Jilid. 9
"I hate you," desis Sheryl tepat di sisi Kala saat dirinya turun dari SUV mewah milik sang ayah. Mendengar hal itu, hati Kala seperti dirajam ribuan kerikil tak kasat mata yang membuatnya memundurkan posisi tubuh.
Wanita berambut sebahu itu mengambil udara sebanyak yang ia bisa. Mencoba menormalkan semua indera yang baru saja lumpuh sesaat karena kata-kata yang mengudara tadi. Dari sudut matanya, Kala bisa melihat anak itu berjalan anggun dengan tangan yang menggandeng sang ayah. Seolah apa yang baru saja terucap hanya sebuah kata tanpa makna, yang justru ditafsirkan lain oleh diri Kala sendiri.
"Nak Kala jangan jauh dari Sheryl, ya. Ibu khawatir," kata Anna yang membuat Kala berjengit saking kagetnya. Ketika ia menoleh, wanita paruh baya yang nampak anggun dengan setelan kebaya maroon sudah berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Iya, Bu."
Kala meyakini dalam hati, ini akan cukup sulit untuk dilakukan. Masih segar di ingatannya bagaimana anak itu menelanjangi Kala dengan sorot mata penuh luka. Seolah, Kala yang berjanji menyelamatkannya dari acara yang sangat tidak ia sukai ini, berbohong. Kenyataannya? Kala memang tidak bisa berbuat apa-apa.
Sabda Daru adalah keharusan.
"Hari ini ulang tahun Anka, Mbak."
Kala diam tanpa respon menunggu kelanjutan kata-kata Sheryl.
"Kata Eyang, kami sepupuan. Saudara gitu, lah. Jadi aku harus datang ke acara itu. Semua teman dapat undangan tiga hari lalu, tapi aku enggak. Jahat, kan, Mbak? Belum lagi yang kemarin aku cerita, dia bicara buruk ke aku."
Kala menyelam jauh pada pembicaraan dengan gadis ini beberapa waktu belakangan tapi tidak menemukan sama sekali 'bicara buruk' yang dimaksud Sheryl. "Bicara yang mana? Mbak enggak ingat. Non cuma bil—"
"Ya pokoknya bicara buruk." Sheryl langsung menyela ucapan Kala.
Wanita itu menyadari satu hal. Ada satu lubang besar yang sengaja Sheryl tutupi tapi dengan jelas terbaca olehnya.
"Entah sudah berapa kali aku bilang dia jahat, tapi enggak ada yang percaya sama aku, Mbak. Semuanya. Bahkan Eyang dan Papa juga." Suara Sheryl tidak dalam keadaan menahan tangis, tapi rasanya, suara itu benar-benar mengoyak sisi lemah seorang Kala Mantari.
Suara itu sendu, sarat kekecewaan, kemarahan, dan juga rasa kesepian yang amat sangat besar.
"Tipa kali aku bilang Anka jahat, Papa dan Eyang selalu bilang, Anka butuh teman. Tapi enggak seperti itu. justru aku yang enggak ditemani sama kawanan mereka. Aku dipojokin, aku dijahatin, aku dikata-katain. Tapi Eyang sama Papa enggak percaya. Katanya aku bohong."
Kala memejamkan mata sejenak. Rasanya, semua yang Sheryl ucap benar-benar memengaruhi kewarasannya. Ingin sekali Kala peluk tubuh gadis itu barang sejenak.
"Aku enggak mau datang ke sana, Mbak. Enggak mau minta maaf juga ke dia."
Kalau saja Kala punya sebuah keberanian yang sangat besar, ia akan menahan Sheryl di rumah. Dihabiskannya malam itu dengan segelas susu cokelat dan beberapa keping cookies buatannya. Meneruskan dongeng Merida yang pemberani itu. Menjelaskan tiap kata demi kata agar bisa diimplementasikan dalam kehidupan anak itu kelak.
Akan tetapi, ia sendiri tidak memiliki hal itu. Kala hanya bisa menyaksikan dari kejauhan bagaimana gadis kecil dengan senyum menawan itu berjalan di samping ayahnya. Persis tuan putri yang baru saja turun dari kereta kuda. Sekali lagi, ia harus menyimpan banyak tabungan udara untuk menghadapi Sheryl. Tak mungkin dirinya terlalu jauh berjarak.
Ada satu hal yang berbeda saar ini. Sorot mata kecewa yang begitu kentara saat mereka bersitatap. Kala memilih menjaga jarak aman. Asal netranya masih bisa mengawasi semua gerak Sheryl, itu sudah lebih dari cukup. Di dalam rumah megah ini, banyak tamu undangan yang datang. Untuk ukuran pesta ulang tahun anak seumuran Sheryl, ini tergolong pesta yang mewah.
Sangat mewah.
Little Pony sebagai sentral dari keseluruhan dekorasi pada ruangan besar ini. Semua dibuat pas, elegan dan meriah secara bersamaan. Uang memang tak pernah berbohong dalam menciptakan kemewahan. Kala ingat dulu pun pernah merayakan ulang tahu, namun tak semewah ini. Hanya para teman kecil dan tetangga yang ikut merayakan, itu pun sudah sangat senang Kala dibuatnya.
Saat matanya asyik mengedar ke beberapa sudut, ia menangkap hal ganjil di sana. Tanpa ragu, ia berjalan dengan gegas.
"Non," panggil Kala pelan. Ia berhati-hati sekali, takut kedatangannya mengagetkan dua anak yang sepertinya Kala tahu siapa salah satu di antara mereka.
Dianka.
"Ini Mbak baru kamu, Sher?" tanyanya dengan nada cukup angkuh. Ia hanya menunjuk dengan ujung dagunya ke arah Kala.
"Iya." Sheryl tanpa ragu menjawab.
"Terima kasih kadonya tadi. Pasti bagus. Hadiah dari Om Daru selalu juara." Anak itu berjalan mendekati ke arah Sheryl. Tepat di sisi kanan Sheryl, ia berbisik dengan sangat pelan namun bisa membuat Sheryl mematung.
Tangannya terkepal kencang. Sorot mata yang memang sudah diliput emosi, semakin membara. Tanpa pikir panjang, Kala langsung menyamakan posisinya di samping Sheryl setelah Anka pergi.
"Kalau Non marah, Non kalah."
***
"Ulang tahunnya meriah gitu, kamu sudah minta pulang. Padahal kamu bertemu banyak teman sekelas, kan?" tanya Daru sembari mengusap rambut panjang anaknya.
Pria yang rapi menggunakan kemeja batik itu dibuat tak enak hati karena ujung bajunya ditarik paksa ketika bicara dengan Donita, si pemilik acara. Sheryl meminta untuk segera pulang, alasannya dia lelah. Demi sang putri yang sudah memasang ekspresi tak suka. Sebelum mereka benar-benar beranjak, Daru harus memastikan satu hal.
Permintaan maaf dari anaknya untuk Anka. Daru tahu anaknya tidak mau meminta maaf namun, baginya kesalahan tetap kesalahan. Harus meminta maaf.
Sheryl dengan sangat terpaksa melakukannya.
"Lain kali kalau memang Sheryl pengin pensil aku, bilang aja. Nanti aku beri, kok." Anka menerima uluran tangan itu dengan senyum kecil. Sheryl hanya memalingkan wajahnya, kembali menarik pulang sang ayah. Ia kesal sekali Anka bicara seperti itu di depan ayahnya. Ditambah, ayahnya seolah benar-benar percaya apa yang dikatakan Anka.
"Ulang tahun Sheryl nanti mau dibuat seperti itu? Little Pony?" tanya Daru mencoba mengambil perhatian sang anak yang sejak tadi terdiam.
Sheryl menggeleng. "Aku bosan dengan Little Pony."
"O iya?" Daru berpikir keras mengenai hal itu. Belum genap dua bulan anak itu berkata mencintai Little Pony hingga semua yang berhubungan dengannya, berganti motif. Mulai dari kamar, perlengkapan sekolah, baju, hingga peralatan makan.
Perjalanan pulang kali ini, hanya diisi dengan audio yang Ahmad putar dalam volume kecil. Sejak Sheryl masuk mobil, tak ada suara yang dikeluarkan anak itu. Kala sangat memperhatikan semua gerak Sheryl malam ini. Termasuk kebungkamannya.
Tiba di rumah, Sheryl sudah dalam keadaan tertidur. Kala mengekori langkah Daru menuju kamar nona mudanya. Ia harus memastikan sang nona tidur dengan piyama ketimbang dress yang dikenakannya itu.
"Gantiin bajunya hati-hati, ya, Mbak. Takut ganggu Sheryl tidur," kata Daru sembaru merebahkan putri kesayangannya itu di ranjang.
Kala hanya mengangguk pelan.
"Apa setiap malam anak saya tidurnya mengerutkan kening begitu?"
Penuh tanya, Kala memberanikan diri menatap Daru. Sementara sang pria hanya tertekun melihat raut wajah sang anak.
"Apa Sheryl mimpi buruk, ya?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro