Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 9

**Selamat membaca**

Jika didefinisikan, suasana sekarang lebih seperti anak perawan yang akan menghadapi malam pertamanya. Di mana si gadis tidak tahu harus melakukan apa dan memilih untuk bungkam.
Segugup dan se-awkward itu sampai-sampai Imel merasa ingin berteriak lalu kabur dari hadapan Aksa.

Keheningan tercipta di antara mereka yang sama-sama merasa malu dengan kejadian di ruangan tadi. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing tanpa ada yang memulai pembicaraan. Walau tangan Aksa masih setia menggenggam tangan Imel dan berjalan beriringan di area parkir, tempat yang cukup luas tidak pengap, tapi Imel masih saja merasa tidak nyaman.

Imel terus mengikuti langkah Aksa, meski sebenarnya ia bisa saja pergi terlebih dahulu setelah kejadian memalukan di ruangan tadi dan membicarakan pekerjaannya lain waktu. Tidak ada alasan yang jelas kenapa Imel masih berjalan bersama Aksa. Aksapun tak berniat untuk menginggalkan Imel. Hanya saja, ia masih diam membisu.

"Mel." Akhirnya Aksa membuka percakapan terlebih dahulu, meski atensinya masih terus menatap ke depan.

"I-iya," ucap Imel sedikit terbata.

Aksa menghentikan langkahnya kemudian berbalik menatap Imel dengan intens.

"Gue ikut lo pulang, ya?"

Imel tidak bisa tidak terkejut. Sekalinya Aksa membuka mulut langsung mengajukan pertanyaan yang tidak sama sekali ia sangka.

"Apa maksud kamu?" tanya Imel memastikan ia tidak salah dengar. Lalu mencoba berpikir positif, mungkin maksud Aksa, mengantarnya pulang ke rumah.

"Ya ... pulang, gue ikut lo pulang ke rumah lo."

"Memang kamu pikir saya perempuan kaya apa?" Imel sedikit tersulut emosi. Perempuan mengempaskan tangan Aksa yang masih menggenggamnya hingga Aksa menurunkan pandangan ke arah tangan yang sudah terlepas.

"Lupain apa yang gue minta tadi," sahut Aksa kemudian, namun nada bicaranya berbeda, ada nada kesedihan terdengar di telinga Imel.

Imel berlalu tidak tega. Masih tercetak jelas di memori kepala perempuan itu bagaimana wajah Aksa yang panik saat dikejar oleh para fans tadi.

Tapi Imel tidak ingin terkesan murahan, ia berbalik arah dan hendak pergi meninggalkan Aksa sebelum pikirannya berubah. Akan tetapi gejolak hatinya memberontak dan mengatakan harus membantu Aksa. Ini benar-benar sulit keputusan yang sulit.

"Gimana kalo kamu saya anter pulang aja? Saya masih ingat jalan ke rumah kamu. Lagipula, kamu mau ngapain di rumah saya?"

Hening beberapa detik, Aksa tersenyum miris. Kemudian dengan tak disangka ia mengatakan, "Dhanu yang sengaja buat gue ketemu sama fans-fans itu."

Imel mengerutkan keningnya. Seperti ada yang mengganjal dari ucapan Aksa barusan.

Dhanu? Kenapa?

Dalam kepala Imel muncul beberapa pertanyaan, mulutnya setengah terbuka.

"Maksudnya? Bukannya Dhanu itu manager kamu? Yang harusnya ngelindungin kamu dari mereka?" tanya Imel dengan cepat. Ia ingin tahu alasan Dhanu melakukan itu semua.

Imel kembali berbalik menatap punggung Aksa yang masih menatap ke arah lain. Laki-laki itu masih diam, sesekali menyisir surai hitam keperakannya dengan jari dan mengembuskan napasnya pelan.

"Apaan?" Imel memukul bahu Aksa, karena tidak sabar menunggu jawaban selanjutnya.

"Kasar banget si jadi cewek!"

"Ya ... Apaan tadi?"

Aksa kembali mengembuskan napasnya pelan sebelum berkata, "Dhanu itu manager gue. Kalo pamor gue turun, otomatis pendapatannya dia juga turun."

"Kok gitu? Bukan seharusnya Dhanu punya bayaran yang stabil, ya? Bukan tergantung pamor atau job yang kamu punya."

Imel bukan orang yang biasa dengan jawaban menggantung seperti yang Aksa berikan. Ia akan bertanya terus hingga akar masalah diuraikan secara jelas di depannya.

"Gue, Dhanu sama Okky itu kerja sama, kita kenal sebelum gue jadi penyanyi. Maka dari itu, kita sepakat untuk membagi tiga hasil dari job gue. Karena, kita beranggapan memang kita semua sama-sama capek."

Imel menganggukan kepalanya pelan, mulai mengerti alasan sikap Dhanu.

"Berarti kamu yang salah."

"Gue?" Aksa menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, seharusnya kamu ngga bersikap seperti itu, teman si teman, tapi soal pekerjaan seharusnya kamu bisa profesional."

"Ya... Gue mana tahu keadaannya bakalan kaya gini. Lagian, seharusnya Dhanu itu jangan mikirin duit dulu untuk sekarang, pikirin gue dulu," balas Aksa yang malah terkesan menyalahkan Dhanu di telinga Imel.

"Itu semua bukan salahnya, insting bertahan hidup. Apalagi di kota besar macam Jakarta. Jelas-jelas ini semua memang salah kamu, jadi jangan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kamu buat."

Aksa berdecih, ternyata Imel lebih cerewet dari yang ia bayangkan.

"Iyaa iyaa... Gue yang salah, puas lo?!"

Imel tertawa, ekspresi Aksa menjadi hiburan tersendiri untuknya lalu kemudian berucap, "Yaudah... Ayo, kamu boleh ikut saya hari ini." Sambil berjalan menuju mobilnya.

Bau citrus menyeruak ketika Aksa membuka pintu mobil Imel. Ia memerhatikan, untuk mobil seorang reporter. Mobil Imel cukup rapih, atau bahkan terkesan kosong. Tidak ada kertas yang menyumpal di laci dashboard ataupun pajangan foto satupun.

"Mobil lo rapih ya," ucapnya yang mengedarkan pandangan pada jok belakang.

Aksa seakan mencari sesuatu, ia menatap setiap jengkal mobil Imel dengan keseriusan. Keningnya sedikit berkerut menandakan ada yang tengah ia cari.

"Kamu cari apa?"

Aksa menoleh, lalu membenarkan posisi duduknya. "Ngga cari apa-apa."

"Terus ngapain ngeliatin isi mobil saya kaya gitu?" Imel menatap Aksa curiga. "Kamu mau maling, ya?"

"Ini udah ketiga kalinya ya, lo tuduh gue maling, gue maling beneran jangan marah ya!"

"Memang kamu mau mencuri apa dari saya? Bukannya kamu lebih kaya?" balas Imel dengan nada yang sedikit menantang.

Aksa terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab, "hati lo."

Imel mendengus, bisa-bisanya laki-laki yang terkenal gay itu membuat kalimat rayuan. Sementara Aksa menunggu respon Imel, entah apa yang dipikiran Aksa. Ia berharap Imel merespon seperti apa yang ia bayangkan.

"Kamu kan sukanya laki-laki juga."

Bagai petir di siang bolong, jawaban Imel sungguh di luar dugaan Aksa. Aksa memalingkan wajah ke sisi jendela dan mengeraskan rahang, menahan gejolak emosi yang tiba-tiba saja menyusup dalam dadanya.

"Iya-iya...," balasnya dengan acuh.

Aksa nelangsa sendiri, nasib yang menurutnya sungguh tragis. Sudah dicap sebagai penyuka sesama jenis oleh banyak orang, sekarang perempuan yang ia yakini belum memiliki pasangan merespon seolah-olah dia percaya bahwa Aksa seorang gay.

Lo ngerespon kaya gitu karena udah punya pasangan, atau memang karena lo percaya gue ini homo?

Pertanyaan itu hanya bisa Aksa ucapkan dalam hati. Percuma, menurutnya menjelaskan bagaimana dirinya yang sebenarnya.

Sementara mobil Imel sudah sampai di sebuah gedung apartemen yang cukup sederhana.

"Ayo turun, kita udah sampe."

Aksa turun dari mobil dan mengikuti Imel menaiki lift menuju lantai 8. Ada yang aneh menurut Aksa. Oke, Aksa tahu harga rumah di Jakarta memang tidaklah murah, tapi seharusnya suami Imel bisa mencari rumah yang kecil dari pada harus tinggal di apartemen. Lagi pula, penghasilan Imel bisa membantu untuk membeli rumah di Jakarta. Setidaknya itu yang ada di pikiran Aksa saat ini.

Imel memutar kunci dan membuka pintu, tiba-tiba saja ada keraguan terselip dalam hati Aksa.

"Tunggu, Mel!"

"Kenapa?"

"Apa nggak apa-apa kalo gue ke rumah lo? Maksudnya, nanti suami lo marah gitu?" Aksa menggaruk tengkuknya. Nada bicaranya sedikit ragu, merasa tidak rela jika mengatakan Imel sudah bersuami.

"Ngga akan," balasnya kemudian masuk ke dalam apartemen tersebut.

Aksa mengembuskan napasnya pelan kemudian masuk menyusul Imel.

"Kamu istirahat dulu aja, saya telpon Okky asisten kamu untuk jemput dulu," kata Imel seraya berjalan menuju dapur kecil hanya dihalangi oleh tembok.

Aksa tidak begitu menghiraukan perkataan Imel, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen tersebut. Cukup nyaman menurut Aksa, di sisi tembok Aksa melihat sebuah figura besar yang di tempeli beberapa foto kecil saat Imel masih kuliah. Bibirnya membentuk lengkungan tipis ketika mendapati foto Imel sedang tersenyum.

Cantik, batinnya berucap.

Setelahnya, Aksa menuju belakang sofa yang tadi sempat ia duduki. Di sana ada sebuah meja kerja yang lengkap dengan iMac dan juga sebuah printer. Aksa bisa melihat beberapa kertas pos-it menempel pada layar iMac yang berisikan rangkaian kerja Imel.

Sebuah bingkai foto di sisi meja paling kiri menarik atensi Aksa. Ada 4 orang di foto dengan Imel adalah satu-satunya perempuan di gambar tersebut. Imel nampak terlihat profesional di gambar tersebut, walau tak bisa dipungkiri, gambar tersebut menunjukkan bahwa Imel tengah bahagia saat itu.

Siapa di antara mereka yang jadi suami Imel?

Harus Aksa akui, ketiga laki-laki itu memiliki wajah yang tampan, bahkan terlihat cocok jika bersandin dengan Imel. Mengetahui hal itu, Aksa berlalu kesal.

"Aksa," panggil Imel yang datang membawa nampan berisikan dua gelas es jeruk.

"Eh... Sorry, gue iseng aja liat-liat. Nggak niat jadi maling beneran, kok. Sumpah."

Imel tertawa mendengar penjelasan Aksa.

"Iya, saya tahu, saya sudah telfon Okky, dan dia bilang langsung on the way ke sini buat jemput kamu."

Aksa mengangguk, kemudian kembali duduk di sofa dan meminum es jeruk yang Imel buatkan.

Tidak ada percakapan di antara mereka, beberapa menit setelah Aksa kembali duduk. Imel pamit untuk mengerjakan tugas yang diberikan atasannya. Lalu fokus selama setengah jam di depan layar iMac. Sementara Aksa hanya memainkan game pada ponselnya sampai bunyi bel menghentikan aktifitas mereka.

"Sorry gue lama, macet banget tadi di jalan." Okky yang baru saja datang meminta maaf pada Imel, karena sudah merepotkan perempuan itu.

Setelah dipersilahkan masuk, Okky menghampiri Aksa dan menendang kakinya.

"Aduh!" pekik Aksa ketika Okky melayangkan tendangannya. "Sakit, Ky!"

"Sakit pala lo! Lo tau ngga? Dhanu sama Mas Satriyo nyariin lo kaya orang gila. Lo malah enak-enakan di rumah orang, ngerepotin!"

Okky berkacak pinggang, tidak peduli dengan tatapan Imel yang melebar ketika ia menendang Aksa cukup keras.

"Bodo amat! Baru kaya, kan? Belom gila beneran." Okky kembali menoyor kepala Aksa. Hingga mereka berdua terlibat perkelahian.

"Udah-udah! Kenapa kalian berantem? Kaya anak kecil aja." Imel berusaha melerai kedua laki-laki kelebihan hormon sekresi dari kelenjar hipofisis tersebut. Lihat saja, tubuh Imel bahkan hanya kit sepundak mereka berdua.

Baik Aksa maupun Okky berlalu tenang, walau dengan napas yang masih terengah-engah dan tatapan tajam seolah ingin mengintimidasi lawan. Membuat Imel mengurut pangkal hidungnya sebelum berucap, "Aksa tadi nggak sengaja ketemu saya pas dia dikejar penggemarnya. Karena itu saya ajak dia ke rumah saya," bohong Imel, membuat kernyitan di dahi Okky.

"Memangnya ngga apa-apa, Mbak? Maksud saya, apa pasangan Mbak ngga keberatan."

Aksa membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Okky. Sungguh, Aksa sangat enggan mendengar jawaban Imel. Aksa sendiri tidak tahu sebab dirinya tidak ingin mendengar jawaban Imel.

Sementara Imel, hanya tersenyum kecil menangnggapi pertanyaan Okky kemudian menjawab, "saya masih sendiri."

"Masa?" Respon Okky cepat, "masa masih sendiri, Mbak? Bukannya umurnya sudah cukup?"

Imel tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Hanya senyuman itu yang bisa ia tampakkan, pertanyaan-pertanyaan itu sudah cukup biasa bagi Imel. Walau hatinya benci mendengar pertanyaan itu. Apa salahnya? Apa itu semua satu kesalahan sehingga pertanyaan itu seakan memojokkan dirinya.

Aksa tidak begitu memperhatikan raut wajah Imel. Laki-laki berusia 26 tahun ini sedang berada di alam pemikirannya sendiri.

Okky bisa menangkap rasa tidak nyaman dari pertanyaan yang ia lontarkan. Laki-laki itu berdehem guna mengurangi rasa canggung di ruangan itu, sebelum kemudian menegakkan dirinya.

"Mbak Imel, sepertinya Aksa dan Saya harus pamit, takut terlalu malam," ucapnya kemudian bangkit dari duduk dan mengkode Aksa yang tengah melamun.

Okky menaikkan sebelah alisnya ketika melihat Aksa sedang tersenyum sendiri.

Ini anak kenapa? Ngga kesambet, kan?

"Sa!" Aksa tersentak mendengar panggilan Okky. "Ayo balik."

"Iya... Bawel," balasnya sebelum beranjak dan menjabat tangan Imel.

"Makasih buat semuanya ya, Mel." Aksa berbalik dan menatap Imel yang bersandar pada daun pintu. Hanya anggukan yang menjadi jawabannya.

"Sampai ketemu besok, Mbak Imel. Kita pamit dulu. Assalamu'alaikum," ucap Okky.

"Waalaikumsalam," balas Imel sebelum ia masuk ke dalam apartemennya.

Imel mengembuskan napasnya pelan, mengingat pertanyaan yang Okky berikan padanya. Perempuan itu kembali duduk di depan layar iMac dan menatap figura yang tadi dipegang Aksa.

Foto yang berisikan dirinya, Ervin seorang redaktur yang menjadi rekan kerjanya, Ubay sahabat dari sejak jama kuliah dan Nara, laki-laki yang menjadi alasannya pindah kerja.

Gue harus lupain lo, Nar. Gue juga mau bahagia, kaya lo.


**Hormon sekresi dari kelenjar hiposis adalah hormon yang meningkatkan tinggi badan.

Kali ini ngga tau kenapa jadi panjang banget, Tapi berhubung saya males ngedit... Jadi harap dimaklumi kalo banyak typo typo bertebaran

Tks.
-kimnurand

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro