epilog (1/3)
Bagaimana kehidupan asli seseorang? Keseharian yang abu-abu setelah kelulusan ketika tidak menerima apa pun dan tidak mengharapkan apa-apa. Tekanan orang tua khas orang Asia yang selalu menginginkan ini itu dan mementingkan ego dan tidak puas atas segalanya. Kenangan buruk masa sekolah saat menerima perundungan murid seakademi bersama ketidakadilan guru-guru.
Pagi itu, di sebuah kamar berdinding batu tulis dalam bulat, langit-langit papan kayu ek, interior seadanya yang berantakan penuh barang berserakan mirip kapal pecah, hadir sesosok makhluk tinggi kurus hitam yang kepalanya menyentuh plafon bahkan saat menunduk dengan tatapan sorot mata keunguannya, samar-samar menggerakkan tangan seakan partikel lavendel keluar melalui gerakan sihir, mulut yang tersenyum kabur di balik gelapnya muka sang figur.
"Apakah keinginanmu itu nyata? Jika benar, apakah kamu mau keinginanmu itu menjadi kenyataan?"
Remaja itu terbangun, peluh membanjiri dahinya. Telapak tangan masih gemetar, terbuka dan tampak pucat pasi.
Gawai di sebelah bantalnya berdering sejenak. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal diterima.
"Hai, lama tak jumpa! Sejak perpisahan SMP, ya? Anu, kamu tau kan kerjaanku sekarang, walau tidak halal tapi aku puas dengan hidupku saat ini."
Pencopet, bandar, ponsel pintar curian.
"Aku mendapatkan satu HP nih, ya. Biasa lah dari anak angkot. Di galeri ada fotoku nih, eh ternyata barengan sama kamu. Ini kakakmu bukan sih yang memfoto? Yaaa, aku cuma taunya kamu memang anak yang baik dan aku mau balas budi sudah membantuku di ujian nasional. Aku tau alamatmu jadi langsung kukirim ya!"
Pesan yang aneh. Kalimat-kalimat palsu. Meski begitu ingatan kilas balik masa kecilnya masuk seketika. Sosok seorang ibu yang tegar dan masih muda, dia tengah membuat kare ayam. Sosok seorang kakak laki-laki yang hobi bermain gim di konsol permainan sampai lupa waktu. Bahkan si ibu sudah mengingatkan sambil menaruh semangkuk kare ayam di meja, untuk berjeda bermain dan makan dahulu. Karena tidak mau berakhir seperti kakaknya kelak, saat sang kakak mengajak main bareng, dia tidak bersedia.
Kakaknya itu remaja SMA. Tipikal anak tertua keluarga Asia. Di masa depan posisi itu akan diwariskan kepadanya. Banyak tekanan. Harus peringkat satu paralel di kabupaten. Harus lulus dengan nilai sempurna. Harus masuk kuliah jurusan sesuai pilihan orang tua. Harus bekerja dengan gaji dua digit. Harus menikah lebih muda dari orang tuanya dulu. Kegagalan dan kegagalan, kekecewaan dan sifat durhaka, hanya gimlah penyelamat.
Suatu malam, dia terbangun, melewati koridor yang searah toilet. Dia melewati kamar dengan pintu terbuka. Sosok gelap berdiri di depan kasur, kakaknya berselonjor saling menatap penuh teka-teki.
"Aku pasti akan mengabulkan keinginanmu untuk menjadi kenyataan." Suara yang terdistorsi.
Esoknya, sang kakak menghilang dari rumah. Seisi kamar masih utuh. Hanya keberadaan kakaknya yang menghilang. Ibu, Ayah, tidak ingat punya dua anak. Cuma satu, yaitu dirinya. Semua barang di kamar kakaknya sekarang miliknya.
Kembali ke masa kini. Paket yang dimaksud akhirnya datang.
Dengan perasaan gugup khawatir waswas jadi satu, dia membukanya, menyalakan gawai. Setelah layar hidup, memang banyak foto di dalamnya, tetapi saat dia tunjukkan ke orang tuanya, mereka tidak mengenalinya.
Karena sedikit dongkol, dia meminta ibunya untuk buatkan kare. "Eh? Kenapa tiba-tiba? Ibu tidak bisa buat, Ibu tidak tau resep." Padahal dahulu sangat jago memasaknya lezat.
Di hari yang kelabu langit berawan mendung, dia pergi ke toko buku di mal untuk melihat rak resep-resep masakan.
Saat itulah seorang pria berjalan papasan, matanya melirik, pria itu berdampingan dengan wanita yang agak dikenali. Sementara pria itu sangat dia kenali.
"Eh, kamu?" Itu guru SMP-nya.
Ternyata dari cerita sang guru wanita, mereka sudah menikah, si pria bekerja dan keduanya hidup layak di rumah yang dibeli damai dari hiruk pikuk.
Wajah bentuk oval, alis yang agak tebal, hidung sedikit mancung, bibir yang tidak tipis, pipi berlesung pipi, dahi dengan bekas luka samar yang dijahit, posisi daun telinga yang agak menjorok. Sangat familier.
Obrolan basa-basi berlanjut sampai terdengar suara. Perutnya keroncongan. Dia merasa malu. Kedua orang dewasa tertawa.
"Ayo kita ke restoran, ajak dia tidak apa-apa ya, Sayang? Kita tidak ada urusan juga habis ini."
"Eh, tapi?"
"Boleh! Boleh!" seru si wanita.
Ketiganya duduk di kursi restoran saling hadap, dia membuang muka. Pramusaji menyajikan pesanan.
"Kari?"
Ternyata si pria teliti betul dia habis membaca resep kari, berspekulasi dia menyukai kare ayam padahal itu menu kesukaannya sendiri, tetapi sudah dilupakan, karenya enak ngomong-ngomong.
Setelah kejadian di mal dan restoran itu, dia membuka-buka gawai kakaknya lagi. Foto tentang kenangan-kenangan yang dipertanyakan apakah nyata atau palsu. Air mata mengalir dari sudut mata dalam posisi merebah.
Saat menggulir acak menu aplikasi, dia melihat folder berisi koleksi permainan.
"Ini gim-gim yang Kakak dulu sering mainkan," gumamnya.
Kalau tidak salah dahulu kakaknya juga sering bermain gim itu.
Mini... mini? Mini apa ya?
Ah, minecraft!
Logo balok piksel kotak-kotak, tanah dengan lapisan atas rumput.
Dia bermain gim tersebut.
Dunia yang terbuka akan menyibak kebenaran.
Seakan kakaknya memberikan gawai itu, menyerahkan gim itu beserta dunianya, mewariskan kepadanya. Untuk meneruskannya. Mengembalikan apa yang direbut darinya. Keinginannya.
"Kamu .... Kamu bisa tidak ya mengembalikan kakakku seperti dulu?" Dia bertanya-tanya.
Dia teringat mimpi didatangi sosok yang mirip dengan salah satu monster tinggi di gim itu. Sosok yang sama yang mendatanginya setiap hari, yang menjemput kakaknya di hari terakhir sebelum menghilang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro