Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

'Manusia diciptakan berpasang-pasangan. Kalau nggak punya pasangan, cari dong. Gimana, sih.'

***

Malam, Dik Inggit.

Reza menatap cemas ponsel di genggaman. Ini kali pertamanya dia coba-coba menyapa Inggit lewat pesan singkat setelah sekian lama. Pengalaman sering ditolak kakak kelas lumayan bikin Reza agak trauma kalau dibilang sok kenal sok dekat, buaya darat, buaya rawa, badak bercula dua. Semua hewan tiba-tiba jadi gelar di belakang nama. Padahal kalau dengan Inggit sudah lumayan dekat. Tinggal tentukan tanggal jadian.

Masalahnya, semesta tak semudah itu merestui. Kalau semua tampak mudah, malah patut dicurigai. Contohnya ketika bisa jadian dengan bias. Jangan-jangan besoknya langsung dicekek sasaeng fan. Tidak ada yang tahu juga.

Inggit pake lope

| Eh, Mas Eza.

| Malam juga.

| Ada apa, Mas?

Eh, sudah dibalas, dong. Cepat sekali, seperti mas-mas JNE, tapi pas pintu dibuka ternyata sales lewat yang mau menawarkan produk. Prank kehidupan memang menyenangkan. Sungguh menyenangkan.

Reza langsung bangun dari goleran di kursi panjang ruang tamu. Sarung yang dipakai dibenarkan. Kalau tahu bagaimana raut mukanya, pasti kebelet pengin tabok. Alhamdulillah, ini bukan prank. Ini betulan dari Inggit. Reza tersenyum girang, melebihi ketika mendapat uang kaget. Jarinya bergerak cepat melebihi kecepatan cahaya.

Ada kodok. |

Hehe. Canda. |

Cuma pengin nyapa, kok. |

Lagi sibuk, ya? |

Ini belum mirip buaya rawa, 'kan? Masih normal, 'kan? Apa ada persyaratan tertentu agar bisa lolos seleksi dan menyandang gelar buaya rawa? Menurut Reza, pesan yang dia kirim masih normal. Dia tidak bertanya soal, "Kalau aku chat gini, bakal ada yang marah nggak?"

Reza terkekeh-kekeh seperti orang kelebihan kewarasan. Lama menjomlo membuat dia tampak memprihatinkan. Kasihan. Mana masih muda.

Ruslan memperhatikan dari sudut. Di tangannya ada secangkir kopi hitam. Masih panas. Kumis yang setipis dompet putranya itu bergerak menunjukkan keheranan melihat Reza kini berguling-guling dengan ekspresi konyol.

Inggit pake lope

| Lagi nonton TV sama Ayah.

| Nggak sibuk, kok.

Punggung Reza ditegakkan, lagi. Bangkit, lalu duduk manis. Di dekat Inggit saat ini ada calon mertua yang menjadi penentu kejomloannya, apakah direstui atau tidak. Padahal menyatakan perasaan saja belum pernah. Reza berdeham singkat sebelum mengetikkan balasan. Dia cengar-cengir kesenangan.

Ada kafe yang baru buka kemarin. |

Katanya tempatnya bagus. |

Kapan-kapan kalau luang, mau ndak nyoba ke sana? |

Tak tahan, Ruslan menghampiri Reza, ikut duduk di sana. Cangkir kopi diletakkan di meja. Putranya belum menyadari kedatangannya karena sibuk melempar senyum ke layar ponsel.

Status kewarasan saat ini : 0,1% dengan kandungan lemak jenuh 2% dan daya khayal 97,9%.

"WA-nan sama siapa, Ja?" tanyanya.

"Sama teman, Pak." Reza membalas tanpa menoleh. Asyik menekuri layar ponsel yang kelihatannya lebih seru daripada sinetron azab.

"Pacarmu, ya?"

Jempol Reza berhenti bergerak. Kepalanya baru menoleh. Senyum girangnya perlahan luntur seperti habis kepergok nonton bokep. Dia baru sadar kalau bapaknya memperhatikan sejak tadi.

"Bukan pacar. Cuma teman. Teman lama," balasnya kemudian. Pasti pertanyaan tadi akan beranak-pinak sampai mendapat balasan yang memuaskan. Dikira costumer service.

"Lha katanya Rona waktu itu kamu ninggalin dia gara-gara ngantar cewek. Temanmu yang itu, 'kan?"

"Iya."

Eh, padahal di kepala ingin dijawab 'tidak', tapi kenapa yang keluar malah 'iya'.

"Kalau begitu, ya, memang pacarmu," tutur Ruslan. "Ngaku saja kok susah. Coba kenalin sama Bapak, Le. Bawa ke rumah."

Kening Reza terlipat. Lha, kok maksa? Memang bukan pacar atau sejenisnya, kok.

"Dibilang bukan. Itu cuma teman Eja, Pak. Udah lama ndak ketemu. Namanya orang, pasti ya pengin tanya-tanya, to," jelasnya. Tidak yakin kalau balasannya bakal memuaskan. Sepertinya dia harus jadi ironman dulu supaya bapaknya bisa berhenti.

"Terus kalau bukan pacar, ngapain ketawa-ketawa, senyum-senyum sendiri?"

"Lho, memangnya kalau chat sambil ketawa atau senyum cuma sama pacar aja? Yo ndak, Pak. Dapat giveaway juga bisa bikin senyum-senyum," sangkal Reza. Sayangnya dia tidak pernah dapat giveaway. Jadi tidak tahu apakah dia harus senyum atau tidak. Entah dapat hidayah dari mana bapaknya bisa bertanya seperti itu.

"Oh, berarti bocah jaman saiki padha gendheng kabeh. Senyum kok sama HP."

Reza cuma menyengir saja mendengar penuturan sang bapak. Daripada senyum sama mantan, nanti dikira mau ajak balikan. Padahal cuma mau tagih utang. Bisa berabe. Lebih baik senyum sama HP walau aslinya tidak ada yang chat.

Tak lama setelah berkata begitu, ponsel si Bapak berdering. Ditatap benda pipih itu dari jarak dua kilometer demi membaca siapa nama pemanggil. Reza geleng-geleng saja.

"Oh, iya. Halo, Kang Jimin." Ruslan tertawa keras, menyapa pemanggil di seberang. Kumisnya bergerak-gerak kecil. "Yo jelas sehat, Kang. Kita lama ndak ketemu. Piye iki, arep ketemu kapan?" Kemudian tertawa lagi. Reza cuma memasang wajah datar.

Selama bermenit-menit, Reza jadi penyimak bapaknya yang sedang telepon. Pria itu sibuk tertawa, bicara, lalu tertawa lagi. Rasanya sudah seperti obat nyamuk ketika mengobrol bersama teman yang mengajak sang pacar. Mereka sibuk berdua, sedangkan dirinya cuma jadi penonton. Lalu apa gunanya mengajak dia menongkrong kalau cuma dianggurkan.

Setelah sambungan telepon terputus, bapaknya itu masih sibuk mengutak-atik ponsel, mengetik pesan sambil tertawa kecil. Reza berdecak sendiri. Bagaimana jadinya kalau dia mengingatkan kembali kata-kata yang diucapkan ayahandanya tadi. Ya, minimal langsung dihantam dengan kata durhaka dan sejenisnya.

"Kamu mending terima tawaran Bapak, Le. Biar jelas masa depanmu." Bapak melanjutkan begitu selesai urusan ponsel. Setelah bahasan soal pacar, kini beralih ke masa depan. Sungguh pembicaraan yang mengesankan bagi Reza. Saking mengesankannya, dia ingin sekali punya pintu ke mana saja agar bisa kabur dengan cepat.

"Umurmu sudah 24 ini, lho. Harusnya sudah bisa mapan. Teman-temanmu sudah banyak yang sukses, masa kamu begini-begini tok," lanjutnya.

Wajah Reza langsung berubah. Disinggung hal semacam ini memang hal yang paling dia benci. Apalagi ditambah bumbu 'teman-temanmu sudah banyak yang sukses'. Sedap sekali di pendengaran. Tinggal diberi garnis sebagai finishing agar lebih mantap.

"Mereka juga sudah banyak yang nikah. Lha kamu calon saja belum ada. Bapak sudah kebanyakan kasih kamu waktu. Tapi nyatanya belum bisa membuktikan to sampai sekarang? Mau sampai kapan kamu susah-susah kerja serabutan begitu?"

Nah, 'kan? Sudah bisa Reza duga akan seperti ini. Tidak bisa dia bayangkan kalau temannya adalah Mark Zuckerberg. Sejauh mana bapaknya akan membanding-bandingkan dirinya. Lihat itu, si Mark sudah bla bla bla.

"Hidup kan bukan balapan, Pak. Akan ada waktunya sendiri bagi Eja. Apa-apa nggak harus diukur pakai angka. Di usia segini harus begini. Di usia segitu harus begitu. Harus jadi ini, harus jadi itu. Setiap orang bakal ada momennya." Eh, buset. Mimpi apa semalam sampai bisa bicara seperti itu. Dalam hati, Reza agak sedikit bangga. Sepertinya kalau mencalonkan jadi presiden sudah cocok. Oh, indahnya mimpi.

"Ini juga demi kebaikanmu, to, Le. Di mana-mana orang tua kepengin lihat anaknya sukses, terus menikah, punya anak."

Andai hidup bisa seindah dan selancar itu. Sayangnya Tuhan sudah berkonsolidasi dengan kenyataan hidup agar manusia tidak serta-merta dimudahkan begitu saja. Red karpet kesuksesan tidak semulus ketek Lisa Blackpink waktu jadi model majalah Vogue Hongkong. Oh, tidak semudah itu, Ferguso.

Coba lihat Hwang In Yeop. Sudah lihat?

Ya sudah. Cuma kasih tahu saja bahwa dia makhluk rupawan.

"Mending kamu urus peternakan. Sudah pasti hasilnya. Kalau kamu kerja kasar serabutan, orang-orang bakal mudah remehin kamu."

"Tunggu saja, Pak. Nanti Eja bakal bisa buktikan, kok."

"Kapan? Kamu nyuruh Bapak nunggu terus, dikasih kepastian enggak." Lho, Bapak malah curhat. Pernah di-PHP doi juga sewaktu muda?

"Ya ditunggu saja, Pak. Namanya juga orang berproses. Pasti butuh waktu nggak sebentar. Yang sebentar itu bikin Indomie," terang Reza. Lumayan kesal. Padahal dia juga sudah berusaha keras selama ini, tapi sepertinya tetap tak terlihat di mata orang tua.

"Kamu ini, dibilangin orang tua malah begitu. Ingat, Le, kamu udah 24 tahun. Kalau belum bisa menghasilkan apa-apa pasti bakal jadi gunjingan tetangga."

"Kok Bapak malah ngurusin omongan tetangga? Tetangga itu nggak tau apa-apa, Pak. Nggak tahu Eja. Nggak tahu gimana susah payahnya Eja berproses. Mereka maunya lihat yang bagus-bagus saja. Lihat hasil akhirnya." Reza mencoba mengungkapkan apa yang sejatinya selama ini dia rasakan. Lelah juga kalau ditodong seperti ini terus.

Tatapan Ruslan berubah lebih tegas. Tidak butuh mendengar pembelaan anak sulungnya. Sebelah sudut kumisnya bergerak-gerak. Kopi di meja sudah dingin. Serasi dengan suasana ruang tamu yang mendadak tegang. Senyap. Udara kota Ungaran yang dingin jadi tambah dingin berkat pembicaraan ini.

"Ya memang begitu, 'kan? Biar anak Bapak ada yang bisa dibanggakan. Kamu lihat si Bambang, anak Pak Kades desa sebelah. Dia sudah bisa sukses waktu umurnya masih 21."

Reza mendengkus tak peduli. Bagaimana caranya melihat? Pernah bertemu saja tidak. Tahu wajahnya saja tidak. Lagipula, setahu Reza, anak Pak Kades di desa tetangga namanya Jumilah. Bambang? Siapa pula itu.

"Ya sudah, Bapak angkat saja Bambang jadi anak Bapak. Biar bisa ada yang dibanggakan sama tetangga," pungkas Reza. Suasana hatinya sudah telanjur jelek. Selesai berkata begitu, Reza memilih pergi ke ruang tengah, ikut nimbrung sang adik yang asyik menonton TV.

"Alah, ganggu aja. Rona mau nonton Upin Ipin, ih!" pekik Rona saat Reza sudah duduk di sebelahnya, mencoba merebut remote.

"Udah SMA masa nonton Upin Ipin. Mending nonton bola."

"Bola di depan rumah ada, tuh. Tonton sana sampai puas!"

***

Halo. Selamat hari Jumat!

Masih sehat? Jaga kesehatan terus, ya. Sekarang lagi musimnya sakit :)

Makasih yang udah mampir dan baca. Semoga bisa menghibur.

Bila ada kritik saran jangan sungkan lempar di komentar, yak.

Jangan lupa mampir juga, kuy!

1. Jurig by Quintis8

2. Jiwa Yang Tertukar by SeiongJeans

3. My Love From the Past by merosems

Thank you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro