Bab 3
'Semua orang menyuruh bersabar. Lalu Sabar menyuruh siapa?'
***
Pagi-pagi sekali Reza sudah berada di peternakan. Hukuman masih berlanjut. Dibuka adegan yang sama ketika guling melayang menimpuk wajah. Ilernya pun masih beraroma sama. Belum ada perubahan. Yang berubah mah dia yang sudah menemukan orang lain, lalu pergi setelah menebar harapan.
Baru juga ganti seprai, tapi bekas berbentuk bulat-bulat mirip relief danau sudah menempel di permukaan guling. Beberapa pulau juga terlihat di bantal yang dia gunakan. Kalau diteruskan, mungkin akan membentuk peta Indonesia dengan topografi yang lebih jelas dan 3D. Bila saja iler bisa bermanfaat untuk pupuk tanaman, Reza bakal terus memproduksinya tiap pagi tanpa rasa sungkan. Atau yang lebih menakjubkan, bisa melindungi lapisan ozon Bumi. Sudah pasti, Reza bakal jadi penyumbang paling dermawan di seantero dimensi.
Berbekal karung besar, Reza mulai mengambil pakan di gudang khusus pakan. Ada beberapa tiang bambu dengan alas seperti rumah panggung berisi bermacam-macam rumput yang diaduk menjadi satu. Rumput yang memiliki daun panjang sudah dipotong-potong lebih kecil sebelum diberikan ke hewan ternak. Reza mengambil tumpukan rumput yang menggunung tinggi dengan telaten sampai karungnya penuh. Setelahnya, dia kembali ke area kandang.
Ungaran memang selalu dingin, tapi udara pagi ini terasa lebih dingin dan berkabut. Lagu Nobody yang dipopulerkan oleh Wonder Girls tak cukup membuat tubuh Reza hangat setelah kurang lebih setengah jam mengadakan pertunjukkan di depan kambing-kambing yang masih tidur. Apalagi mood sisa semalam masih menjejak di kepala. Seolah belum puas, pagi ini di meja makan, bapaknya memberi sepiring penuh 'wejangan' seperti sebelumnya.
"Kamu sekarang ndak ke pasar lagi, Ja?" Pegawai bersuara cempreng yang tempo hari izin ngopi menyapa. Di belakangnya ada pasukan kambing yang sepertinya akan digembala di kandang umbaran.
"Kalau pagi ke sini dulu, Kang. Habis itu baru ke pasar." Reza menjawab sekenanya. Suaranya hampir tertutup embikan kambing indukan bertubuh semok-semok yang dia beri makan.
"Oalah. Tak kira sudah menetap ngurus peternakan," balasnya. "Yo wes, saya duluan ya, Ja. Padat banget ini jadwal saya. Maklum, begini kalau jam terbang sudah tinggi." Reza merotasikan bola mata. Memilih tak menggubris omong kosong pegawai bapaknya tersebut.
Di sela-sela memberi pakan, fokus Reza menerawang jauh ke arah kotoran dan kencing kambing yang baru keluar bersamaan. Menimbulkan bunyi 'kracak-kracak' di antara lantai usuk bambu. Dia masih memikirkan perkataan bapaknya saat sarapan. Pagi-pagi telinganya sudah kenyang.
"Lebih baik kamu pikirkan lagi, Le. Urus peternakan itu ndak seremeh kelihatannya. Hasilnya besar. Bisa buat modal nikah."
Reza cuma diam. Tangannya fokus menyendok nasi goreng kegosongan gara-gara Rumi kebelet pipis. Kata-kata itu sudah seperti kentut yang ditahan terlalu lama. Dia tak tahan lagi.
"Kalau kamu dikasih saran orang tua, lebih enak dituruti. Ini kan juga buat kamu sendiri. Ndak ada ruginya, lho."
Reza mengambil minum, meneguknya dalam diam. Usai memastikan bahwa butir nasi tidak tersangkut, dia baru membuka mulut. Maksudnya, untuk menguap, bukan menjawab.
"Gimana?" tanya Ruslan. "Ini sudah paling enak, Le. Kamu ndak perlu susah payah merintis dari awal kayak Bapak dulu."
"Tapi Eja masih mau berusaha sendiri, Pak. Buat membuktikan kalau Eja juga bisa, tanpa campur tangan orang tua. Eja pengin tahu rasanya merintis karier dari nol. Nggak cuma disodori hasil akhirnya, terus leyeh-leyeh," jelasnya. Dia masih setengah mengantuk. Sarung membelit tubuhnya yang menggigil. Rona dan Rumi hanya diam menyimak sambil sesekali melirik dua orang itu bicara.
"Lha tapi buktinya ini, lho, mana? Andalanmu bilang begitu, tapi sampai sekarang yo belum apa-apa." Ruslan membalas setelah menyeruput kopi hitam yang masih mengepul asapnya.
"Makanya kasih Eja waktu lagi, Pak. Kelihatannya Eja santai-santai, leyeh-leyeh, nggak mikir. Tapi di kepala rasanya sudah mau meledak, Pak, kalau buat mikirin masa depan."
"Yo makanya, jangan cuma dipikir tok. Dilakukan juga. Biar ada hasil nyata. Nek cuma mikir, yo iso Bapak, Le."
Reza tak membalas. Sibuk memperhatikan taplak meja motif bunga-bunga yang sudah kumal. Sebentar lagi Rumi pasti bakal ribet sendiri, bingung mau beli taplak meja bermotif apa.
"Sudah, Pak. Kita sarapan dulu. Nanti keburu dingin." Rumi mencoba menengahi. Meski kadang terlihat galak, kalau keadaannya seperti ini sikapnya bisa berubah 180 derajat dikurangi 1,5 derajat.
Rona yang merasa masih di bawah umur hanya bisa menyimak sambil streaming video idolanya di YouTube dengan volume kecil. Sesekali dia kelepasan tertawa keras, lalu merapatkan mulut setelah mendapat pelototan tajam dari Rumi.
"Yo ndak bisa begitu, Buk. Ini demi masa depan anak kita, lho," sanggah Ruslan.
"Tapi ini waktunya sarapan, Pak. Masalah ini bisa dibicarakan kalau sudah selesai. Nanti ndak enak, nafsu makan hilang kalau suasananya begini."
Sayangnya nafsu makan Reza sudah hilang sejak tadi. Dia tak berselera meski ada telur ceplok setengah matang kesukaannya tersaji di meja. Namun kenyataannya, nasi di piring sudah tandas beberapa menit lalu. Bersih tanpa sisa. Bahkan Reza lebih cepat menghabiskan sarapannya dibanding yang lain. Dia pula yang makan paling banyak. Lalu yang tak nafsu makan apanya? Nenek moyangnya?
"Eja ke kandang dulu. Kang Yahya sudah nunggu." Reza pamit setelah menegakkan tubuh, lalu beranjak dari sana. Mereka hanya tak tahu bahwa dia habis kentut diam-diam dan meninggalkan bau berkualitas premium.
"Tumben, Ja. Datangnya pagi-pagi begini. Lagi bahagia, ya?" Kang Yahya muncul dari balik kandang seberang yang didominasi kambing jenis Etawa.
Setelah tadi dibikin kesal, muncul lagi sumber kekesalan yang lain. Reza berdecak keras. "Bahagia dari Konoha! Orang lagi kesel dibilang bahagia. Kang Yahya gimana, sih."
"Oalah, lagi kesel. Pantas aja mukamu kayak air kali pas habis hujan deras. Butek," celetuk Kang Yahya.
"Nah, itu tahu. Kenapa tadi bilang bahagia?" Reza bersungut-sungut.
"Lho, tadi saya belum tahu. Kan kamu belum bilang."
"Kan dari mukanya sudah kelihatan, Kang!" Reza emosi.
"Emang mukamu tadi gimana?" Kang Yahya ternyata lumayan bikin orang pengin mutilasi.
"Ah, bodo amat, deh, Kang! Eja mau kasih makan Robert dulu. Bye!"
Robert adalah kambing pejantan paling menawan yang biasa diajak curhat Reza ketika sedang kurang kerjaan. Kalau Robert tidak mau mendengar, dia akan mencari kucing milik tetangga berperut buncit, lalu mengajaknya gelut tanpa alasan dan berakhir dilempari sendal oleh yang punya.
"Eh, eh, saya belum selesai ngomong ini, lho." Kang Yahya menahan tangan Reza seperti di drama-drama.
"Apa lagi?!"
"Konoha itu di sebelah mana, ya? Ada cewek-cewek cantik, ndak? Kalau ada, kenalin satu ke saya, dong, Ja. Udah bosan jomlo, nih."
Reza meremat tangan gemas. Amarahnya sudah di ujung. Sebentar lagi mungkin bakal meledak. Apalagi muka Kang Yahya kelewat menyebalkan di matanya.
"Astagfirullah, Kang." Reza elus dada. "Sama Tsunade aja sana! Pagi-pagi bikin pusing."
***
"Ada apa, Buk? Kok tumben nyusul kemari." Reza bertanya saat melihat Rumi datang sambil menilik kambing-kambing kelebihan gizi. Yang ditanya cuma tersenyum. Senyum kalem yang bikin Reza malah merinding saking terbiasa melihat Rumi teriak-teriak setiap pagi.
"Ndak, cuma mau lihat peternakan saja. Lama ndak ke sini."
Hening. Reza cuma manggut-manggut. Kalau begini ibunya benar-benar berubah. Tidak galak. Berbeda kalau sedang membangunkan tidur.
"Soal ucapan bapakmu tadi, ndak perlu terlalu dipikirin terlalu jauh. Bapakmu memang suka begitu."
Oh, jadi karena ini. Pantas saja.
Reza termangu sebentar, masih sibuk memberi makan Robert yang kelaparan. Kambing itu punya nafsu makan di atas rata-rata. Tubuhnya gagah, bulunya bersih berkilau. Tapi sayang, masih jomlo hingga sekarang.
"Bapak suka. Eja yang ndak suka, Buk. Wong Eja ini juga ndak nganggur-nganggur amat," ungkapnya.
"Iya, Ibuk juga ngerti. Makanya Ibuk bilang kalau jangan terlalu dipikirin. Boleh dipikirkan, tapi jangan sampai bikin kamu jadi patah semangat."
"Eja itu cuma nggak suka kalau Bapak sudah banding-bandingkan Eja sama anak orang lain. Setiap orang kan punya jalannya sendiri-sendiri, Buk. Eja juga sudah segede ini. Pasti tahu apa yang kudu diperjuangkan. Nggak perlu dituntut ini-itu, dikasih tahu, disuapi kata-kata yang sama setiap hari. Bosan, Buk, kalau dengar."
Rumi diam. Terlihat mafhum. Bila Reza sudah memanggil 'Buk' alih-alih 'Emak', bisa dipastikan bahwa anak sulungnya benar serius.
"Ya sudah, Eja mau lanjut kasih pakan ke kandang lain," pamit Reza. Karung besar yang disandarkan di patok bambu diangkat kembali. Dia berhenti ketika ponsel di saku berbunyi nyaring. Pesan dari Inggit.
Inggit pake lope
| Iya, Mas. Boleh.
Mata Reza sontak melebar. Rona senang tak bisa disembunyikan dari wajahnya.
"YES!"
Reza bersorak kegirangan karena ajakannya keluar yang dikirim kemarin akhirnya dibalas. Lupa kalau beberapa detik yang lalu sempat dongkol.
***
Hailo!
Hampir kelupaan update gara-gara semalam habis up Sagi. hihi.
Semoga menghibur. Kalau ada kritik saran, sila dilempar di komentar, ya!
Jangan lupa mampir juga, kuy!
1. Jurig by Quintis8
2. Jiwa Yang Tertukar by SeiongJeans
3. My Love From the Past by merosems
Thank you!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro