Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

'Bermimpilah setinggi langit. Kalau cuma setinggi kasur, mending balik tidur.'

***

Ternyata tersandung kabel bukan hal yang bikin hidup jadi berat. Melainkan guling bermotif bebek kuning penuh iler yang menimpuk tepat di muka, yang membuat Reza serasa baru saja mendapat sial. Pelototan itu kini terlihat nyata dan jelas. Cepat-cepat dia merem lagi, membenamkan wajah ke guling kumal peninggalan nenek moyang.

Benar kata Emak. Bau ilernya memang luar biasa. Sekali cium bisa membuat saraf-saraf di otaknya joget Tik Tok sampai masuk FYP. Tak habis thinking. Setiap tetesnya bahkan meresap sempurna sampai ke serat-serat kain melebihi daya resap pewangi pakaian.

"Bangun! Kamu ndak tahu matahari sudah di atas?"

Emang matahari pernah migrasi ke mana? Reza membatin dongkol sambil tetap memejam. Pipinya yang bekas iler digaruk-garuk. Masih ingin malas-malasan tidur setelah bergadang menonton bola sampai pagi.

"Jam segini masih molor. Nanti istrinya berewokan tahu rasa. Mau kamu?"

Reza mengerjap setelah melempar guling beraroma mantap tadi ke sembarang arah. Apa hubungannya bangun molor sama istri berewokan? Batinnya lagi.

Senyum-senyum sisa mimpi semalam langsung amblas, berganti dengan ceracauan tidak jelas. Bayangan fan meeting, fansign, dan jadwal comeback sudah pecah. Dia bangun sambil menggerundel, memunguti pecahan mimpi indahnya di lantai, lalu menempelkan lagi di kepala. Siapa tahu nanti benar-benar jadi kenyataan.

"Memangnya Emak suka tipe mantu yang berewokan? Kuylah, cari," ujarnya ngawur. Tabokan langsung mendarat di bokong.

"Aduh, Mak! Orang ganteng jangan dizalimi terus kenapa, sih." Reza memprotes seraya mengusap pantatnya yang panas. Tangan emaknya ini sudah seperti tamparan mantan, membekas dan lama pudar.

"Bapakmu sudah nunggu itu, lho, di kandang. Mbok ya jangan lelet." Rumi, emak Reza, menyahut setelah mencopot seprai yang sudah berbulan-bulan belum dicuci. Baunya ... beuh. Mirip parfum mahal yang direndam di kubangan limbah tahu. Bila dikirim ke istana presiden, bisa-bisa mendapat dakwaan kalau punya motif terselubung aksi terorisme saking mematikannya.

"Bocah lanang kemproh!" pekik sang emak. Reza hanya tersenyum sambil cengengesan.

Meski sejujurnya mimpi tadi masih ingin dijadikan mini seri, tapi Reza harus bergegas kalau hukuman mengurus peternakan tidak ingin ditambah menjadi dua bulan. Dia tidak ingin menghabiskan masa mudanya bergaul dengan kambing-kambing. Apalagi membayangkan ketika fansign yang datang malah mereka, bukannya manusia.

Usai mandi dan menjadi ganteng, Reza langsung menuju meja makan untuk sarapan. Baru setelah itu, dia berangkat ke peternakan yang jaraknya lumayan dari rumah. Lumayan bikin sambat kalau hanya jalan kaki.

Begitu sampai, Reza langsung disuguhi sapu, selang air, dan tatapan tak santai dari Ruslan, bapaknya. Motor butut tanpa pelat nomor dan lampu sein yang sudah tak berfungsi distandarkan begitu saja di pojokan, dekat sekumpulan pohon pisang yang tidak ada pisangnya.

"Mau jadi apa kamu kalau bangun saja masih siang begini," omel pria berusia awal 50-an tersebut.

"Jadi artis, sih, Pak, kalau bisa."

Ruslan memelotot, melempar selang air yang tadi habis digunakan menyiram bagian bawah kandang kambing guna membersihkan kotoran.

"Wajah kayak nilai ulangan MTK begitu mana bisa jadi artis?"

Alis Reza mengkerut. "Nilai ulangan MTK?"

"Pas-pasan."

"Ulangan MTK Eja dulu bagus tahu, Pak."

"Berapa?"

"60."

"Gundulmu!"

Reza langsung menghindar ketika sapu yang kini ganti dilempar ke arahnya. Bapaknya ini, mengapa hobi sekali lempar-lempar barang. Mending lempar duit biar lebih berkah.

"Sudah, sana. Bersihin kandang. Jangan mimpi jadi artis. Apa yang mau dijual. Kemampuan aja ndak punya."

"Jual sensasi kan bisa, Pak," celetuk Reza.

"Jadi manusia mbok ya bermutu gitu. Jual kok sensasi. Mau malu-maluin keluarga?"

"Kalau bisa, sih, sekampung aja biar lebih rame. Terus—"

Jawaban Reza yang minta dihantam kenyataan pahit itu langsung berhenti ketika Ruslan memasang wajah lebih galak dari sebelumnya. Kini bukan sapu maupun selang air yang akan dilempar, melainkan arit yang terlihat baru selesai diasah.

Tak mau berumur pendek, Reza langsung undur diri setelah berseru, "Siap, Bos. Laksanakan!"

Ruslan menebah dada, berusaha tidak tersulut amarah.

"Dasar bocah edan," gumamnya pelan.

***

Baru dua hari Reza membersihkan kandang sebanyak tiga puluh buah yang masing-masing berukuran 5 x 4,5 meter tersebut. Namun dia sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya menyesal karena telah meninggalkan adiknya di toko sendirian sehabis mengantar Inggit pulang. Sejenak dia baru sadar kalau peternakan bapaknya ternyata cukup luas. Walau sudah ada beberapa pegawai yang ditugasi hal serupa, tapi tetap saja. Yang namanya lelah ya lelah. Kenapa pula hukumannya harus membersihkan kandang. Kenapa tidak disuruh membersihkan isi rekening saja.

Kali ini Reza berusaha menyikat kotoran kambing yang tersangkut di sela-sela kandang. Gara-gara kambing yang ada di kandang ini menceret, dia harus membersihkan lagi meski kemarin sudah sempat dibersihkan. Menyiram, menggosok, menyiram, menggosok. Begitu terus sampai kandangnya berubah lebih rupawan.

Setidaknya, dia agak lebih leluasa sebab kambing-kambing yang ada di kandang ini sebelumnya sudah dibawa ke kandang umbaran—kandang dengan lahan lapang berumput yang cukup lebar dan masih bagian dari area peternakan. Jadi dia bisa membersihkan tanpa khawatir harus disepak kaki kambing seperti sebelum-sebelumnya.

"Sikat-sikat sendiri, sapu-sapu sendiri. Bau-bau sendiri, muntah pun sendiri." Reza berdendang kecil. Tangannya fokus menyemprotkan selang ke alas kandang yang selesai disikat. Kotoran langsung luruh ke bawah. Hal itu membuatnya sedikit bangga. Selain tampan—setidaknya menurut sang emak—dia juga pandai memberi kehidupan layak bagi kambing-kambing dengan tempat tinggal yang nyaman dan bersih. Sungguh, jodoh ganteng idaman.

Bicara soal bangga dan idaman, membuat Reza mengingat sesuatu. Sekelebat wajah Inggit tiba-tiba melintas manis di kepala. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, dia bisa bersua dengan adik kelas sekaligus orang yang dia taksir sejak SMA tersebut.

Inggit tetap semanis dulu, tetap semenggemaskan dulu. Yang berubah hanya perawakannya saja. Kalau dulu lebih kurus, sekarang gadis itu ... ya sama saja, sih, sebenarnya. Apanya yang beda. Reza saja yang berpikir begitu. Dasar bucin.

Reza tersenyum-senyum sendiri melihat nomor Inggit di daftar kontak miliknya. Gara-gara ini pula dia bisa tahu di mana alamat rumah baru Inggit setelah dulu pernah pindah sewaktu SMA.

Pertemuan ini bermula ketika dia mengantar Rona, adiknya, ke toko yang menjual merchandise idola kesayangannya. Saat itu Reza duduk sendiri di jok motor yang diparkir di depan toko supaya tidak ditarik uang parkir. Sering terjadi ketika datang tidak ada siapa-siapa. Eh, pas pulang tiba-tiba dikasih karcis untuk bayar parkir. Jujur saja, isi dompetnya yang pas-pasan tidak terima dengan teori konspirasi semacam itu.

Yang lebih penting lagi, mana mungkin dia ikut masuk ke toko penunjang kehaluan tersebut. Yang ada malah pusing sendiri. Biasanya cewek kalau pilih sesuatu lamanya amit-amit. Padahal barang yang dipilih kadang tidak ada bedanya, tapi entah mengapa pertimbangannya mengalahkan seorang hakim agung yang akan menjatuhkan putusan kepada terdakwa.

Reza menghela napas. Menghidu polusi jalanan sampai nyaris bosan hingga suara ribut-ribut terdengar dari dalam toko. Apalagi yang dia dengar adalah suara cempreng Rona. Kakinya otomatis bergerak cepat, tidak peduli bila nanti akan ditarik biaya parkir.

"Aku yang udah pilih duluan. Mbaknya baru datang jangan main serobot, dong!" Rona yang mukanya tak terima masih berusaha membela diri. Bahkan si penjaga toko tak berani melerai. Suaranya kalah keras.

"Lho? Justru kamu yang main serobot. Orang aku dari tadi udah di sini, kok." Yang satunya juga tak mau kalah.

"Aku yang pilih duluan!"

"Aku!"

"Aku!" Rona merebut poster deretan pria good looking itu dengan emosi.

Reza yang baru masuk ke toko langsung mendekat, meraih poster jumbo yang ukurannya nyaris sama seperti spanduk pemilu tersebut sambil berkata, "Eits, bagi dua."

Tangannya sudah siap membagi poster itu sebelum teriakan melengking menyerbu telinga. Senyuman lebar mirip orang gila yang disunggingkan Reza barusan langsung berganti dengan wajah kaget saat pukulan menghujani tubuh.

"Eh, eh! Jangan dipukul, dong!" seru Reza. Dua perempuan itu langsung berhenti. Rona yang pertama menyadari.

"Lho? Bang Eja? Ngapain di sini?" Sungguh pertanyaan yang mem­-bagong-kan.

"E-eh? Mas Eza?"

Suara familier itu berhasil membuat Reza menoleh. Netranya sontak melebar. Entah sedang terpana atau ingat kalau punya utang gorengan di warung. Tidak ada yang tahu.

"Dik Inggit?"

"Mas Eza?"

"Dik Inggit?"

"Mas Eza?"

"Gitu aja terus sampai harimau bisa goyang dumang," cibir Rona dengan wajah jengkel.

Sayangnya Reza seperti tak mendengar ucapan Rona. Laki-laki berusia nyaris seperempat abad itu masih sibuk memasang senyum girang. Telanjur bahagia dengan keberadaan seseorang di hadapannya. Dan seperti itulah dia akhirnya meninggalkan Rona di toko sendirian. Usai menyerahkan poster tadi kepada Inggit, dia langsung keluar, mengantar gadis yang dia taksir sejak lama itu pulang.

Rona pulang sambil menangis, mengadu ke bapak kalau abangnya meninggalkan dirinya demi mengantar seorang gadis. Kehadiran Inggit ternyata mampu membuat telinga Reza budek sesaat bak pelaut yang mendengar nyanyian siren. Namun, berkat kejadian itu, dia bisa mengetahui nomor dan alamat rumah baru Inggit. Jadi rasanya agak legawa bila disuruh membersihkan kandang sebagai gantinya.

"Nggak apa-apa, deh. Yang penting happy." Begitu katanya.

Reza tersadar saat merasa sesuatu yang lembek menyentuh punggung tangannya berkali-kali. Dia nyaris melompat mendapati seekor kambing betina dari kandang sebelah menjilati tangannya.

"Eja, kambing yang di kandang sebelah sudah dikasih pakan?"

Suara cempreng milik salah satu pegawai tiba-tiba terdengar. Reza celingukan mencari sumber suara. Detik berikutnya, barulah Reza bisa melihat presensi laki-laki kurus tinggi berkulit gelap yang tersenyum lebar sambil membawa karung berisi pakan ternak. Giginya yang putih bersih terlihat menyilaukan di mata Reza. Cocok jadi bintang iklan pasta gigi.

"Iya, habis ini, Kang," balasnya. Laki-laki tadi mengacungkan jempol. Pakan ternak di karung diserahkan kepada Reza yang keningnya langsung berkerut.

"Saya mau ngopi dulu sebentar. Kamu sekalian kasih pakan yang sebelah sana, ya." Laki-laki itu menunjuk kandang paling ujung. Sebelum Reza sempat melayangkan protes, orang itu sudah melesat pergi.

"Heh, Kang! Enak aja. Situ yang dibayar, kenapa saya yang kudu kerja ekstra." Reza berdiri hendak mengejar. Namun karena kondisi lantai kandang masih basah sehabis dibersihkan, dia justru terpeleset.

"Oalah, Wedhus!"umpatnya.

***

Okay, untuk kali ini cuap-cuapnya aku skip dulu hihi.

Jangan sungkan buat lempar kritik dan sarannya, ya! 🙆

Arigathanks!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro