bergerak, hendak melangkah ke kandang lain. Tak lupa membawa serta karung pakan yang bahkan belum diberikan kepada Robert sama sekali. Kambing itu hendak menyusul, tetapi terhalang tali tampar yang mengekang pergerakannya. Kang Yahya segera mengekor di belakang.

“Tsunade? Yang katamu waktu itu, Ja? Kamu punya nomor WA-nya?” Wajah Kang Yahya tiba-tiba berbinar. Lupa niat awalnya menghampiri Reza yang sedang berduaan dengan Robert. Kasihan kambing fashionable itu. Belum diberi sarapan, tapi malah ditinggal pergi. Bahkan suara embikannya tak terdengar di telinga Reza.

“Ja, kamu punya nomor WA-nya atau ndak? Saya tanya ini, lho.” Kang Yahya masih mengintil ke mana pun Reza pergi. “Tadi itu suaranya Tsunade? Kayak gimana mukanya? Kira-kira cocok ndak kalau sama saya?”

“Cocok kok, Kang. Cocok,” balas Reza asal. Dia tak menyangka Kang Yahya bakal gampang percaya. “Nanti tak kasih nomornya. Sekarang mending Kang Yahya balik perah kambing aja, deh. Eja mau lanjut kasih makan. Tadi mana yang belum? Sebelah utara?”

Kang Yahya mengangguk. “Iya, yang utara.” Lalu kembali mengikuti Reza lagi tanpa melunturkan muka kelewat senangnya. “Tapi kamu janji beneran lho, ya, mau kasih nomornya. Awas saja kalau sampai PHP. Tak bilangin bapakmu kalau kamu habis nonton bokep. Biar disuruh cepat nikah.”

“Lho, kalau gitu ya nggak jadi tak kasih, Kang. Cari aja sendiri.” Reza mengulas senyum miring. Buru-buru Kang Yahya menahan, lalu menggeleng-geleng.

Yo wis, yo wis. Ndak jadi ngomong. Asal kenalin saya sama Tsunade. Si Mbok sudah tanya-tanya kapan nikah ini, lho. Stres saya kalau mikir,” balas Kang Yahya. “Nanti tak kasih imbalan ayam satu ekor kalau kamu mau ngasih.”

Reza melanjutkan langkah sambil menahan tawa. Kang Yahya sudah tidak mengikutinya lagi setelah dia memberi persetujuan. Kadang dia memang agak kasihan dengan pria itu. Sekalinya bertemu seseorang yang ditaksir, eh malah digondol orang. Sekalinya sudah mantap dan serius, eh malah ditinggal pergi sehabis ambil uangnya. Masalahnya, mau cari Tsunade sampai ke kerak bumi juga tidak akan ketemu. Lha wong cuma tokoh fiksi.

***

Saranghaeyo, gomawoyo ....”

Reza membenarkan sarung, mematut diri di cermin setelah salat magrib. Suara Rona di sebelah kamarnya yang sedang mengadakan konser dan fan meeting bersama boneka-boneka terdengar. Reza mengambil salah satu kaus kaki, lalu melemparkannya ke kamar Rona lewat lubang ventilasi di dinding.

Notifikasi pesan di ponsel langsung menarik atensi. Tangannya terjulur untuk memeriksa. Mengabaikan teriakan Rona yang mengeluh bau busuk dari kaus kaki miliknya. Ternyata pesan dari Inggit. Dia pikir dari Kang Yahya yang sejak siang menerornya agar diberikan nomor Tsunade. Tanpa pikir panjang, Reza langsung membalas. Jari-jarinya bergerak lincah.

Lepas pertemuan malam itu, Reza jadi sering berbalas pesan dengan Inggit. Suasana sudah tak secanggung seperti awal mula mereka bertemu. Dua hari ini dia sering kepergok Ruslan tengah tertawa-tawa sendiri seperti yang lalu-lalu. Saat teguran hendak melayang, Reza langsung kabur ke kamar mandi, lalu melanjutkan acara tawanya.

Kali ini sepertinya juga bakal sama. Reza jadi cepat hilang kewarasan cuma karena mendapat pesan dari si pujaan hati. Kadang sambil cekikikan, guling-guling, atau menggigit bantal hanya karena kedapatan mendengar suara Inggit lewat sambungan telepon. Pun ketika pesannya dibalas begitu cepat. Sel-sel kejomloannya yang kurang belaian semakin aktif.

Inggit pake lope

| Inggit luang, kok. Apalagi kalau bisa jalan-jalan kayak kemarin sama Mas.

| Eh, tapi apa nggak ngerepotin?

| Kan Mas Eza juga kerja

| Nanti gantian Inggit yang jemput kalau Mas Eza mau.

Kaki-kaki Reza sudah menendang udara berkali-kali. Wajahnya yang berubah warna seperti tomat busuk ditutup bantal saking panasnya. Entah apa yang membuat Reza sesenang itu pada pesan yang bahkan tidak mengandung unsur-unsur pernyataan cinta atau semacamnya. Dia langsung memberi jawaban tanpa berpikir lama. Lagipula, dia nyaris kelebihan waktu setiap hari. Jadi, pasti banyak waktu luang. Apalagi demi Inggit. Daripada kurang kerjaan dan berakhir gelut dengan kucing tetangga.

Mendengar sang kakak berisik sendiri di kamar, Rona jadi kesal karena acara khidmat fangirling-nya terganggu. Setelah serak karena konser, dia kini beralih menonton drama. Gara-gara headset dirusak Reza, dia jadi tidak bisa menyumpal telinganya bila ada gangguan tak terduga semacam ini. Gemas, dia mengirim pesan kepada abangnya tersebut.

Kutu kupret

| Ndak usah berisik, bisa ndak, Bang!

| Ganggu aja

Pesan dari Rona muncul bergantian dari pop-up notifikasi. Reza membuka, lalu menutupnya lagi. Memilih tak peduli. Dia kembali fokus dengan pesan milik Inggit.

“Bang Eja! Jangan di-read aja, dong! Mau dibilangin ke Bapak, nih, kalau habis keluar sama cewek?” teriak Rona dari kamarnya.

“Heh! Tak sumpelin dosa, ya, nanti mulutmu!” balas Reza, ikut berteriak. Untung saja Ruslan sudah berangkat ke rumah dekat peternakan. Kalau tidak, pasti bisa berabe.

“Makanya, dibalas dong!”

Sebelum lebih geregetan, Reza segera membuka ruang obrolannya dengan sang adik. Membalas pesan cepat.

Maumu apa to? |

Ganggu urusan orang dewasa aja. |

Selesai membalas, dia hendak melanjutkan kegiatannya bermanis-manis dengan Inggit. Namun, pesan Rona muncul lagi.

Kutu kupret

| Jangan berisik!

| Berisik lagi, tak buang sempak-sempaknya Bang Eja yang ada di lemari.

Membaca itu, Reza langsung mengetikkan balasan.

Ya terserah dong. |

Dasar kutu kupret! |

Terkirim.

Beberapa saat kemudian, Reza baru menyadari sesuatu. Liurnya seperti tersangkut di tenggorokan. Keringat dingin merembes di sekitar pelipis. Waduh! Mampus aku! Reza membatin.

Satu pesan baru muncul.

Inggit pake lope

| Ha? Maksudnya, Mas?

***

Jangan lupa mampir juga, kuy!

1. Jurig by Quintis8

2. Jiwa Yang Tertukar by SeiongJeans

3. My Love from the Past by merosems



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro