REPOST : PART 7
ASSALAMUALAIKUM ^^
Ya allah, berasa lama kemaren gak update, wkwk
Oh iya mau curhat sebentar.. buat part ini aku gak pede loh. soalnya gimana yah, aku kan bikin ini buat ikut Challenge nya mbak asri, tapi dari semua cuman punya aku yang beranak cucu begini part nya banyaaak -____- dan nyebelinnya semalem pas udah ngetik part ini aku mimpi katanya di cerita ini terlalu banyak bagian tidak penting. Muahahaha hayati sakit :') untung cuman mimpi ya allah..
Dan maaf yah kalo kecepetan, heuheu..
Selamat membaca ^^
-
-
-
-
Bintang menghentikan mobil Friska tepat pada saat mobil tersebut berhenti di pelataran rumahnya, ia masih kesal karena Friska menendangnya dan meninggalkannya, lebih kesal lagi karena saat ia menuju mobil Friska gadis itu malah tersenyum tanpa dosa kepadanya, membuatnya ingin menjejalkan sepatunya pada bibir Friska saja.
"Thanks." Ucapnya perlahan. Friska hanya menanggapinya dengan senyuman saja. Setelah itu mereka terdiam beberapa saat, sebenarnya Bintang ingin mengatakan sesuatu tapi ia masih kesal, jadilah ia lebih memilih diam, dan kali ini ia memilih untuk segera keluar dari mobil Friska dan masuk ke dalam rumahnya. Saat ia menutup pintu mobil Friska, gadis itu masih duduk dengan nyaman di kursi penumpang, Bintang memutari mobilnya dan berdiri didepan pintu dari kursi yang di duduki Friska lalu membungkuk, tangannya ia tumpangkan di atas kaca yang terbuka semuanya lalu kepalanya ia sandarkan di atas tangannya. Friska malah menatapnya dengan penuh tanya, keningnya mengkerut dan matanya berkedip-kedip.
"Kenapa?" Tanya Friska. Bintang menggeleng seraya tersenyum. Aneh sekali, mendadak Bintang menjadi sedikit..err.. manis, mungkin?
"Gak apa-apa." Jawab Bintang. Ia masih saja tersenyum, Friska yang diberi senyuman seperti itu merasa benar-benar kehabisan udara dan membuatnya merasa sangat kikuk, kenapa rasanya mereka seperti sepasang kekasih yang saling menyalurkan perasaan cinta satu sama lain. Argh, pikiran itu lagi.
"Ehm.." Karena gugup, akhirnya Friska berdehem. Ia menggeser sedikit posisinya karena Bintang yang berada di sampingnya begitu dekat dan itu benar-benar membuatnya tidak nyaman, maksudnya.. ia tidak nyaman karena jantungnya, sialan sekali berpacu begitu cepat tanpa bisa ia kendalikan.
"Lo udah sampe kan? masuk sana! ngapain masih disini? Mau dorong mobil gue?" Dengan menyembunyikan kegugupannya Friska mencoba mengeluarkan serentetan kata-kata yang memang biasa ia keluarkan. Bintang mengerucutkan bibirnya, ia menatap Friska dalam.
"Lo gak nanya kenapa gue pulang dari Jepang?" Tanya Bintang. Friska terdiam, sebenarnya ia memang sangat penasaran dengan keputusan Bintang untuk pulang. Bukannya pria itu bilang mungkin akan lama disana, bahkan sampai tua? Tapi baru sebentar saja ia sudah kembali? Tidak, sebenarnya waktu satu tahun bukanlah sebentar.
"Hmm..sebenernya ya gue penasaran, tapi gue gak mau tanya lo. Ntar lo malah mikir yang aneh-aneh lagi." Jawab Friska. Bintang tertawa.
"Aneh-aneh gimana?" Tanyanya.
"Ya, lo kan suka kepedean. Bisa aja lo nyangka gue pengen tau banget atau mungkin mikir yang nggak-nggak" Kilah Friska, dan Bintang kembali tertawa. Ah, pria itu. Friska sebal karena sejak tadi pria itu senang sekali tertawa saat berada di dekatnya, ia kan jadi merasa seperti seorang pelawak.
"Itu sih pikiran lo aja! Makanya jangan suka suudzhon." Kata Bintang. Friska hanya menatapnya sekilas lalu memalingkan wajahnya.
"Lo gak akan nanya? Yakin? Emangnya lo gak penasaran?" Tanya Bintang lagi. Friska terdiam, sebenarnya memang ia penasaran.
"Yaudah, kenapa?" Tanya Friska pada akhirnya.
"Kenapa apanya?" Bintang malah bertanya balik padanya. Tuh kan, Bintang memang menyebalkan!
"Ya kenapa lo pulang dari Jepang? Bukannya katanya mau lama disana? kenapa udah pulang lagi? disana gak ada yang mau sama lo ya? Hahaha kasian banget. Makannya kalo jadi orang jangan―"
"Gue kangen sama lo."
1 DETIK..
2 DETIK..
3 DETIK..
Friska merasakan getaran dalam dadanya yang bergemuruh dan hatinya bersorak kegirangan saat mendengar Bintang mengucapkan hal itu. Apa? Apa tadi Bintang bilang? kangen? Bintang merindukannya? Apa ia tidak salah dengar? Aduh, mungkin bisa saja ia salah dengar. Ya, bisa saja. Tadi pagi ia belum membersihkan kupingnya jadi siapa tahu mungkin suara yang masuk ke dalam gendang telinganya tidak tersaring dengan baik dan atau mungkin bisa saja itu sugesti dari pikirannya.
Dalam gugupnya, Friska mencoba membuka mulutnya hendak mengeluarkan ledekannya atau apapun yang bisa menyamarkan rasa gugupnya, tapi sialnya malah semua kata-kata itu tercekat di tenggorokannya dan ia hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah. Sial.
Friska menatap Bintang, pria itu masih setia pada posisinya dan tersenyum begitu tulus. Friska mengatur napasnya, ia memejamkan matanya dan sedetik kemudian.. tangannya ia gunakan untuk mendorong jauh wajah Bintang dari hadapannya, membuat Bintang berteriak-teriak padanya.
"Friskaa!!" Pekiknya. Saat tangan Friska sudah menjauh dari wajahnya Bintang kembali membungkuk dan melakukan pose seperti sebelumnya.
"Lo senyum-senyum terus sih, serem gue lihatnya." Sahut Friska. Ia sedikit bergidik ngeri dan membuat Bintang semakin mendekat ke arahnya. Tangan Bintang masuk ke dalam mobilnya dan Friska mengambil ancang-ancang, berwaspada. Siapa tahu Bintang akan membalasnya dengan memukulnya atau menggeplak kepalanya. whoa, pasti sakit sekali. Pikirnya.
Tetapi pikirannya salah, Friska terlalu ngelantur kemana-mena. Nyatanya, tangan Bintang justru mendekat ke arahnya lalu mengusap pelan rambutnya dan mengacak-acak rambut Friska dengan gemas. Hal yang membuat jantung Friska rasanya sudah menggantung hendak copot dari tempatnya.
"Pulang gih, udah malem." Ucap Bintang, Friska mencibir ke arahnya dan Bintang menarik tangannya dari kepala Friska.
"Tanpa lo suruh juga gue mau pulang kali." Jawabnya. Friska membuka sabuk pengamannya lalu dengan susah payah ia bergerak begini begitu untuk pindah ke kursi di balik kemudi, Bintang yang melihatnya benar-benar gemas. Gadis itu benar-benar bodoh, ia tinggal keluar saja dari mobilnya berputar sebentar dan langsung bisa duduk dengan manis. Tapi ia malah memilih jalan instan yang justru menyulitkannya, dengan memakai rok mencoba berpindah dari satu kursi ke kursi yang lainnya. Dan pemandangan bodoh itu membuat Bintang menyunggingkan senyumannya, Friska terlihat menggerutu dengan kesusahannya dan Bintang bersumpah bibir Friska yang tengah menggerutu membuatnya ingin melahapnya saat ini juga. Oh tidak, hentikan pikiran itu Bintang!
Dengan perjuangan yang begitu berat, akhirnya Friska berhasil duduk dengan manis dibalik kemudi. Gadis itu tersenyum puas dengan sedikit terengah-engah, ia tidak tahu kalau sejak tadi Bintang terus menerus memperhatikannya seraya tersenyum bahagia.
Dalam diam, Bintang mengangkat tangannya, mendekatkan ibu jarinya pada bibirnya lalu mengecupnya. Setelah itu ia menempelkan ibu jarinya yang sudah di ciumnya dengan keras pada kening Friska. Membuat Friska seketika menolehkan kepalanya dan menatap Bintang dengan sebal.
Pria itu, menoyornya? Hah, benar-benar !! dan apa tadi? Menoyor kepalanya dengan ibu jarinya? Itu toyoran versi terbaru?
"Cepet pulang sana. nunggu apalagi? Nunggu ciuman perpisahan dari gue?" Ucap Bintang sembarangan, Friska menatapnya semakin tajam.
"MIMPI!!" Ledeknya, kemudian Bintang tertawa dan dengan sebal Friska menyalakan mesin mobilnya lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, jelas sekali gadis itu kesal padanya. Tetapi Bintang tidak perduli, ia malah terlihat begitu bahagia. Ah, benar-benar bahagia tepatnya.
Satu tahun ini hidupnya lebih berat dan setelah pulang lalu menghabiskan hari pertama kepulangannya bersama Friska membuat hidupnya menjadi lebih ringan dan dirinya merasa terisi penuh dengan energi. Tidak sia-sia, ia memutuskan untuk pulang dan menemui Friska. Karena memang alasan pria itu pulang adalah Friska. Perkataannya pada Friska tadi pun memang benar, ia merindukan gadis itu. Dan betapa bahagianya ia bisa bersama dengan gadis itu, terlebih lagi secara tidak langsung ia bisa menyalurkan perasaannya pada gadis itu dengan menciumnya. Tidak bisa di katakana ciuman sebenarnya, karena ciuman itu dua arah. Sedangkan dia hanya mencium jempolnya lalu menempelkannya pada kening Friska, itu pun dengan sangat keras sehingga membuat kepala Friska sedikit oleng ke belakang dan gadis itu mendelik ke arahnya, ia marah karena merasa Bintang menoyornya. Padahal dalam toyoran itu, terselip sebuah ciuman lembut atas penyampaian perasaan Bintang padanya.
Perasaan? Berbicara soal perasaan, ia sebenarnya belum terlalu yakin. Apa ia mulai melupakan Bulan? Bulan? Bahkan nama itu sudah tidak membuat darahnya berdesir ketika mengingatnya, justru nama Friska lah yang membuatnya begitu. Aneh sekali, ia benar-benar tidak mengerti.
Awalnya ia merasa mungkin perasaannya hanya terbawa suasana saja, karena kebetulan mereka menghabiskan waktu bersama. Tetapi selama satu tahun ini kebersamaan yang hanya beberpa jam saja begitu membekas dalam ingatannya. Ia bahkan menahan dirinya untuk tidak pulang, dan sialnya pertahanan dirinya roboh setelah satu tahun. Ia benar-benar tidak dapat menahannya lagi. dan semuanya terasa begitu jelas sekarang, sebuah tanya dalam hatinya sudah terjawab. Ia membutuhkan Friska, gadis itu adalah alasan dari tawanya. Dan ia, menginginkan Friska.
Ketika ia menginginkan seseorang, sampai mati pun ia akan berjuang untuk mendapatkannya. Sama seperti saat ia memperjuangkan kebersamaannya bersama Bulan. Tapi kali ini, bersama Friska. Persetan dengan perasaannya yang masih belum begitu jelas, apakah cinta atau yang lainnya. Yang ia tahu adalah, ia menginginkan Friska. Hanya Friska. Untuknya. Seorang.
********
Sudah tiga bulan sejak kepulangan Bintang ke Indonesia, sudah tiga bulan juga sejak mereka dekat, semakin dekat dari sebelumnya karena setiap hari yang menemani Friska makan siang adalah Bintang dan yang menemani Friska menghabiskan weekend nya juga Bintang. membuat Friska lega sebenarnya, karena Bintang ternyata kembali menetap di Jakarta dan tidak akan kembali ke Jepang lagi. mungkin sesekali ia akan pergi kesana, tapi hanya memastikan perusahaannya berjalan dengan baik dan setelah itu ia kembali pulang ke Jakarta.
Sudah menjadi kebiasaannya setiap siang hari, ia akan berjalan keluar kantornya dan masuk ke sebuah mobil mewah yang mana di dalamnya ada Bintang yang menunggunya dan akan menyambutnya dengan berjuta-juta bahan ejekan dan tertawanya. Dasar, setiap mereka bertemu pasti pria itu akan membuatnya kesal sementara dirinya sendiri akan terus menerus tertawa sampai semua barang yang dibawa Friska dari tas nya sudah melayang padanya. Dan konyolnya, pernah satu kali Friska tak sadar melemparkan sebuah barang terlarang untuk pria dan terpenting untuk wanita ke muka Bintang yang tampan, membuat pria itu mengangkat barangnya tinggi-tinggi dan tertawa begitu keras saat melihat ekspresi wajah Friska yang menggelap, malu.
Tapi sialnya, Friska tidak bisa marah saat melihat Bintang tertawa. Anehnya, sudut dalam hatinya meghangat dan ikut tertawa dengan bahagia. Sebenarnya, mungkin tertawa menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Haihss..
Saat Friska berjalan, hampir menuju pintu utama kantornya, sebuah suara yang sangat ia kenali terdengar memanggilnya, Friska mencoba menghiraukannya tapi suara itu terus menerus memanggilnya hingga akhirnya ia membalikkan badannya dengan kesal. Saat ia berbalik, seseorang yang memanggilnya mendekat dengan nafas yang terengah-engah.
"Di panggil kenapa gak nyaut aja?" Ucap pria itu lembut. Friska memaksakan senyumnya. "Maaf kak, gak ke dengeran." Elaknya. Pria itu―Raka tersenyum padanya.
"Tidak apa-apa, disini juga kan ramai. Suara kakak pasti ke selip" Ujar Raka. Friska tersenyum kaku. Ia menunggu ucapan Raka selanjutnya lalu melihat ke arah luar dengan gelisah. Bintang pasti sudah menunggunya.
"Makan siang bareng yuk? Lama banget kita gak makan siang bareng." Ucap Raka pada akhirnya. Friska menatapnya dengan bingung.
"hmm.. gimana ya kak, Friska udah ada janji." Sahutnya. Ada sebuah kekecewaan terpancar dari mata Raka saat dengan terang-terangan Friska menolak ajakannya.
"Sudah tiga bulan ini loh, kamu susah sekali diajak keluar bersama." Ucap Raka. Friska mengangguk lalu tersenyum tipis, tentu saja susah. Waktunya ia habiskan bersama Bintang tanpa absen satu hari pun, jadi bagaimana bisa ia punya waktu untuk bertemu Raka. Lagipula ia juga kan sudah menolak Raka, siapa suruh Raka terus menerus mencoba bersabar padanya padahal ia tidak memintanya sama sekali. Jadi ya jangan salahkan dirinya kalau Raka akan kecewa padanya. Tapi seketika perasaan bersalah menyergap hatinya. bagaimana pun, Raka sudah amat sangat baik padanya, dan tidak seharusnya ia berbuat seperti itu. Argh! Masa bodoh! Kenapa tiba-tiba saja ia mendadak mellow begini.
"Ya sudah, kamu sudah ada janji kan?" Suara Raka terdengar, pria itu lebih dulu memecah keheningan Friska. Ia sebenarnya kecewa pada Friska, tapi sebisa mungkin ia tidak menunjukkan perasaan kecewanya. Ia harus sabar, karena cinta itu butuh kesabaran. Setidaknya, itulah yang menguatkannya selama ini.
"Kalau begitu, Friska duluan ya?" Pamit Friska. Raka mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut Friska lalu tersenyum. Setelah itu Friska berbalik dan pergi meninggalkannya.
*****
Bintang berdecak kesal menunggu di dalam mobilnya, sudah sepuluh menit tapi Friska belum juga kelihatan batang hidungnya. Kemana sebenarnya gadis itu? Apa dia lupa dengan acara makan siangnya? Ah, sepertinya tidak mungkin kalau lupa. Mereka keluar setiap hari, tidak mungkin gadis itu lupa. Mungkin saja ada sesuatu yang mendadak yang membuatnya lama. Tapi apaaa??
Bintang mengacak rambutnya Frustasi. Ia sebenarnya ingin memajukan mobilnya sampai depan kantor Friska dan kalau bisa ia ingin keluar dari mobilnya lalu berjalan menuju meja Friska dan mengangkut gadis itu lalu membawanya ke mobilnya dan mereka pergi makan siang. Tapi itu hanya keinginannya saja. Ia masih punya pikiran yang waras. Bagaimana ia menjelaskan pada Reza nanti? Dia kan tidak tahu hubungannya dengan Friska, sebenarnya Bintang ingin memberitahunya. Hanya saja ia bingung harus menjelaskan darimana. Apa dari kebersamaan mereka setahun yang lalu saat mereka melarikan diri atas pernikahan kedua Reza dan Bulan? Haah.. LUCU !
"Nunggu lama?" suara seseorang yang ditunggunya terdengar olehnya bersamaan dengan suara pintu mobilnya yang di tutup. Friska sudah duduk dengan manis di sampingnya, gadis itu meraih sabuk pengaman dan memasangnya. Bintang tersenyum dengan riang, tapi sedetik kemudian ia kembali menarik senyumannya dan memasang tampang menyebalkannya.
"Lo tau? Telat makan sepuluh menit dapat memperparah kondisi lambung." Sindir Bintang, ia mengucapkan kata-kata itu seraya menahan senyumnya. Tangannya meraih kunci mobilnya dan menyalakan mesinnya lalu melajukan mobilnya. Friska hanya mencibir, gadis itu tidak berkata apa-apa. Karena ia sedang menormalkan perasaannya.
Kedatangan Raka tadi benar-benar tidak tepat, membuat moodnya hancur seketika oleh perasaan bersalah. Friska sekuat tenaga menetralkan perasaannya. Tenang.. tenang.. ia sedang bersama Bintang sekarang. Ya, ia sedang bersama Bintang. ia harusnya bersenang –senang kan? lupakan Raka dan Fokus pada Bintang yang tengah bersamanya. Ya, benar. Tenang, dan lupakan. Dan.. ah, akan lebih baik kalau ia bersenang-senang.
"Gue puter lagu ya?" Friska tersenyum ke arah Bintang, meminta izin pada pria itu, dan Bintang meresponnya dengan mengangkat bahunya.
Setelah mendapat persetujuan, Friska meraih kabel dari speaker di mobil Bintang dan memasangkannya pada ponselnya lalu memilih sebuah lagu dalam playlistnya. Lagu Lucky milik Jason Mraz terdengar. Friska menggumam pelan sementara Bintang mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama.
"Mau makan dimana?" Friska bertanya dengan tangannya yang sibuk melepas sepatunya, Bintang menoleh ke arahnya.
"Terserah, tapi gue lagi pengen pasta." Jawab Bintang. ia kembali menoleh ke arah Friska, kaki gadis itu sudah naik ke jok nya. Kebiasaan Friska, menanggap jok mobilnya adalah tempat makan lesehan.
"Ya udah, Pizza Hut aja kalo gitu." Sahut Friska. Bintang meganggukkan kepalanya dan melajukan mobilnya menuju arah tujuannya. Mereka kembali terlarut dalam perjalanannya, Friska masih mencoba menormalkan dirinya, jadilah ia tak banyak berbicara seperti biasanya. Matanya menjelajahi seluruh sudut mobil Bintang, mencari sebuah pengalihan. Siapa tahu mungkin ada sesuatu yang menarik disini, tapi sayangnya tidak ada! Mobil Bintang tidakseperti mobil Friska yang dipenuhi berbagai macam barang-barang aneh, mobil Bintang ya seperti mobil pria pada umumnya. Friska sedikit kecewa, ia hendak akan protes pada Bintang tetapi sesuatu yang menggantung di lengan kemeja Bintang membuat matanya menyipit. Ah, kancing lengan baju Bintang terlepas.
"Siniin tangan lo!" Perintah Friska.
"Buat apaan? Lo mau megang tangan gue? Eh, mau romantis-romantisan dalem mobil?" Goda Bintang. friska menatapnya sebal.
"Masih aja ke pedean."
"Ya gak apa-apa, tangan juga tangan gue."
"Ih,lo rese ah."
"Bodo."
"Yaudah, siniin tangan kiri lo."
"Gak mau."
"Gak usah kayak anak kecil Bintang, udah om-om juga!"
"Fine, gue om-om. Lo simpenan om-om."
"Hih, gak ya. Gue gak mau jadi simpenan lo!"
"Oh, lo maunya jadi istri gue ya?" dan Blush! Friska merona seketika, Bintang tertawa tanpa mengalihkan pandangannya pada jalan di hadapannya.
"NO WAY! Udah siniin tangan lo!"
"Gak mau, buat apa dulu?" Tolak Bintang. Friska menatapnya jengah, Bintang itu seperti anak kecil yang tidak mau mandi dan sedang dipaksa mandi oleh ibunya. Betapa repotnya.
"Gue gak akan gigit lo Bintang, siniin gak?" Friska mengangkat tangannya, siap untuk menerima tangan Bintang tapi pria itu malah menggelengkan kepalanya.
"No Way!" Ledek Bintang, ia malah menarik tangan kirinya lalu memegang stir kuat-kuat.
"Dasar titisan setan!" Cibir Friska, dengan cepat ia menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Bintang dan dalam secepat kilat ia meraih tangan kiri Bintang yang tengah menggenggam stir erat-erat. Pria itu hendak protes tapi Friska menggenggam tangannya erat dan tiba-tiba saja entah darimana muncul sebuah jarum yang sudah terpasang benang di dalamnya lalu dengan telaten Friska memasukkan jarum itu kedalam satu dari empat lubang kancing lengan kemejanya. Bintang terpaku sesaat, kancing lengannya memang terlepas tdi pada saat ia buru-buru untuk pergi dan mengait sesuatu, tapi ia tak menghiraukannya, dan Friska.. gadis itu melihatnya, dan yang ia lakukan sekarang adalah memperbaikinya?
"Rasanya malu-maluin banget, petinggi perusahaan kayak lo kancingnya hampir jatoh kayak gini. Lo kaya beli kemeja harga seratus ribu tiga aja" Omel Friska. Bintang tersenyum senang di balik kemudinya. Ah, kenapa hal sesederhana ini rasanya membahagiakan sekali. Kalau orang melihatnya mungkin mereka seperti pasangan muda bahagia, betapa senangnya mendapat istri yang perhatian. Oh Bintang.. CUKUPP !!
"Tadi nyangkut." Akhirnya dengan menormalkan laju jantungya dan membiasakan Ekspresinya Bintang menjawab. Huh..
"Lo dapet jarum sama benang darimana? Jangan bilang lo tukang santet!" Ucap Bintang, Friska memukul pelan tangan kiri Bintang dan melotot ke arahnya.
"Enak aja lo bilang!" Pekiknya. "Rok atau celana gue suka robek mendadak, repot kalau harus bawa ganti. Makanya gue bawa benang sama jarum aja. Lagian, lo tau darimana tukang santet bawa-bawa jarum sama benang? Jangan bilang lo masternya yang ngajarin para dukun nyantet?" Kali ini Bintang yang melotot ke arah Friska, benar-benar! Ledekannya malah berbalik menyerangnya sendiri.
"Kalo gue tukang santet, lo orang pertama yang bakal gue santet!"
"Ugh. Gak takut! Kalo gue mati gara-gara lo santet, gue bakal minta keluarga gue buat makamin gue deket rumah lo dan gue bakal gentayangin lo tiap malem"
"Lo mau gentayangin gue apa menjaga gue? Aww, so sweet." Ucap Bintang, kemudian ia tertawa dengan kencang saat Friska memanyunkan bibirnya.
"Gak usah manyun gitu, lo minta gue cium?" Ucap Bintang lagi di sela tawanya. Friska menatapnya tajam dan.
PPAAAKKK
"AWW! Kenapa lo pukul bibir guee?!" Pekik Bintang, ia kembali merasakan kedutan di bibirnya seperti satu tahun yang lalu. Dan kali ini lebih keras karena sepertinya tenaga Friska bertambah ketika marah.
"Lo yang minta!" Cibir Friska.
Tanpa terasa, pekerjaannya memperbaiki kancing lengan Bintang sudah selesai. Friska menanyakan pada Bintang apakah pria itu punya gunting, tapi Bintang menggeleng dan Friska pun merutuki kebodohannya karena guntingnya tadi ia simpan di dekat computer di atas mejanya. Tak ada cara lain, Friska akhirnya menarik lengan kemeja bintang dan membuat lengan Bintang mendekat ke arahnya lalu dengan cekatan ia menggigit sisa benang yang menjuntai tak terpakai di balik kain lengan kemeja Bintang.
Dan ketika mulut Friska bergerak untuk menggigit untaian benang yang tersisa itu, nafas bintang terasa berat. Karena tanpa sengaja permukaan lembut dari bibir Friska menyentuh halus tangannya dan membuatnya merasakan sesuatu yang aneh dan mendadak ia menjadi kehilangan fokusnya. Beruntung, Friska dengan cepat melepaskan dirinya dari lengannya dan kembali duduk pada posisinya yang semula dan akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan mereka.
*****
"Lo makannya pelan-pelan bisa kali Friska." Bintang mengomel pelan saat Friska memakan Spagetthi nya dengan begitu lahap lalu mengambil sepotong pizza dan memakannya dengan tak kalah lahap juga.
"Gue laper banget, tadi kerjaan banyak."
"Ya, tapi gak senafsu itu juga. Lo kayak orang gak makan seminggu." Ucap Bintang. Pria itu terus memperhatikan Friska yang sedang makan seraya melahap spaghetti miliknya. Friska seperti orang yang kalap dan makan tanpa henti, ia bahkan menyisakan saus di bibirnya. Bintang mendekat, dengan penuh kelembutan ia mengusap pelan bibir Friska dan membersihkan sisa-sisa saos yang berjejer di bibir Friska.
"Lo ga akan keabisan, pelan-pelan aja. Keselek baru tau rasa lo!" Ucap Bintang setelah menarik tangannya. Friska sempat membeku, tapi ia kembali melanjutkan makannya. Perlakuan Bintang yang barusan sudah biasa padanya. Memang selama beberapa waktu terakhir ini keduanya begitu leluasa satu sama lain, tapi tetap saja dalam hatinya tidak leluasa. Bintang sering membersihkan mulutnya dengan usapan lembut tangannya. Ia juga begitu, tetapi ia berbeda karena ia tidak mengusapnya dengan lembut. Friska malah selalu menepuk keras bibir Bintang, kenapa? Tentu saja ia malu!
"Gue makan cepet karena gue pengen abisin ini, dan pengen pesen yang baru lagi. lebih banyak."
"Dan lo buat gue bangkrut kalo kayak gitu."
"Oh, itu harapan gue."
"Dan sayangnya lo cuman bisa mimpi. Gue ga akan bangkrut sekalipun lo beli sama restorannya."
"Ugh, sombong."
"Memang kenyataannya! Lagian kalo mau bikin bangkrut bukan banyak beli makanan, banyak beli mobil mungkin bisa."
"Kalo gitu gue mau minta mobil. Lo mau beliin gue?"
"Kalo satu gue mampu."
"Yaudah, gue mau Ferrari keluaran terbaru."
"Uhukk!!" Seketika Bintang tersedak dan segera meraih air minumnya sementara Friska hanya tertawa dengan kencang.
"Dasar matre!" Ucap Bintang pada akhirnya. Friska menjulurkan lidahnya mengejek pada Bintang. dan saat Bintang hendak membalasnya, ponselnya berbunyi. Bintang meraihnya lalu memberikan isyarat pada Friska bahwa ia akan berbicara sebentar, setelah Friska mengangguk akhirnya Bintang pergi meninggalkannya untuk mengangkat telpon sejenak.
Dan sepeninggalnya Bintang, Friska melanjutkan makannya kembali. Ia mengambil sepotong pizza lagi dan memakannya dengan tenang. Tidak, sampai seorang wanita cantik yang menggendong anak perempuan menghampirinya dan menyapanya dengan senang.
"Friskaa.." Ucapnya. Friska membelalakkan matanya.
"Mbak Bulan.." Gumamnya. Bulan tersenyum, sementara Friska sedikit memucat. Gawat! Gawat sekali! Bagaimana ini? Bintang masih lama kan mengangkat telponnya?
"Mbak ngapain disini?" Tanyanya. Dasar bodoh, ya untuk apalagi kalau bukan makan! Batinnya merutuki kebodohannya sendiri.
"Bumi mau pizza Fris, kebetulan tadi aku ke kantor mas Reza juga. Jadi sekalian saja kesini" Jawab wanita itu. Apa? Reza ikut? Oh tidak. Friska kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan ini. Bintang dimana?
"Ngomong-ngomong, kamu sama siapa kesini?" Tanya Bulan, ia menatap meja kosong di sebrang Friska yang ditinggalkan oleh pemiliknya.
OHOO..
FRISKAAA..
TAMAT RIWAYATMU !!
"Emm, itu mbak.. sama―"
"Mampus lo Friskaa!! Sebut nama lain, ya tuhan buntu banget otak gue"
"Sama pacar ya?" Tanya Bulan lagi. Friska malah terlihat semakin gugup.
"Eng.. nggak kok mbak, temen aja" Jawab Friska sekenanya. Malu! Demi apa dia malu! Ya tuhan.. Friska begitu malu sementara bulan malah tersenyum penuh arti padanya.
"Kamu merah fris mukanya haha. Ya sudah, aku duluan ya? Mas Reza nanti nyariin" Pamitnya. Friska hanya mengangguk dengan cepat, entah kenapa ia malah senang sekali kalau bulan segera pergi dari sini. Biasanya ia akan sangat senang bertemu bulan dan akan sangat senang juga menggendong Rayya, tapi hari ini ia tidak bersemangat sama sekali. Ia malah panik, takut-takut kalau Bulan melihatnya bersama Bintang. aduh, ia benar-benar belum siap. Apa jadinya nanti? Apa yang harus ia jelaskan?
"akh! Dasar Bintang di langit bisanya bikin orang melilit" Gerutunya.
*******
"Oke ri, gue ngerti. Lo urus aja semuanya. Besok pagi mungkin gue pergi kesana. Tapi gue gak bisa lama. Udah ya? Lagi makan siang nih. Gak enak sama Friska"
PIIIP
Bintang memutuskan sambungan telponnya dan memasukkan ponselnya ke saku celananya, ia berbalik dan masuk kembali ke dalam restoran, Friska sepertinya sudah menunggunya lama. Bisa ngamuk dia, pikirnya. Saat tangannya hendak meraih pintu restoran, seorang pria menghampirinya dan membuatnya tersentak kaget.
"Astaga." Pekiknya. Tunggu dulu, pria ini.. sudah berapa lama dia berdiam diri disini? Hyaa,, apa dia tadi mendengar saat di telpon Bintang mengatakan pada temannya kalo Friska sedang menunggunya? Damn..
"Lo ngapain disini?" Tanya pria itu. Reza. Bintang menelitinya dari atas hingga bawah lalu ia mengedarkan pandangannya ke dalam restoran, apa Reza melihatnya bersama Friska?Ya tuhan, bisa gawat jadinya.
"Ta?"
"Eh... iya? Hmm.. sorry, sorru gue ngelamun."
"Lo lagi ngapain disini?"
"Gue ehm.. gue, tadi.. gue.. hmm.. Ketemu klien, ah.. ia,, ketemu klien." Bagus, gugup sekali dia sepertinya.
"disini? Klien lo jajan pizza?" Tanya Reza tak percaya. Bintang menggaruk tengkuknya pelan.
"Hmm.. masih muda, jadi dia maunya makan pizza"
"Oh, gitu.." Jawab Reza. Terlihat begitu penasaran tapi ia menahannya.
"Lo sendiri ngapain?"
"Oh, itu gue nganter Bulan. Tadi bumi pengen pizza."
Apaaaa?? Bulan juga ada disini? Wohoo.. sebuah alarm tiba-tiba saja berbunyi di dalam kepalanya. Friska, oh Friska. Bagaimana keadaannya? Apa Reza dan Bulan melihatnya?
"Gue duluan ya, Bulan udah nunggu. Barusan gue ambil barang Bulan yang ketinggalan di dalem aja kok."
"Oh, iya hati-hati. Salam buat Rayya dan Bumi."
"Iya.."
Dan saat Reza menghilang dari pandangannya, Bintang segera masuk ke dalam restoran dengan kepanikan luar biasa di raut wajahnya. Ia segera pergi menuju mejanya bersama Friska dan saat melihat Friska, ia seperti bercermin saat ini. Keadaan Friska, sama sepertinya. Cemas dan panik. Jangan bilang..
"Lo kenapa?" Tanya Bintang. Friska yang menyadari keberadaan Bintang di hadapannya akhirya bernafas lega.
"Gue ketemu mbak Bulan tadi" Ucap Friska, ia masih mengedarkan pandangannya. berjaga-jaga siapa tahu bulan mungkin kembali.
"Oh, sialan" Gerutu Bintang. ia menyandarkan tubuhnya dengan keras di kursi.
"Gue ketemu Reza" Ucapnya lagi, dan Friska menganga. Ya tuhan.. apa jangan-jangan mereka berdua melihat ia dan Bintang bersama disini?
"Nggak, kayaknya gak lihat" Ucap Bintang kembali. Ia seperti bisa membaca pikiran Friska. Dan tanpa sadar, keduanya bernapas dengan lega. Lalu sedetik kemudia, mereka tertawa. Kenapa dengan mereka? Apa yang membuat mereka begitu kepanikan setengah mati kalau kalau Bulan dan Reza memergoki mereka berdua? Oh tidak, sepertinya secepatnya mereka harus menjelaskan semuanya. Tapi, menjelaskan apa? Ah, itu lagi. sejak mereka bersama menjelaskan sesuatu menjadi hal yang terakhir yang mereka pikirkan.
"Kita pulang aja, bentar lagi waktu istirahat beres" ucap Friska. Dan disetujui oleh Bintang.
******
Sudah sampai kembali di kantornya, Friska melepas sabuk pengamannya dan saat tangannya meraih pintu mobil Bintang, ibu jari Bintang kembali menoyornya. Gadis itu mendelik tajam ke arahnya sementara Bintang malah tersenyum senang. Friska benar-benar tidak tahu, kalau selama ini dibalik toyorannya selalu terselip sebuah ciuman.
"Gue dua hari mau ke Jepang, kite ketemu nanti sabtu. Jangan lupa makan yang bener, kemaren lo udah makan ramen dan barusan pasta. Besok lo harus makan siang sama nasi." Ucap Bintang, ia seperti seorang ayah yang hendak meninggalkan putrinya untuk bekerja jauh sekali.
"Iya, Bintang! lo udah terus-terusan ngomong dari tadi. Udah, gue mau ngantor lagi." Ucap Friska pada akhirnya. Ia lalu dengan cepat turun dan berjalan menjauhi mobil Bintang, dan saat Friska sudah menghilang dari pandangannya, Bintang melesat meninggalkan pelataran kantor Friska. Selamat menjalani dua hari membosankan tanpa Friska Bintang, ledeknya dalam hati.
TBC
Sudaaah.. sudah dulu aku mentok XD
Kalo dilanjut lagi takut makin amburegul wkwk
Terimakasih untuk yang masih berkenan membaca, komen, dan vote.. kalian emejing sayang :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro