Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 7

Selamat membaca

Cahaya termaram menyelimuti ruangan dengan dominasi warna biru–putih, jika saja kerai biru navy sudah terbuka dan membiarkan sinar sang surya memasukinya.

Tidak terhitung berapa kali ponsel di atas nakas itu bergetar. Namun, tak juga berhasil membangunkan Aksa dari mimpinya. Tangannya bergerak mengambil ujung selimut yang menutupi sebagian tubuh untuk menenggelamkan seluruh badannya. Sampai seseorang masuk dan menggelengkan kepalanya ketika mendapati laki-laki itu masih nampak seperti mayat hidup.

"Aksa bangun!"

Tidak ada pergerakkan dari Aksa. Baginya, kini dunia mimpi lebih menarik dibandingkan dengan dunia nyata yang penuh hujatan.

"Berisik lo! Balik sana, gue masih ngantuk!" racaunya dari balik selimut.

Okky menghela napasnya. Baginya, membangunkan anak untuk sekolah lebih mudah dibandingkan membangunkan Aksa. Padahal, Okky berniat memberitahu Aksa perihal kedatangan pihak stasiun tv pagi ini. Ia tidak ingin Aksa kembali marah di depan banyak orang.

"Sa, sebentar lagi ada orang yang mau ketemu sama lo." Okky menggoyangkan badan Aksa yang terbungkus selimut.

"Bilang sama mereka, kalo mau ngeliput, liput aja Dhanu. Ngapain mereka liput gue, yang ada tv mereka nanti dibully netizen karena gue muncul."

Okky mengerjapkan matanya. Aksa tahu perihal wartawan yang akan datang ke rumahnya. Dan, ia sama sekali tidak protes.

"Lo tau soal itu?"

Aksa menyibak selimut yang menutupi wajahnya dan duduk bersandar seraya menggaruk kepalanya. "Menurut lo?"

"Yaudah buruan bangun, udah gay jorok lagi."

Pernyataan itu sukses membuat Aksa melepar guling ke arah Okky. Sementara yang dilempar, hanya tertawa melihat laki-laki yang sudah dianggap saudaranya itu memberengut kesal sebelum ia keluar dari kamar dan melanjutkan aktifitasnya menyiapkan keperluan Aksa.

Tidak butuh waktu lama bagi Aksa untuk bersiap. Hari ini ia tak memiliki jadwal apapun di luar.

Sesampainya ia di lantai bawah. Aksa melihat dua orang yang sedang berbicara dengan Dhanu. Dari seragam yang mereka kenakan, ia tahu mereka adalah wartawan yang Okky bicarakan tadi.

"Aksa, Okky udah kasih tau lo soal mereka, kan?" tanya Dhanu mencoba basa-basi dengan lelaki yang sudah dianggap adiknya sendiri itu.

Aksa mengangguk. Kemudian berjalan menjauh dan duduk di sofa berwarna hitam yang ada di ruang tengah. Mengambil remote tv dan menyandarkan bahunya.

Melihat kelakuan Aksa yang seperti—tidak—menganggapnya ada. Membuat perempuan berseragam hitam dengan garis biru di lengannya itu memicingkan matanya. Ia menghampiri Aksa dan duduk di sebelahnya.

Aksa mengerutkan keningnya. Lalu sedetik kemudian melebarkan mata ketika mengingat siapa perempuan yang duduk di sebelahnya. Ohh ayolah, dari sekian banyak wartawan, kenapa ia harus selalu berurusan dengan wartawan aneh yang memiliki kemampuan lari seperti atlet ini?

"Lo lagi?" ucapnya sedikit tak percaya.

"Iya, dan untuk beberapa jam ke depan kita akan kerjasama, jadi saya harap kamu bisa profesional." Imel melipat tangannya di dada. Menatap Aksa dengan tajam, membuat laki-laki itu berdehem guna menghilangkan kegugupan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.

"Atau saya akan menyebarkan semua yang kamu katakan di Taman Safari."

Aksa mengangguk. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan sedikit berlari menaiki tangga dan memasuki kamarnya.

"Kenapa dia?"

Imel mengangkat bahunya mendengar pertanyaan Okky yang baru saja datang dengan nampan dan 4 gelas berisikan teh hangat. "Diminum dulu." Okky menyodorkan salah satu gelas pada Imel dan Wisnu yang sudah menyusulnya.

Di dalam kamar, Aksa mengganti bajunya dengan kaos turtle neck warna hitam dan celana gunung selutut. Menyisir rambut yang sedikit panjang dengan jari-jarinya. Tidak lupa ia menyemprotkan deodorant spray pada tubuhnya.

"Semangat banget?" Aksa mengalihkan pandangannya dari cermin besar di depannya pada pintu kamar. Dhanu melipat tangannya dan bersandar pada daun pintu. "Lo ngga ada rencana aneh-aneh, kan?"

Aksa mengerutkan keningnya bingung. Berkata, "kenapa?"

"Maksud gue, lo ngga bermaksud ngerjain dia, kan?" Dhanu masuk lebih dalam ke kamar Aksa. "Gue peringatin, jaga sikap biar nama lo ngga semakin jelek."

Aksa hanya diam mendengar peringatan Dhanu, setelahnya Aksa kembali ke ruang tengah dan menghampiri 4 orang yang sudah menunggunya.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan Imel sudah menunjukan pukul 9 lewat 30 menit.

"Ini," kata Imel saat memberikan map kuning berisikan script singkat yang kemungkinan Aksa bisa ucapkan di depan kamera. "Mungkin bisa membantu, kita mulai dari studio musik lalu jelaskan konsep album kamu. Dan, kami mulai ambil gambar, gimana?"

Aksa mengangguk. Laki-laki itu nampak serius membaca deretan kata pada script yang diberikan Imel. Terbukti dengan kedua alisnya yang sesekali saling bertaut.

"Oke," ucapnya lalu berjalan ke arah ruangan musik pribadi yang biasa ia gunakan untuk berlatih.

Imel dan Wisnu mengikutinya dari belakang dengan membawa kamera yang sudah terpasang tripod dan lensa tele.

Aksa duduk di depan sebuah grand piano 4 oktaf berwarna hitam dengan 48 tuts. Sementara Imel bersiap dengan menekan tombol record pada Canon C100 yang ia bawa.

Imel sedikit tertegun ketika jemari Aksa dengan lincahnya bermain di atas piano. Harus Imel akui, suara Aksa sedikit memanjakan telinganya. Hanya saja Imel merasakan keputusasaan pada lagu yang dimainkan Aksa.

Setengah jam berlalu, Wisnu menepuk pundak Imel yang begitu serius mendengarkan Aksa. Lalu mengkode perempuan itu agar memberikan arahan apa saja yang harus diucapkan Aksa.

Dengan cepat Imel mengambil kertas yang sudah ia tuliskan beberapa pertanyaan untuk Aksa. Lalu mengangkatnya agar Aksa dapat membaca.

"Konsep untuk album aku kali ini, adalah bintang. Seperti nama aku 'Arion' yang berasal dari kata 'Orion' yang berarti bintang pemburu. Aku akan memburu cinta semua penggemar aku di lagu berikutnya." Aksa tersenyum, ia sudah terbiasa dengan pertanyaan yang diberikan Imel padanya.

"Tapi, kalo untuk lagunya sendiri masih dirahasiakan. Aku mau buat surprise buat semua para 'Aksarasa'," kata Aksa di akhir kalimatnya sebelum ia bangkit dan mengkode Wisnu dan Imel untuk mengikutinya.

Aksa naik ke lantai 3 bagian rumahnya menuju ruangan paling pojok. Laki-laki itu membuka pintu dan mempersilahkan Imel dan Wisnu masuk.

Hal yang Imel lihat pertama kali adalah gelap. Ruangan itu sama sekali tak bercahaya. Aksa menutup pintu sehingga cahaya yang ada hanyalah kedipan Flash kamera yang menyala berwarna merah. Sebelum Aksa menyalakan lampu.

Imel melebarkan matanya, ketika ruangan dengan cahaya yang termaram dengan dominasi biru navy itu terlihat seperti di ruang angkasa. Lampu yang memancarkan berbagai bentuk rasi bintang pada dinding gelap. Di sebelah kanan terdapat proyektor yang Aksa nyalakan, menampilkan satu bentuk rasi bintang.

"Ini, Orion."

Aksa menunjukkan rasi bintang yang terpampang pada layar.

"Wow!" Imel masih saja terpana dengan ruangan gelap yang bertabur bintang tersebut.

Wisnu masih saja sibuk dengan kameranya. Beruntung, kamera yang ia gunakan masih berfungsi sangat baik walau di ruangan gelap.

"Jadi inspirasi untuk album baru aku nanti memang aku dapat dari ruangan ini. Aku suka di sini, karena aku merasa ini rumah aku." Aksa berbicara di depan kamera.

"Sekarang apalagi?" tanya Aksa pada Wisnu. Wisnu yang tidak mengerti mencoba memanggil Imel yang masih sibuk dengan bintang.

"Mbak Imel!"

Imel tersentak, ia menundukan kepalanya, merasa malu dengan tingkah kekanakannya. Sementara Aksa hanya tersenyum melihat Imel. Laki-laki itu suka ketika Imel bersikap malu-malu seperti itu. Menggemaskan menurutnya.

"Lo suka bintang?" tanya Aksa yang dibalas sebatas anggukan kepala oleh Imel.

"Suka bintang apa?" tanyanya lagi.

Imel nampak berpikir sejenak kemudian menjawab, "Sirius, may be."

"Kenapa Sirius?"

"Karena dia bintang paling terang di langit. Dan merupakan komponen primer, mungkin gue mau jadi orang yang paling bersinar dan dibutuhkan."

Aksa tertawa. Sementara Imel melihat Aksa dengan tatapan bingung.

"Kenapa ketawa?"

"Ngga papa, lucu aja." Aksa berdehem untuk meredam tawanya. Sementara Imel memicingkan matanya tak percaya.

"Kalo mau jadi yang paling terang dan paling dibutuhin, kenapa ngga pilih matahari?" tanya Aksa.

Imel diam, tidak pernah terlintas sedikitpun mengatakan matahari sebagai bintang favoritnya. Namun, satu pertanyaan Aksa barusan justru membuat beberapa pertanyaan di benaknya.

"Udah ngga usah dipikirin, kita lanjut shooting aja, gimana?" Imel mengangguk. Lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan pribadi Aksa.

Setelah 2 jam berlalu, Imel sudah mengantongi seluruh kegiatan Aksa hari ini. Ia membereskan semua peralatan kameranya dan meminta Wisnu untuk menyimpannya di bagasi mobil.

"Baik, Aksa, Dhanu terima kasih atas kerjasama kalian hari ini. Nanti, setelah proses rough cut kami akan berikan hasilnya dulu pada kalian sebelum disiarkan ke media."

Dhanu mengangguk. Aksa tersenyum mendengar penjelasan Imel yang menurutnya benar-benar profesional. Pandangan itu tak kehilangan perhatian dari Dhanu maupun Okky. Mereka berdua jarang sekali melihat Aksa yang dengan mudahnya akrab dengan seseorang. Terlebih seorang wartawan.

Kemudian Imel dan Wisnu pamit untuk kembali ke kantor. Aksa masih setia memandangi mobil berwarna silver yang keluar dari gerbang rumahnya.

"Cantik, ya?"

Aksa menarik sudut bibirnya. Mengangguk pelan sebelum kepalanya terhantuk pada daun pintu karena dorongan Okky.

"Apaan si lo?" kesalnya.

"Liat cewe aja anteng, ngga inget kemaren masih ngamuk-ngamuk sama dia, udah minta maaf belom?" Okky kembali menggeplak kepala Aksa.

"Santai aja, dia juga udah ngga bahas soal itu lagi." Aksa mengusap keningnya yang sempat terhantuk pintu. Lalu berjalan menjauhi Okky dan duduk di sofa.

"Seengganya, lo coba minta maaf sama Mbak Imel, Sa." Dhanu mencoba menasihatinya.

Aksa menautkan kedua alisnya. Bukan, bukan saran Dhanu maupun Okky yang membuatnya memasang wajah seperti itu. Tapi, karena sebutan 'Mbak' pada wartawan cantik yang baru saja ia temui.

"Kenapa lo manggil dia 'Mbak'?" tanya Aksa. Wajahnya seketika berubah penasaran. Dhanu berusia 28 tahun, apa mungkin Imel lebih tua dari Dhanu?

"Trus gue harus manggil apa? Gue ngga enak lah kalo manggil yang lebih tua pake nama aja."

"Masa dia lebih tua dari lo, Nu?" Bukan Aksa, melainkan suara Okky yang membantu menyuarakan pertanyaan di benak Aksa.

Dhanu mengambil botol dari dalam kulkas, menuangkan isinya ke gelas dan membawanya ke hadapan Aksa juga Okky. "Umurnya kan udah tigapuluh."

"What? Tigapuluh? Ngga salah, lo?"

Okky hampir saja menyemburkan minumannya ke muka Aksa. "Gila! Body goals banget! Emang ya, sekarang tuh jamannya Macan ternak."

"Apaan Macan ternak?" tanya Dhanu.

"Mama cantik anter anak," jawab Okky santai. Tak memerdulikan ekspresi terkejut Aksa.

Aksa diam melihat Okky meracau seorang diri. Sementara Dhanu hanya sesekali menanggapi ocehan Okky.

"Ini, ni. Yang bikin gue protes sama aplikasi Instagram, seharusnya, cewek-cewek yang udah nikah atau punya anak. Mereka diwajibkan nulis status 'bersuami' atau 'beranak', jadi ngga ada cowok-cowok yang naksir sama Bini orang."

Aksa mendengus mendengar penyataan Okky. Dalam hati, Aksa benar-benar mengutuk, kenapa juga Imel harus berpenampilan seperti itu? Apa tidak bisa, ia bertemu dengan Aksa dengan tampilan ibu-ibu atau membawa anaknya sekaligus.

Entah apa yang dipikiran Aksa saat ini, yang Aksa tahu, dia hanya kesal saat ini.

Rough cut, adalah tahap awal editing untuk susunan program dan gambar yang telah dipilih.

-kimnurand_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro