chapter 3
Pilunya berselimut tawa. Sedihnya tertutup muka sarat akan bahagia. Alih-alih sungguh gembira. Justru ia dipermainkan rasa iba oleh semesta.
° Reportalove °
DALAM bukunya, Remy Sylado pernah berkata, 'Sebab, bahaya yang sesungguhnya bukan pada orang yang marah-marah, tapi pada orang yang diam.' Kata-kata itulah yang membuat perempuan berseragam hitam yang tengah duduk di depan meja kerja sang atasan bungkam. Henry masih diam di kursinya, tempat yang jarang sekali Henry duduki acapkali berdiskusi dengan rekan timnya.
Melewati ratusan detik menatap sosok yang sejak tadi hanya diam tak memberikan penjelasan apapun padanya atau sekadar berbasa-basi seperti biasa.
Baru tadi pagi. Sialnya, Imel sempat melupakan tugas utama yang Henry berikan dan malah sibuk dengan sosok yang ia sangka pencuri mobil itu sehingga kehilangan kesempatan mewawancarai produser musik yang ia tuju. Ruangan dengan dua buah pendingin yang diatur dengan suhu 16 derajat celsius itu malah membuatnya pengap. Ia memilin jari seraya menatap ke bawah, menghindari tatapan tajam Henry.
"Gimana soal wawancara di kantor Satriyo?" Henry membuka suara. Ia menghela napas pelan, mencoba mengubur jarak bernama jabatan pada Imel yang notabene bawahannya. Ia menumpu kepalanya dengan tangan kanan di atas meja menatap Imel lamat-lamat.
"I–itu ...." Imel merespons ragu.
"Nggak dapet hasil apa-apa?" Henry mengubah posisinya dari bertumpu pada meja menjadi bersandar pada sandaran kursinya yang empuk. "Gimana mau dapet berita? Kalo lo aja malah fokus cari maling mobil."
Imel memilih opsi diam.
"Di saat Satriyo, produser musik sekaligus penanggung jawab Aksa lagi konfirmasi berita yang beredar, lo di mana?" Henry menggaruk kepala, bak model iklan shampoo yang memiliki ketombe basah. "Masa cuma kita yang nggak dapet rekaman apa-apa! Mana Wisnu juga lo ajak lagi."
Suara Henry terdengar frustasi. Laki-laki itu tahu betul apa yang menjadi ketertarikan Imel sebenarnya. Bukan satu atau dua kali Henry mencoba membujuk perempuan berusia 30 tahun itu untuk keluar dari pekerjaannya yang sekarang dan kembali ke tempat seharusnya.
"Gue masih nggak paham sama jalan pikiran, lo," kata Henry. Ia bangkit dari kursi dan berdiri bersandar meja dan melipat tangannya di dada. Ia melirik pintu, memastikan tertutup sempurna agar tidak ada yang mendengar ucapannya. "Afriandar masih sering nanyain lo ke gue, apa nggak sebaiknya lo pindah balik ke liputan berita?"
"Saya minta maaf, Pak. Besok saya pastikan hasil wawancara dengan Aksa sudah ada di meja Bapak." Pada akhirnya, Imel disulut emosi. Pun berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan topik yang Henry angkat. Sementara Henry lagi-lagi mengembuskan napas pelan memproses kata-kata Imel barusan.
Lengkungan tipis tercetak di bibir Henry. Seraya mendengus serupa ejekan pelan. "Emang lo tau mau cari Aksa ke mana?"
Pertanyaan Sang Pimred membungkam Imel. Laki-laki berperawakan tinggi sedikit berisi tersebut kembali ke kursinya dan mengambil sebuah post-it kuning yang sempat ia tempel beberapa saat lalu pada layar monitor laptopnya yang ia biarkan menyala.
"Besok lo bisa temui dia di Taman Safari. Dia salah satu relawan untuk aksi penyelamatan Orang Hutan di sana." Imel menerima kertas kuning yang disodorkan Henry.
Imel terkekeh ringan. Henry memang sering membantunya satu dua kali ketika ia mengalami kesulitan saat mencari info. Campur tangan Henry dalam pekerjaan Imel memang berpengaruh besar mengingat mereka dulu adalah teman satu kampus, namun mereka merahasiakan itu semua karena alasan profesionalitas di kalangan pekerja yang usut punya usut suka saling sikut.
"Tapi gue tetep berharap lo bisa pikirin sekali lagi tawaran Andar, Mel. Gue ngomong bukan sebagai atasan, tapi sebagai temen lo."
"Oke, Temen." Imel memberikan tanda hormat bendera pada Henry yang dibalas pukulan pelan pada pundaknya. Dan mereka berdua saling berbagi tawa sebelum reporter berusia 30 tahun itu pamit keluar dari ruangan minimalis bernuansa serba putih bertuliskan pimpinan redaksi di daun pintunya. Mengabaikan nama mantan atasan yang kerap disebutkan Henry.
"Makan bareng yuk, Mbak?" Sapaan Wisnu Imel terima ketika ia menutup rapat pintu ruangan Henry. Anggukan pelan Imel berikan sebagai jawaban. Mereka mengajak Lisa untuk turut ikut sebelum pulang.
Di perjalanan ada-ada saja topik yang mereka bahas. Dari janjian pergi ke kondangan bersama hingga gosip kameraman rekan Wisnu yang memacari anak magang. Suara bising klakson mulai bersahutan ketika mereka sampai di jalan besar pusat kemacetan. Deretan mobil keluar dadi gedung akademi yang letaknya diapit oleh kantor stasiun TV dan beberapa studio TV itu sendiri.
"Gimana tadi di kantor Pak Henry, Mbak?" kata Wisnu sembari menuliskan pesanan pada nota yang diberikan pelayan warung bebek goreng.
"Biasa," jawab Imel sekenanya.
Imel menyapukan pandangan pada dekorasi sederhana warung bebek goreng. Hanya nuansa hijau yang tampak hidup karena dipadukan meja kayu cokelat muda. Mereka kebetulan memilih meja lesehan, sehingga Imel bisa meluruskan kakinya karena Wisnu duduk di depan Lisa.
"Kak Imel! Liat itu deh." Lisa menunjuk layar TV LCD yang dipasang oleh pemilik tempat dekat meja kasir. Di layar ada gambar seorang laki-laki berkisaran usia 45 tahun yang tengah dikerumunk banyak wartawan.
"Itu semua cuma gosip. Aksa sedang fokus mempersiapkan album barunya, do'akan saja cepat selesai." Setelahnya sosok produser musik itu memasuki mobil walau masih dikerumuni oleh wartawan.
"Dasar artis aneh," gumam Wisnu.
"Aneh gimana, Mas Wis?" Lisa mengambil bungkus plastik kerupuk kulit. Membukanya kemudian menyuapkan satu ke dalam mulut.
"Dia lagi jadi sorotan media. Tapi malah mau ngeluarin single."
"Rencana single itu udah lama 'kok, Mas. Aku 'kan follow Instagram-nya."
"Tapi kalo dia nggak memanfaatkan situasi, seharusnya dia tunggu situasi mereda." Wisnu mencoba memerkuat argumen.
"Kok gue nggak diajak?"
Suara tenor menginterupsi percakapan mereka. Ketiganya kompak menoleh ke arah sumber suara. Laki-laki dengan seragam serba hitam dengan potongan rambut agak panjang di atas mengambil tempat duduk di depan Imel.
"Mas Ubay toh, tak kira siapa, Mas," sapaan Wisnu sopan. Mengingat Ubay adalah senior yang dulu sempat memberikan training padanya.
Ubay terkekeh pelan. Tangannya menyambar gelas es teh manis milik Imel.
"Ehh ... ehh ... beli sendiri!" Imel mencoba meraih gelas yang ada di tangan Ubay.
Ubay berdeham. "Pelit banget, Mak Lampir."
Tawa Imel berderai. Sebelum mengembalikan gelas yang sempat ia rebut dari tangan Ubay. "Oke ... tengkyu, Mak Lampir." Laki-laki berstatus lajang itu mengulas senyum yang dibuat-buat.
"Kak Ubay 'kok ada di sini?" tanya Lisa pada senior yang berbeda stasiun TV dengannya.
Ubay memang tidak bekerja menjadi kameramen di stasiun TV tempat mereka bekerja. Namun, tempatnya bekerja masih satu grup yang sama. Dan mereka akrab memang kerap Ubay sering datang untuk menemui Imel.
"Abis dari Grogol tadi." Ubay mencomot kerupuk kulit dari tangan Lisa. "Kalian lagi bahas apa? Serius banget." Ia sempat dengar runtutan kalimat gerutuan Wisnu sebelum ia duduk tadi.
"Itu." Imel mengarahkan jari telunjuk pada layar TV yang sempat mereka perhatikan tadi.
"Aksa?"
"Katanya dia gay, Mas." Jawaban Wisnu membuat Ubay berpaling dari layar.
"Masa?" ucapnya roman minus percaya.
"Belum jelas juga, sih. Cuma kemarin ada yang ambil gambar kalo Aksa lagi cium cowok gitu, Mas," jelas Wisnu pelan. "Kata Mbak Imel dia cuma buat setting-an biar terkenal."
"Justru karena belum jelas adanya. Kita harusnya nggak menyimpulkan sembarangan. Sampe ngehujat segala." Dari nada bicaranya, Lisa kembali tersulut emosi. Ia benar-benar tidak bisa menerima kenyataan bahwa idolanya seorang gay.
"Nah! Itu dia yang gua heran." Ubay yang tidak begitu peduli dengan ucapan Lisa mencoba mencari topik lain.
"Heran?" Beo Imel yang sedari tadi hanya diam.
"Heran aja gua, kenapa setiap cewek pegangan tangan sama cewek lain, atau cium pipi kanan pipi kiri nggak pernah ada yang protes? Giliran cowok aja dibilang homo-lah, apalah."
"Lo juga kalo mau pegang-pegangan sama cowok juga nggak ada yang larang." Imel mencipratkan air yang mengembun dari gelas es bekas Ubay ke sosok di depannya.
"Yaa ... gua sih, mau aja. Tapi, nggak ada cowok yang mau tangannya gua pegang." Wisnu jadi sasaran yang tangannya digenggam Ubay.
Wisnu bergidik. Cepat-cepat ia menarik mundur tangannya dari genggaman Ubay. "Jangan gitu toh, Mas. Aku ngeri liatnya." Dan ucapan polos Wisnu mengundang tawa bagi ketiganya.
"Ehh ... kok gua kepikiran sesuatu ya." Topik yang dimulai Ubay terdengar serius, alisnya bertaut samar seolah ingin menyatakan sebuah persetujuan berat.
"Apaan?" tanya Imel. Sedikit menaruh curiga pada lelaki yang ia kenal lebih dari sepuluh tahun itu.
"Enggak, bukan hal penting. Cuma kepikiran aja, kalo seandainya dia beneran gay. Kira-kira dia jadi si Dominan atau ...."
Belum selesai Ubay mengutarakan maksud. Imel terlebih dahulu memasukan kerupuk kulit berukuran besar ke dalam mulut kameramen berusia 30 tahun itu.
"Awas kalo lo lanjutin!" ucapnya sarat akan ancaman. Sementara tawa Ubay kembali menyeruak melihat gurat bingung di wajah Lisa juga Wisnu.
"Iya ... iya ... peace!" Ubay mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan di depan Imel.
"Kalian berdua cocok loh, kenapa enggak jadian aja?" Pujian yang dilayangkan Lisa membuat Imel dan Ubay menatapnya heran.
"Ya nggak mungkinlah, gua sama Imel!" Ubay refleks menolak. Karena sampai saat ini, belum ada secuil pun kisah romansa yang terlintas di radius kehidupan laki-laki itu dan Imel adalah perempuan yang sudah dianggap adik olehnya.
Namun, ternyata spontanitas Ubay barusan membuat Imel menundukkan kepala. Bukan karena apa, hanya saja rentetan kata yang Ubay lemparkan barusan membuatnya semakin merasa tidak diinginkan.
Ubay yang hapal betul akan sikap Imel menggenggam tangan perempuan berambut hitam tersebut. Mengelusnya pelan seraya berkata. "Jangan mikir yang enggak-enggak. Mau gimanapun gua sayang, lo."
1500 kata minus 1 doang masaan?
Tapi karena udah pegel jadi aku males ngoceh disini.
Dan berhubung udah lama nggak ngoceh, mari kita tutup chapter ini dengan kata terima kasih
Yeayy !!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro