Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 Days Remaining

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

18 Days Remaining

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

SERANGAN aritmia masif pasien kamar 219 terjadi lagi. Patra tidak di sana, lagi.

Ketika itu Patra sedang di rumah sakit rekanan yang membutuhkan tenaganya untuk bedah massal insidental akibat kecelakaan beruntun yang menelan puluhan korban luka. Ponselnya tersimpan di loker. Setelah mendekati tengah hari, dia baru membuka puluhan pesan dari chief residen jantung yang melaporkan kondisi Asia. Tanpa berpikir lagi, Patra menginjak pedal gas keras-keras menuju Gema Medika.

Mengabaikan tatapan-tatapan heran yang menyertainya, Patra berlari melintasi koridor menuju bangsal jantung. Setibanya di station, dia segera mencuci tangan sembari mendengar penjelasan chief residen. Disambarnya tas alkes dan bergegas menuju kamar 219.

Sisa tenaga Patra habis saat dilihatnya Asia terbaring ditutupi penuh oleh selimut yang hanya menyisakan kepala saja. Setelah memberi salam pada Manggala yang saat itu berjaga sendiri, Patra menghampiri gadis itu.

Matanya terbuka lemah, berat sekali untuk mengangkat kelopak. Tetapi menyadari siapa yang dilihatnya, Asia mengulas senyum samar. Suaranya putus-putus nyaris tak terdengar, "Dokter ... da-tang?"

Patra tahu, tidak seharusnya dia duduk di kursi dan menggenggam tangan pasiennya di bawah selimut seperti ini.

Patra tahu, tidak seharusnya dia menatap pasiennya dengan kekhawatiran berlebihan seperti ini.

Patra tahu, tidak seharusnya dia mencampuradukkan pemeriksaan dan perasaan seperti ini.

Namun jemari dingin yang gemetar dalam genggamannya ini jelas menandakan ada yang salah dengan pasiennya. Asia menggigil, meski memaksa tersenyum. Sayangnya bibir Patra terlalu kebas untuk membalas senyum itu.

"Hipotermia?" bisiknya, lirih.

Asia mengangguk gemetar, "Su-dah ... dika-sih ... obat," menjelaskan infus di lengan dan oksigen hangat di hidungnya.

Bahkan AC sudah dimatikan dan jujur saja Patra berkeringat karena gerah, tetapi Asia kedinginan?

Patra menoleh Gala yang sudah di sebelahnya. "Mas, bisa saya minta bantuan?"

Gala memiringkan kepala. "Bagaimana?"

"Naik di ranjang, masuk dalam selimut, dan peluk Asia."

Gala terperangah. "What?"

"Person-to-person heat transfer, kalau Mas pernah dengar. Suhu yang lebih tinggi berpindah ke suhu yang rendah. Ini bisa menaikkan suhu Asia dengan cepat. Jangan lupa lepaskan kemeja yang Mas pakai." Patra beranjak lalu mundur memberi ruang untuk Gala. "Saya akan keluar supaya lebih nyaman. Silakan, Mas."

"Tidak."

"Nggak ...."

Baik Gala dan Asia sama-sama menolak gagasan itu. Asia bahkan terang-terangan menaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, meringkuk di dalam. "Bi-arin ... sud-ah ... ada o-bat ...."

Gala menatap Patra mata ke mata. "Dok, Anda jangan ngadi-ngadi. Kalau situ mau grepe-grepe adik saya, bilang!"

Patra mengembus lelah. "Bukan masalah siapa yang harus melakukannya, tetapi saya tersiksa melihat Asia seperti ini. Saya juga punya adik perempuan dan seandainya dia di posisi ini, daripada dia dipeluk laki-laki asing, saya akan melakukannya sendiri."

"Kalau begitu saya tidak," sanggah Gala. "Lagipula posisinya Anda bukan orang asing bagi adik saya. Lakukan apa yang menurut Anda benar, saya akan keluar. Jangan kunci pintu dari dalam, saya mungkin ingin membuat surat izin praktik Anda dicabut dan memasukkan nama Anda di daftar hitam semua rumah sakit."

Patra menelan ludah. Apa dia diancam?

Otak Patra belum merespons apapun namun Gala lebih cepat keluar meninggalkan mereka. Asia menyembulkan senyuman pucat dari sela selimutnya, melirik raut heran Patra di atasnya.

"Aku ma-u ... dipeluk ... Dok-ter ... ta-tapi jang-an ... dip-perawanin se-karang ... aku masih ... lemas ...." katanya, dengan gigi bergemeletuk.

Patra melengos sebal. Tidak habis pikir mengapa bocah sekarat-tapi-edan ini selalu berkata seolah memerawani anak gadis adalah life goal puncak teratas dalam hidup Patra.

Sudahlah. Patra segera menanggalkan kemeja putihnya, menyisakan kaus slimfit tipis yang masih melekat di tubuh. Dengan senang hati Asia menggeser diri agar Patra bisa naik ranjang bersamanya. Tanpa pikir panjang lagi, Patra mendekap gadis itu di dalam selimut sebagaimana harusnya, untuk berbagi hangat.

Patra tidak mengeratkan dekapan sebab, jujur saja, hasrat lelakinya menyala. Tetapi bukan Asia namanya kalau tidak usil dan justru ndusel di dada pria itu, lalu mengendus-endus seperti anak anjing.

"Ke-keringat Dokter ... wangi ... parfum haji."

Patra memejam muak. Dia bersumpah parfumnya adalah Acqua Di Giò Profondo by Giorgio Armani.

Patra menaruh dagu di atas kepala dan mengusap punggung dingin gadis itu, dan tiba-tiba saja hatinya terluka. Asia berpostur kecil, itu jelas. Namun Patra tidak mengira dia sekurus ini hingga tulang dan tonjolan sendinya teraba di mana-mana. Patra mengeratkan lengannya, menunduk, menghidu ubun-ubun gadis itu.

Tidak ada aroma yang spesial, namun penciuman Patra menyukai ketenangan yang diperoleh dari setiap tarikan napasnya.

"Dokter ... nge-gym di mana ... kok bisa ... kotak-kotak ...." Asia menyelipkan jemari di antara wajahnya dan dada Patra.

"Di kamar OK, Asia," bisik Patra, setengah tertawa, menciumi rambut lembut itu lagi. Ah, terserah apapun namanya perasaan yang dia miliki untuk pasien satu ini, Patra tidak peduli. Dia suka melakukan ini.

"Aku tadinya ... cuma mau jatuh cinta ... tapi akhir-akhir ini, aku geer ... aku pikir, mungkin Dokter ... juga cinta sama aku."

Gerakan Patra terhenti.

"Aku tidak," jawabnya, membelai belakang kepala Asia.

"Jadi ini ... apa?"

"Aku cemas."

"Ciuman kemarin?"

"Tanda terima kasih, I've told you."

"Dokter bilang, semua tentang aku ... mengendap dan meracuni ... kepala Dokter?"

Hatinya panas, Patra menguatkan rengkuhannya. "Sama sekali bukan berarti aku mencintai ka—" tetapi lidahnya bahkan tidak mampu meneruskan kalimat itu.

Asia tidak bertanya lagi, hanya tersenyum dan kian membenamkan wajah dalam kehangatan Patra yang tersalur untuknya. Asia tahu diri, sejak dinyatakan sakit, gadis itu sudah berhenti mengharapkan semuanya. Semuanya. Masa depan, cita-cita, dan tentu saja, cinta. Tidak pernah ada rencana jangka panjang: Asia hidup hanya demi hari ini.

"Aku tahu jatuh cinta itu seperti apa, aku pernah mengalami itu, dulu. Dan bisa aku pastikan, yang aku rasakan untuk kamu bukan cinta," bisik Patra, di sela helai rambut Asia.

"Mantan pacar ...?" gumam Asia, menikmati debaran kuat jantung Patra langsung dengan telinga.

"Ya."

"Kenapa putus?"

"Orang tuanya tidak bisa menunggu PDS-ku selesai. Pendidikan Dokter Spesialis. Dia dijodohkan."

"Ah." Asia mengangguk tertahan. "Dokter gagal move on."

"Tidak. Itu sudah lama sekali."

"Jadi kenapa Dokter yakin perasaan yang dulu buat mantan itu cinta, dan sekarang buat aku bukan?"

"Karena waktu dengan dia, aku masih aku. Dan dengan kamu ... ini bukan aku. Sama sekali bukan aku. Kamu berkeliaran di hidupku, membuatku melakukan hal-hal yang nggak pernah aku lakukan sebelumnya. Kamu buat aku gila, ini jelas bukan cinta."

Anggap saja Asia juga gila, karena dia senang sekali mendengar kalimat Patra barusan. Mengutip kalimat andalan remaja alay, seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan dalam perut. Kini bukan hanya tubuhnya yang sudah kembali hangat, hatinya pun mulai bersemangat.

Asia menengadah, pucuk hidung mereka nyaris bertemu. Gadis itu tak gentar mengaitkan pandang dengan Patra, dan tersenyum teduh.

"Aku bersumpah, aku nggak akan mati sebelum Dokter bilang cinta sama aku," bisiknya, lalu membubuhkan ciuman kilat pada bibir pria favoritnya itu. "Sealed with a kiss."

Patra tersentak keluar dari selimut, bangkit melepaskan diri. Jantungnya seakan mencelat dari rongga dada.

Gila. Perempuan gila ini membuatnya gila!

Kelabakan dia turun dari ranjang lantas menyambar kemeja di atas nakas. Asia menyembulkan kepala dari dalam selimut, terkekeh senang mengamati Patra terburu-buru mengenakan kemeja. Mengabaikan tiga kancing teratasnya yang masih terbuka, Patra menyambar termometer tembak yang diarahkan ke dahi Asia.

"Tiga puluh enam koma lima. Good. Aku harus keluar sebelum abangmu meneror surat izin praktikku."

Asia cekikikan sampai kedua matanya menyipit. "Dokter anget, ya. Kayak Pop Mie. Aku suka."

Patra menyambut tawa itu. "Asia, aku akan bawa kamu ke tempat yang hangat. Apa kamu mau? Bukan pelukanku, tapi lebih hangat lagi. Sinar matahari di ruang terbuka."

Asia—yang tenaganya memang sudah pulih—langsung melompat duduk.

"Mau lah! Sekarang? Ke mana?"

Sorot polos itu membuat Patra tidak tahan untuk kemudian meraih kepala Asia dan mencium keningnya sekilas. "Hari Minggu ini, dengan syarat, kamu harus fit."

•°•°•

Paviliun residence baru saja ditinggalkan pasien terbarunya.

Hamzah Haris Adinugraha keluar dengan seragam dinasnya, dikawal dua pria lain yang berpakaian hampir serupa. Berjalan anggun di sisinya adalah seorang wanita kelas atas, bersetelan batik formal yang dirangkul Hamzah dengan hangat. Sepanjang langkah menuju mobil, keduanya berbincang dan bertukar tatapan mesra. Dua kamera wartawan yang menyertai tak henti-hentinya mengabadikan rombongan itu.

Dari meja resepsionis utama, Patra bergeming mengamati itu semua. Hal terakhir yang disadarinya adalah Hamzah berhenti di pintu mobil yang terbuka, melayangkan lirik dan senyuman tipis untuknya, sebelum akhirnya masuk bersama sang wanita. Kendaraan plat merah itu mulai bergerak meninggalkan drop zone utama Gema Media.

Begitu pula Patra yang meninggalkan resepsionis menuju kafetaria demi segelas kopi hitam untuk pengalihan rasa muak.

Kafetaria 24 jam itu kosong melompong pada pukul 9 malam, hanya terlihat pegawainya saja. Setelah memesan, Patra menempati meja untuk dua orang di sudut kafe, dekat pintu keluar yang mengarah ke parkiran.

Masih segar diingatan Patra saat gadis remaja dengan blus floral selutut duduk di hadapannya, memasang raut marah yang kontras dengan wajah cantiknya.

"Dokter disuruh Papa, kan? Pergi sana. Aku lagi nungguin pacar!"

Patra tersenyum tanpa sadar.

"Jadi pacarku. Mau, ya? Mau, kan? Nggak lama, kok. Cuma sampai akhir tahun. Dokter Patra mau ... ya?"

Namun senyum itu luntur segera karena dadanya mendadak sesak.

"Aku nggak punya banyak waktu. Aku memilih Dokter sebagai cinta pertama dan terakhirku."

Bola mata Patra serasa terbakar, cepat-cepat dia beralih memandang jauh ke parkiran di mana mobilnya berada. Asia harus dibuang jauh-jauh dari kepalanya. Dan sepertinya, semesta mendukung keinginan itu ketika seorang wanita berkucir tinggi melangkah masuk kafetaria.

Wanita itu menoleh padanya, memberi senyuman hangat yang masih mampu membuat Patra menahan napas, meski 6 tahun telah berlalu.

Wanita itu menghampirinya. Waktu di sekeliling Patra seakan berhenti karena satu sapaan. "Hai, Mas."

•°•°•

Maharani tidak banyak berubah dari yang terakhir kali Patra ingat. Perempuan itu masih sering bermasalah dengan tambalan gigi gerahamnya, dan sebab itulah dia berobat ke rumah sakit ini. Segelas jus alpukat kental adalah andalannya untuk mengisi perut saat giginya belum boleh dipakai mengunyah.

Perbedaan yang terasa adalah penampilannya yang kini lebih dewasa, menguatkan kesan wanita baik-baik yang telah bersuami. Didukung dengan tutur kalimatnya yang juga makin sopan dan halus.

"Iya, Mas, sudah tiga bulan suami mutasi ke sini," jawab Rani, sembari mengaduk jus yang tinggal seperempat dengan sedotan. "Kangen sekali sama Malang, biasanya pulang cuma pas hari raya. Aku mainnya kurang jauh, ya, Mas? Setelah nikah baru keluar JaTim."

Patra tersenyum dan mengangguk, sebelum menyesap kopinya.

"Jam segini Mas belum pulang?" Rani balik bertanya.

"Jam pulangku nggak tetap, malam ini terakhir setengah sembilan." Patra meletakkan cangkir. "Mampir ngopi sebentar sebelum pulang."

"Kenapa nggak minta buatin istri di rumah?"

"Sejak kapan aku punya istri?"

Rani membulatkan mata. "Mas belum menikah?"

Respons Patra hanya meringis dan mengangkat bahu.

Rani terdiam sesaat. Sulit diungkapkan mengapa, tetapi rasa bersalah kini datang menyergap wanita itu.

"Rani, aku harus pulang." Patra menunjuk cangkir kosongnya. "Kamu ingat, Ibu nggak bisa tidur nyenyak sebelum aku di rumah?"

"Ehm, ya." Rani mengerjap gugup. "Iya, hati-hati di jalan. Makasih, Mas."

"Sama-sama. Get well soon, Rani."

Menenteng snelinya, Patra keluar kafetaria menuju area parkir khusus dokter. Tangannya baru saja menyentuh handle pintu ketika seseorang menyerukan namanya, membuatnya menoleh otomatis.

"Mas! Mas Patra, tunggu!"

Maharani tergesa-gesa berlari keluar dari kafetaria. Belum sampai tujuan, wanita itu oleng hingga terjatuh dalam posisi duduk. Patra berlari menghampiri, memapah, dan membimbing Rani untuk berlunjur kaki di anak tangga kafe.

"Aa-aduh. Pelan, Mas!" Rani merintih ketika Patra meraih pergelangan kakinya yang terkilir.

"Kamu ini." Patra menggeleng heran. "Lari di jalanan paving dengan pointy heels setinggi ini berbahaya, Rani. Telepon suamimu, aku tunggu sampai kamu dijemput."

"A-aku nggak mau pulang."

Seruan spontan dengan penekanan itu membuat Patra tertegun sejenak, sebelum turut mengambil tempat di sisi Rani. "Baik," ujarnya, bingung, "ayo ke IGD, aku harus pu—"

"Bisa temani aku dulu, Mas?"

Tatapan memohon yang berkilat karena air mata membungkam mulut Patra. Dia tidak yakin apakah yang sakit dari Rani adalah kakinya ... atau hatinya.

Dengan kepala tertunduk dan kalimat terbata-bata, wanita itu bersuara, "Aku baru saja bertengkar hebat sama dia. Kamu pernah dengar Madam Rose, Mas?"

Patra mengernyit tak yakin. "Ya? Online dating?"

"Dia main itu," lirihnya. Kemudian air mata meluncur turun dan segera ditepis dengan punggung tangan.

Rani menumpahkan semua sesak yang menggunung di dada, menceritakan bahwa dia mengetahui hal itu sejak dua bulan lalu. Namun tak ingin gegabah, Rani mengambil waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti sebelum menjatuhkan tuduhannya kepada sang suami. Semua sudah dipersiapkan: histori percakapan mesra, identitas wanita lain itu, bahkan bukti tidak bergerak bahwa keduanya pernah bertemu di kamar sebuah hotel.

Dengan itu semua, Rani berharap dapat menakut-nakuti suaminya, mengingat akan ada ganjaran keras bagi ASN yang terbukti main serong. Namun pertengkaran hebat tak terelakkan, Rani enggan menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Setidaknya untuk malam ini.

Wanita itu menelan sisa tangis pahitnya sembari menghapus air mata dengan tisu.

"Bisa drop aku di hotel terdekat saja, Mas?" pintanya, diiringi tawa serak. "Orang bilang, lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Sekarang aku merasakan itu bersamaan, sakitnya luar biasa dua kali lipat. Haha ... ha ...."

Patra tidak merespons apapun.

Lebih tepatnya, tidak ingin terlibat dalam perkara rumah tangga wanita yang dulu pernah menjungkir-balikkan hati dan dunianya. Karena itu, dia hanya mengangguk sepakat dan memapah Rani tertatih-tatih menuju mobil.

Mereka berhenti di tengah jalan yang kosong karena Rani nyaris jatuh lagi, andai Patra tidak cekatan meraih tubuhnya. Tetapi tiba-tiba lengan Rani melingkarinya, memeluknya erat, meredam ledakan tangis berikutnya di dada pria itu. Pertahanan Patra seakan runtuh detik itu juga.

Bagaimana pun, dulu, tangis luka Rani pernah jadi hal yang dia benci. Kenangan itu menggerakkan tangannya untuk membalas dekapan Rani. Diusapnya kepala wanita itu demi sekadar menghentikan deras air mata.

Patra tidak tahu, perbuatannya juga membuat seorang gadis meneteskan air mata karena menyaksikan segalanya dari dalam kafetaria.

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 13 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro