Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

‘Gagal itu biasa. Yang nggak biasa adalah usai menyatakan perasaan lalu menghilang.’

***

Reza sibuk mematut diri di cermin. Gaya rambut terkini abad ini menjadi fokus kegantengannya agar prosentase kemiripan dengan Choi Siwon bisa diakui UNESCO. Inggit harus melirik setidaknya satu kali agar bisa menumbuhkan benih-benih lele—eh, maksudnya benih-benih asmara.

Merasa cukup, Reza tersenyum lebar. Sarung Wadimor bermodel sama dengan yang pernah dipakai Lee Taeyong sudah tersampir di kasur, berganti celana jins dengan atasan kemeja motif garis. Suatu saat, sarung itu akan menjadi saksi siapa makmum salatnya yang akan menemani hingga tua.

Wilson sudah nangkring di halaman rumah. Vespa biru unyu yang ditempeli stiker Linkin’ Park itu sudah dipanaskan sejak tadi. Rona masuk ke kamar Reza sambil mengendus-endus. Abangnya itu sibuk sekali sejak sore seperti pejabat negara.

“Wangi banget, Bang. Kayak mau dikubur,” celetuknya. Matanya menyelidik, meneliti dari atas hingga bawah. Otak detektif karena terlalu banyak menonton drama dalam mode menyala.

Lambemu.” Reza menyahut tanpa menoleh dari kaca besar di depan. Sibuk mengagumi parasnya sendiri yang semakin dilihat, semakin sebelas-lima belas dengan Nam Do San. “Wong ganteng gini kok mau dikubur. Kasihan tanahnya, jadi insekyur.”

Rona jadi mual mendengarnya. Gadis itu menjulurkan tangan. Reza menoleh, mengernyitkan dahi. Jambul klimisnya belum rampung dibentuk. Dia jadi waswas.

“Ngapain?”

“Jaminan rahasia aman,” ujar Rona sambil cengengesan. Sudah Reza duga.

“Lha terus?”

“Ibuk sama Bapak belum pulang. Kalau nanti ditanya, oh Bang Eja tadi keluar sama pacarnya, Buk, Pak. Kalau Rona bilang gitu gimana?”

Netra Reza langsung melebar. Jambul klimisnya turun sekian derajat. Sigap dia menyahut dompet yang isinya tebal karena kertas bon. Namun sebelum itu, dia menahan pergerakannya lagi.

“Abang nggak pergi sama pacar, kok. Ngapain harus pakai jaminan. Nggak, nggak! Kacau nanti. Bocah kok mata duitan,” cibir Reza. Dia menaruh lagi dompetnya, sibuk merancang jambul.

Rona tidak yakin. Reza yang biasanya bau kemenyan, lalu berubah menjadi bau bunga tujuh rupa adalah hal yang sangat mencurigakan. Patut dicurigai. Pasti ada sangkut pautnya dengan gadis yang berebut poster dengannya beberapa waktu lalu.

“Pasti sama yang kemarin itu, ‘kan? Kalau Bapak tahu kayaknya mantap, ya, Bang. Biar nggak jomlo mulu. Biasanya cowok kalau masih jomlo ngeselin, sensian, butuh belaian.” Mulut Rona memang sudah halal ditabok. Reza langsung mencelang tak santai. Bila mencekik adik seperti Rona itu termasuk sikap berjuang melawan penjajah, Rona pasti sudah lenyap sebelum era kemerdekaan RI.

“Awas aja kalau sampai Bapak tahu. Laptopmu yang isinya oppa Upin Ipin pasti tak jual buat beli nasi padang,” ancam Reza. Dia sudah panas dingin sendiri gara-gara Rona bicara begitu. Nanti dia pasti akan ditodong untuk segera mengenalkan Inggit, lalu meminangnya. Bukannya Reza tak siap, walau sebenarnya memang demikian. Tetapi Inggit pasti ....

“Lho, ya nggak bisa. Enak aja!” Rona memprotes. Suaranya bikin telinga Reza berdenging. “Cuma mereka cowok yang nggak nyebelin. Nggak kayak Bang Eja!”

“Halah, wong kamu juga nggak tahu mereka nyebelin apa nggak, kok. Di layar beda sama aslinya.” Reza tak mau kalah. Sudah lupa soal jambulnya yang lemas tak berdaya.

“Ya sudah, mau telepon Bapak aja. Bilang kalau mau nongki sama mbak pacar. Wlee.” Rona menjulurkan lidah. Tangannya sudah sibuk mengutak-atik ponsel dengan case heboh gambar cowok-cowok kesayangannya.

“Assalamualaikum, Pak. Rona mau bi—”

Reza langsung melesat, menyambar ponsel Rona, lalu dengan napas menderu dia menutup panggilan tersebut. Tanpa banyak berkata lagi, dia mengambil dompet, menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada sang adik.

“Nih! Awas kalau ingkar janji. Tak jadiin ayam geprek kamu.”

Rona menerima dengan senyum semringah. Harum aroma uang langsung menyebar memenuhi lubang hidung. Gadis itu melompat senang sebelum mengacungkan jempol dan telunjuk, membentuk tanda ‘OK’.

Reza mengecek jam di tangan. Sudah waktunya menjemput Inggit. Sekali lagi dia memeriksa penampilan di cermin. Sudut bibirnya ditarik lebar, mengamati wajah dengan tatapan bangga.

***

Sepanjang jalan, semburat di pipi Reza tak mau luntur. Bibirnya senyum-senyum melihat jemari lentik Inggit bertaut di kemeja berlapis jaket yang telah disemprot parfum hasil mengambil dari lemari Ruslan. Wilson hari ini juga bisa diajak bekerja sama dengan baik. Biasanya vespa biru unyu itu sering bikin istigfar.

Sampai di Alun-Alun Lama, Reza memarkir motor di sana. Niatnya, mereka hari ini akan mengunjungi kafe seperti rencana awal. Namun, kafe baru itu ternyata tutup karena ada bagian lain yang masih dalam masa perbaikan. Akhirnya Inggit mengusulkan untuk datang kemari saja karena sudah lama tidak berjalan-jalan di sini, menikmati malam dan jajanan yang berjajar di pinggir jalan.

Jalanan lumayan ramai. Reza menarik lengan Inggit menepi di trotoar. Jalanan yang sempit jadi cepat penuh dan berdesakkan bila seperti ini. Apalagi kalau sedang padat-padatnya, pasti akan lebih parah.

“Nggak banyak yang berubah, ya, Mas. Alun-alun ini masih sama kayak pas zaman kita SMA.” Inggit berujar. Ada sirat senang dari nada bicaranya.

Reza bergumam setuju. Dia sejak tadi sibuk melirik presensi Inggit yang rambutnya tergerai dihiasi jepit mungil cantik. Tempias lampu menggenangi wajah ayu Inggit. Gaun putih tulang sepanjang bawah lutut dipadu kardigan cokelat muda berkibar sedikit terkena angin malam. Seketika muncul efek sinar-sinar terang seperti kerlip bintang di kepala Reza ketika Inggit menyelipkan anak rambut ke telinga.

“Dulu waktu habis rapat OSIS, Mas Eza sering ngajak ke sini buat beli batagor di depan Kantor Discapil. Sekarang ibunya masih jualan apa nggak, ya?”

Reza terkekeh samar. Dia sangat ingat momen itu. “Masih, kok. Tadi kayaknya kita ngelewatin gerobaknya. Mau beli?” tawarnya.

Inggit menggeleng. “Kayaknya kalau sore lebih enak. Biar lebih menjiwai kalau nostalgia.” Lalu keduanya tertawa. Kapan lagi Reza bisa menikmati tawa Inggit yang selalu sedap di pendengaran.

“Jadi kangen masa SMA,” kata Inggit pelan. Napas diembuskan ketika matanya mengedar ke sekitar. Banyak gerobak orang berjualan, suara klakson kendaraan berdesakkan masuk telinga, dan lampu-lampu temaram yang menyinari sepanjang alun-alun.

“Kalau aku, sih, kangennya sama kamu.” Gombalan cap kadal bercula satu. Inggit cuma menyikut lengan Reza sebagai tanggapan. Dia tahu, kakak kelasnya sewaktu SMA itu hanya bergurau.

Alun-Alun Lama ini hampir selalu ramai. Berbagai macam jajanan tersebar di sini. Mulai dari nasi goreng, nasi goreng babat, bakso, soto, wedang ronde, dan lain-lain. Gunung Ungaran akan terlihat jelas bila langit sedang cerah.

Di tengah alun-alun ada semacam tugu yang didominasi warna merah dengan bambu runcing. Tugu ini dibuat sebagai bentuk dari penghormatan pada pahlawan yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pada sisi depan dan belakang ada jalan lurus memanjang yang kanan kirinya dihiasi semacam tempat duduk dari beton. Sisi lainnya, lampu-lampu berjajar dengan kolam-kolam dangkal.

Reza membawa Inggit menyusuri jalan menuju tengah alun-alun. Gadis itu tampak senang meski hanya disuguhi pemandangan yang menurut Reza cukup biasa saja baginya. Selama lebih dari lima menit mereka hanya berkeliling, menikmati udara malam yang kian dingin.

“Duduk, yuk. Pegel juga jalan kaki dari tadi,” ujar Reza. Lama tak berolahraga membuatnya cepat lelah.

“Namanya juga jalan-jalan, Mas. Kalau pakai motor, ya jadinya motoran,” seloroh Inggit.

“Iya, sih. Tapi maksudnya yo ndak gitu, Dik Inggit.” Reza tertawa garing, disusul Inggit.

“Bercanda, Mas.”

“Kalau mau serius ke KUA aja, yuk, Dik.”

Kali ini Inggit memukul lengan Reza pelan. “Mas Eza, ish.”

“Bercanda,” balas Reza. Padahal dari kata ‘bercanda’ terdapat maksud terselubung. Dia cengar-cengir sendiri membayangkan.

“Eh, tapi tadi kita juga pakai motor, ‘kan?” Inggit kembali bersuara ketika mereka telah duduk di sebuah dudukan dekat tugu. Di belakangnya ada taman mini dengan berbagai macam bunga.

“Pakai perasaan juga boleh.”

“Ya mana bisa to, Mas.” Inggit tertawa. Mereka menghabiskan waktu mengobrol, mengenang masa-masa saat masih duduk di bangku sekolah menengah.

Setengah jam lebih berlalu. Reza mengajak Inggit menilik sekitar untuk membeli beberapa kudapan hangat. Inggit langsung menunjuk penjual jagung bakar serut yang ada di sana. Aroma harumnya menguar hingga seberang jalan. Reza bisa melihat Inggit berjingkrak senang. Dalam hati, dia sudah kebelet mengucapkan akad nikah saking gemasnya.

“Pas Inggit masih kuliah sering jajan jagung bakar. Sekarang pas udah kerja jarang keluar, apalagi jalan-jalan begini,” kenang Inggit di sela gemeletuk jagung yang dibakar sambil dibumbui.

“Kenapa?” Reza penasaran.

“Enggak apa-apa. Mager aja.”

“Mager? Maksud kamu, mager yang bikin pagar itu?”

Inggit sempat menatap Reza heran. Habis dari mana orang ini. Mungkin begitu yang ada di kepalanya. “Bukan, Mas. Mager itu males gerak.”

“Oalah.” Reza manggut-manggut. Inggit hanya tertawa.

“Kenapa nggak pakai jasa pesan-antar aja kalau gitu?”

“Kan penginnya sambil jalan-jalan, lihat keadaan luar, menikmati keramaian, ketemu banyak orang.”

Reza angguk-angguk sambil ber-oh saja. Sudah bisa dipastikan bahwa hidupnya terlalu monoton karena sejak tadi tanggapannya hanya manggut-manggut seperti orang diberi suap.

“Oh, ya, Mas Eza sebelumnya kuliah di mana? Terus sekarang kerja di mana?” tanya Inggit ketika jagung bakar serut dengan baluran keju sudah di tangan. Ditanya hal semacam itu, Reza mendadak kebelet. Perutnya mulas. Padahal jagung bakarnya belum berkurang sedikit pun.

“Waktu itu kita sempat hilang kontak, ‘kan? Jadinya nggak tahu kabar satu sama lain. Padahal pengin, sekali waktu ketemu, terus ngobrol-ngobrol kayak gini.” Inggit masih melanjutkan. Agaknya muka Reza makin tertekan. Perut yang awalnya lumayan keroncongan, sekarang jadi qasidahan.

Ku menangis ....

Reza meringis dalam hati. Di antara semua opsi pertanyaan, mengapa Inggit harus bertanya masalah paling krusial seperti itu?

“Eh ... anu ....” Reza berusaha menyusun kalimat yang pas. Tahu bahwasannya gelar di belakang nama Inggit adalah S.H. lulusan universitas negeri ternama di Semarang. Dia S apa? S serut? S lilin? S—talking mantan?

“Aku nggak kuliah, Dik. Langsung cari kerja pas udah lulus. Kalau sekarang, kerjanya ya begini-begini aja.” Reza menjelaskan dengan nada pelan. Kepercayaan dirinya telah merosot hingga mata kaki. “Kelihatan payah, ya, pasti?”

Inggit cepat-cepat menggeleng. “Nggak masalah, Mas. Mas Eza tetap keren, kok. Nggak kuliah bukan berarti payah, Mas.” Dia tersenyum, membuat kepercayaan diri Reza tumbuh kembali. Kekuatan orang kasmaran memang beda. Untung biji jagung yang hendak masuk ke tenggorokannya tidak bikin tersedak.

Hampir pukul sembilan malam, Reza memutuskan mengajak Inggit pulang. Tadi sewaktu menjemput, ayah Inggit tidak di rumah. Kalau membawa anaknya pulang terlalu malam rasanya kurang elok. Terlebih, awan mendung terlihat menggumpal, menutupi bulan yang tadinya bersinar terang. Udara kota makin rendah.

Baru setengah jalan, hujan mulai mengguyur. Terpaksa Reza berhenti di sebuah toko yang telah tutup selama beberapa menit ke depan. Mereka terpaksa berteduh agar Inggit tidak basah kuyup.

Reza melepas jaketnya, hendak diberikan kepada Inggit biar keren seperti di drama-drama. Eh, belum sempat diterima, seorang bapak-bapak yang juga berteduh langsung menyerobot.

“Wah, kebetulan. Makasih ya, Mas. Tahu aja kalau saya kedinginan,” katanya.

Kalau tidak ingat itu orang sepuh, Reza pasti sudah misuh-misuh. Inggit awalnya terkejut, tetapi hanya bisa menahan tawa melihat muka Reza.

“Lho, lho. Gimana to, Pak. Ini buat calon pacar saya, kok.” Reza mengambil jaketnya lagi sambil marah-marah, sampai tidak sadar bahwa dia sudah keceplosan. Andai dia tahu bagaimana raut muka Inggit saat itu.

“Ah, skip, deh. Masnya baperan,” kata si bapak-bapak, lalu mengambil sepedanya lagi sebelum pergi, menerobos hujan yang lamat-lamat mulai reda.

Reza sempat cengo sebelum mengelus dada sambil istigfar.

***

Hailoo. Ya ampun, bisa-bisanya ketiduran 😭👎

Untung belum jam 5 :')

Jangan lupa mampir juga, kuy!

1. Jurig by Quintis8

2. Jiwa Yang Tertukar by SeiongJeans

3. My Love from the Past by merosems

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro