chapter 25
Jangan terlalu bahagia saat ini, karena setiap sekon hidup manusia bisa berubah menjadi tangis.
° Reportalove °
:: AKSA'S SIDE ::
Dibesarkan dalam keluarga berada yang menjunjung tinggi moral dan nama baik keluarga adalah satu hal yang membingungkan. Senang bercampur takut. Senang karena semua hal yang diinginkan bisa terpenuhi. Takut karena kecemasan akan merusak segala hal kemudian kehilangan semuanya.
Aksa memiliki semuanya. Memberikan Aksa asupan materi yang tidak berbatas, tanpa jeda adalah yang dilakukan kedua orang tuanya sejak dulu. Imbalannya? Aksa harus patuh pada tata krama dan bejubel aturan yang diberikan.
Ia dituntut untuk tidak menuntut, tidak cengeng, tidak merengek ataupun memprotes dan selalu bersikap tenang menghadapi segala sikap orang lain. Seperti anak lainnya, Aksa pernah sesekali memberontak. Tapi lambat laun ia sadar. Jika setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya.
Walau terkadang. Ia rasa berbeda jika sudah dihadapkan oleh manusia yang biasa ia sebut 'kakak' di dalam hidupnya.
Prangg ....
Derap suara langkah Aksa dan Dhanu yang tengah membawa bola sepak terhenti saat mendengar suara gaduh dari balik pintu. Mereka menghampiri sumber suara, raut wajah cemas tercetak jelas pada air muka Aksa. Ia sepertinya tahu siapa yang menimbulkan suara itu.
"Mas Arsa?"
Aksa menghampiri sang kakak yang tengah memunguti pecahan kaca jendela ruang kelas dengan bulir keringat yang membasahi wajahnya.
"Mas nggak sengaja, Sa. Tadi Mas becanda sama temen pake sapu sampe kacanya pecah." Saka mulai menjelaskan pada sang adik perihal kejadian beberapa menit lalu.
Aksa bisa lihat, ujung jari Saka mulai memerah karena tergores serpihan kaca. Ia tahu, sang kakak selalu memiliki fisik yang lebih lemah darinya.
Aksa menoleh ke arah Dhanu yang masih terpaku memegang bola. "Nu," panggilnya.
"Ehh? Iya Sa." Dhanu memberi cengiran canggung. Kemudian ikut berjongkok memunguti pecahan kaca. Membantu Aksa juga Arsaka Devanno—kakak Aksa—membersihkan sisanya.
"Nggak usah, Nu. Biar gue aja." Aksa menghalangi Dhanu saat tangan laki-laki itu terulur pada kaca yang cukup besar. "Lo anter Mas Arsa ke-UKS aja."
Dhanu mengangguk patuh. Kemudian mengantar Saka sesuai perintah Aksa.
Aksa pikir, membersihkan semua kekacauan yang dibuat sang kakak bukanlah hal berat. Ia hanya perlu memungut pecahan kaca besar, kemudian menyapu lantai. Ternyata tidak sampai di sini saja.
Aksa menelan ludahnya kasar ketika melihat sepasang manik menatapnya tajam dengan kepala yang sesekali menggeleng pelan.
"Ternyata kamu yang sudah pecahin kaca?" Suara guru BK terdengar menggema di sudut koridor sekolah. "Sekarang, kamu ke lapangan dan berdiri di depan tiang bendera sambil hormat."
Aksa hanya diam, masih memproses perintah sang guru. Ia ingin menyela, tapi bukti sebuah bola yang ditinggalkan Dhanu melemahkan argumennya. Ia berlalu pasrah dan mengikuti titah sang guru BK.
Setelah 1 jam kehilangan pelajaran. Aksa juga kehilangan waktu istirahat makan siangnya. Alih-alih berempati, teman-temannya justru meledek Aksa dan mengambil fotonya untuk dijadikan bahan becandaan. Aksa yang berlalu kesal akhirnya mengambil ponsel salah satu temannya dan membantingnya keras.
Tidak terima akan sikap Aksa. Anak itu memukul Aksa hingga terjadi perkelahian di tengah lapangan tersebut.
"Astaga! Adhyaksa Devanno, Okky Andaru berhenti!" Teriakan sang guru BK mengentikan perkelahian keduanya. "Ke sini kalian!"
Kedua remaja itu menghampiri guru BK. Seragam putih–biru yang mereka kenakan sudah tidak memiliki warna asli. Ada bekas debu di mana-mana akibat berguling pada tanah lapangan. Rambut yang tak beraturan membuat sang guru menghela napas pelan.
"Kalian berdua ikut saya ke ruang guru!"
Sudah setengah jam mereka duduk tanpa ada pembicaraan. Tatapan murid laki-laki bernama Okky itu semakin terhunus pada Aksa saat mendengar bahwa guru yang sejak tadi mengomeli menghubungi orang tua mereka.
Okky memerhatikan Aksa kemudian duduk mendekat. "Kenapa tadi lo nggak bilang kalo bukan lo yang mecahin kaca jendela?"
Aksa hanya menggeleng.
Tidak lama kemudian Dewi Rahayu—ibu Aksa—datang bertepatan dengan orang tua dari Okky. Setelah pembicaraan dengan keputusan Aksa harus mengganti ponsel Okky dan juga kaca jendela yang rusak olehnya. Aksa ditarik pulang oleh Dewi.
Aksa masih menggaruk punggungnya saat Dewi mengomel tanpa jeda sembari masuk ke dalam rumah. Aksa tidak menjawab, ia sendiri bingung harus menceritakan apa perihal kenapa kaca jendela bisa pecah.
Merasa tidak dihargai karena Aksa tidak menjawab. Dewi tersulut emosi, emosinya semakin naik saat melihat Aksa dengan tidak sopannya menggaruk tubuh di hadapannya. Ditarik kasar pergelangan tangan Aksa hinga kembali keluar rumah. Ada kran air yang biasa digunakan untuk mencuci mobil, Dewi menyalakan keran dan menyiram Aksa dengan air hingga anak itu gelagapan.
"Dibilangin jaga sikap kalau di luar! Kamu bisa ngerti nggak?" Dewi menarik telinga Aksa hingga anak itu mengaduh. "Bersihin badan kamu sekarang, sebagai hukuman kamu nggak dapet makan malam nanti! Renungi kesalahan kamu!"
Aksa mengangguk patuh, ditatapnya wajah penuh kemarahan sang Ibu takut-takut. Kemudian belutut, "Aksa minta maaf, Mah. Tapi ...."
"Nggak perlu ada tapi-tapian, salah yaa salah!" ujarnya kemudian meninggalkan Aksa yang basah kuyup di depan rumah.
Wanita paruh baya dengan rambut tercepol juga baju sedikit lusuh menghampiri Aksa dengan selembar handuk. "Yang sabar ya, Mas. Makanya jangan bandel."
Aksa tersenyun getir. Baginya sudah biasa menghadapi kemarahan Dewi lalu Bik Imah datang sebagai pemberi semangat.
Jam sembilan malam Aksa belum bisa tidur. Perutnya berbunyi keras karena sejak siang belum diisi. Ia mengambil tas sekolah dan mencari sesuatu yang sekiranya bisa ia makan, kemudian menghela napas pelan karena hanya tersisa bungkus Beng-Beng, ia mengeruk sisa cokelat dari bungkus tersebut. Barangkali bisa meredakan rasa laparnya.
Aksa memicingkan mata ketika melihat jendela kamarnya bergerak-gerak kemudian tersenyum lebar. Ia tahu siapa yang datang.
"Lama banget!" gerutu Aksa saat kepala Dhanu menyembul di jendela.
"Nunggu Nyonya tidur dulu 'kan." Dhanu melompat masuk ke dalam kamar Aksa. Kemudian memberikan sesuatu berbungkus tisu. Isinya ada dua potong ayam goreng, dua batang wafer cokelat juga sisa cokelat batang yang ada di tas Dhanu dicampur jadi satu. Membuat rasa ayam goreng menjadi semanis cokelat. Aksa tidak peduli.
"Ayamnya enak! Bilang Bik Imah, makasih."
Hanya anggukan yang menjadi jawaban dari Dhanu. Alih-alih menjawab lebih, Dhanu justru bertanya, "kenapa nggak bilang ke Nyoya kalo Arsa yang mecahin kacanya?"
"Telat. Soalnya keburu dihukum duluan."
Dhanu tidak terkejut mendengar penuturan Aksa. Dewi—ibu Aksa sekaligus Nyonya besar bagi Dhanu—memang sangat menakutkan jika sedang marah. Dhanu masih ingat, ketika ia tidak sengaja memecahkan gelas dan Aksa yang mengakuinya, Aksa.menjadi bulan-bulanan kekesalan Dewi.
Dhanu tidak bisa berbuat apa-apa. Di samping ia hanya lebih tua dari Aksa 2 tahun yang tentu saja tidak boleh melawan orang tua. Bisa-bisa Imah—neneknya sekaligus pembantu di rumah Aksa—bisa kehilangan pekerjaan.
****
Menyenangkan bagi Aksa seminggu ini. Hanya tinggal menghitung hari, ia akan bisa membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia pantas kembali menggunakan nama 'Adhyaksa Devanno' pada namanya yang ditambah 'Arion' di belakangnya.
Pagi itu, Aksa berniat akan meminta kedua orang tuanya untuk menghadiri konser yang sudah disiapkan oleh pihak promotor sebanyak 60 persen. Ia juga berniat untuk menyatakan perasaannya pada Imel malam nanti.
Aksa berteriak guna melampiaskan kebahagiaannya.
"Kenapa sih lo? Gila ya! Ketawa sama teriak-teriak sendiri begitu." Okky yang sejak tadi berada di sebelahnya berlalu jengah. Jika sudah begini, Aksa pasti akan mengganggunya.
Jam dipergelangan tangan Aksa sudah menunjukkan pukul delapan. Tapi Imel belum juga muncul. Ia mengambil ponsel dan menghubungi perempuan tersebut, tapi tidak ada jawaban.
"Nu!" panggil Aksa ketika Dhanu hendak berjalan ke arah mobil.
Laki-laki dengan mata ukuran minimalis tersebut berbalik. Kemudian mengerutkan kening ketika Aksa menghampirinya.
"Kenapa lo?"
"Lo sama Okky naik Grab aja," titah Aksa tanpa basa-basi.
Dhanu sempat termangu sebelum akhirnya ia menghiraukan ucapan Aksa. Dhanu yang sudah rapi dengan kaos polo putih gading dan celana jeans hitam, berjalan melalui Aksa begitu saja.
"Nu!" Aksa menarik lengan Dhanu.
"Apaan sih?"
"Lo pake Grab, mobil mau gue pake dulu."
"Mau ke mana? Lo ada shooting, Nyet!" Okky akhirnya ikut dalam pembicaraan mereka.
"Sebentar doang, makanya lo berdua jangan bikin makin lama!" Aksa yang salah, tapi justru Aksa yang mengomel. Dhanu dan Okky hanya bisa berlaku pasrah melihat Aksa Delvan Arion sabahat mereka.
Aksa sudah tiga kali menekan bel apartemen Imel. Tapi perempuan itu tidak juga membukakan pintu. Aksa menoleh kala pintu sebelah flat Imel terbuka dan mendapati seorang wanita paruh baya keluar. Aksa mengulas senyum canggung.
"Cari Imel? Imelnya sudah berangkat, jam segini dia biasanya sudah di kantor."
Untuk beberapa saat Aksa terdiam, kemudian mengulas senyum seraya berpamitan. Sekarang tujuan Aksa satu. Yaitu kantor Imel.
Setelah setengah jam ia mengemudi. Alih-alih mendapati Imel terkejut dengan kehadirannya, justru malah Aksa yang terkejut. Mendapati Imel sedang bercengkrama dengan laki-laki di bawah pohon.
Ada hawa panas yang menjalar di hati Aksa. Ia cemburu, kenapa jika sedang bersama Aksa Imel tidak pernah tertawa sedemikian itu? Apa istimewanya laki-laki yang menenteng kamera? Apa semua perempuan tertarik laki-laki seperti itu?
Aksa mencoba mengenyahkan spekulasi yang muncul di dalam otaknya. Ia harus berpikir positif pada perempuan yang kata Okky dan Dhanu baik itu.
Ia mengamati gerak-gerik Imel dan laki-laki itu hingga masuk ke dalam warung nasi uduk. Dan memeluk laki-laki lain lagi. Aksa tidak terima rasanya. Ia ingin marah. Tapi pada siapa?
Merasa ia tidak punya hak, Aksa semakin emosi. Untuk pertama kalinya, Aksa merasakan terbakar api cemburu. Ia keluar dari mobil dan menghampiri Imel kemudian menggebrak meja di depan perempuan itu.
Aksa bisa lihat Imel terkejut bukan main melihat dirinya berdiri di sana.
"Ngapain lo di sini? Gue udah nungguin lo dari pagi!" Matanya berkilat marah tertuju pada Imel.
"Kamu ngapain di sini?" Imel benar-benar tidak habis pikir dengan Aksa.
Setelah perdebatan kecil akhirnya Imel ikut pada mobil Aksa. Persis seperti anak perawan yang sedang mengalami fase menstruasi pertama, Aksa sedang dalam mood yang benar-benar buruk saat ini.
Rencananya memberikan Imel surprise di pagi hari batal. Mungkin ia akan menyiapkan kejutan tersebut untuk malam nanti.
Tapi rencana tinggal rencana, kala Saka tiba-tiba muncul di lokasi shooting Aksa dan mengatakan bahwa Imel bukanlah perempuan yang cocok untuk keluarga mereka. Aksa tahu, bukan perihal Imel. Tapi perihal Dewi yang begitu keras pada kedua anaknya.
Jika Aksa ingin menjadi keluarga Devano kembali, ia harus terlebih dahulu membuktikan bahwa pilihan menjadi penyanyi tidak salah. Sebelum mengakui Imel sebagai perempuan pilihannya.
Sebelum membawa Imel sebagai perempuan pendampingnya. Ada baiknya Aksa kembali mendapatkan nama 'Adhyaksa Devanno' dulu. Dengan apa ia membuktikannya? Tentu dengan kesuksesan konsernya nanti.
****
Cemas.
Satu kata yang mewakili perasaan Aksa saat ini. Karena tadi setelah selesai shooting iklan Aksa tidak mendapati Imel ada di tempat biasanya perempuan itu menunggu.
Ia sempat menanyakan kabar pada Okky dan Dhanu. Tapi malah jawaban sekena jidat yang ia terima.
"Imel bilang mau ke kantor, abis itu pulang. Nggak enak badan katanya." Itu jawaban Okky saat Aksa menanyakan perihal keberadaan Imel.
Setiap napas yang Aksa hirup penuh sesak. Sore ini terasa begitu lama bagi Aksa ketika tidak ada Imel. Aksa merogoh kantong dan mengeluarkan kotak beludru berwarna biru, di dalamnya ada sebuah kalung bermata bintang yang memiliki warna jingga.
Because you're my Betelgeuse, gumam Aksa dalam hati.
Bagi Aksa, Imel selayaknya bintang Betelgeuse. Semakin lama semakin bersinar, membuat Aksa tertarik karena sinar yang dipancarkan. Tapi jika dilihat dari dekat, bintang itu rapuh, siap meledak menjadi sebuah supernova. Karena itu, Aksa yang selalu menganggap dirinya Orion kini berlalu bahagia. Karena bisa menemukan Betelgeuse miliknya.
Bukankah Betelgeuse adalah rumah bagi sang raksasa (Orion)?
Aksa tidak mau egois. Saat ia tahu Imel sakit, ia berniat untuk melihat keadaan Imel di apartemen. Rasa lelah ia kesampingkan untuk perempuan yang berhasil menyentuh hatinya tersebut.
Tapi Aksa harus menelan kekecewaan. Ketika apartemen tersebut kosong. Ia mengusap wajahnya kasar. Mencoba menghubungi Imel untuk kesekian kalinya.
Usahanya sedikit berhasil ketika panggilan akhirnya di jawab oleh Imel.
"Lo di mana sih? Kenapa tadi balik nggak pamit sama gue? Trus dari tadi gue telfon nggak diangkat, molor ya!" Cerocosnya tanpa jeda guna menghilangkan nada panik dalam suaranya.
Tidak ada jawaban dari Imel, hanya suara deheman seorang laki-laki yang menjadi jawaban untuk Aksa. Aksa sempat menanyakan siapa dia? Tapi responnya sungguh menjengkelkan.
Setelah sambungan terputus Aksa memutuskan untuk menunggu Imel sampai kembali ke apartemen. Ia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Aksa hanya ingin bertemu Imel malam ini, Aksa ingin menyampaikan perasaannya pada Imel, Aksa ingin memberikan hadiah yang sudah ia persiapkan sejak kemarin untuk Imel. Entah Aksa seperti punya firasat jika mulai besok akan sulit bertemu dengan Imel.
Menunggu setengah jam lamanya terasa seperti setahun bagi Aksa. Ia meregangkan diri menghilangkan pegal karena terlalu lama duduk. Ia mengembangkan senyum ketika melihat Imel berjalan di areal parkir apartemennya. Namun langkah Aksa terhenti saat melihat Imel tidak sendirian.
Aksa melihat sosok laki-laki yang pagi hari ia lihat bersama Imel. Dari balik pilar Aksa memerhatikan interaksi Imel dengan laki-laki tersebut. Aksa mengepalkan tangan ketika laki-laki itu memeluk tubuh kecil Imel.
"Udah ... masa cantik-cantik nangis. Nggak usah dibuat susah berita soal cowok homo itu. Ambil positifnya, kalo lo bisa, bakal naik jabatan 'kan?"
Bisa Aksa lihat, Imel tertawa ringan kemudian memukul pelan bahu laki-laki tersebut seraya berkata, "Aksa! Dia punya nama."
Aksa berharap lantai yang ia pijak saat ini bisa menelannya sekarang juga. Ia terhenyak dengan kenyataan yang ia terima saat ini.
Begitulah Aksa yang ada di benak Imel. Begitulah Aksa di hadapan Imel selama ini. Ia masih saja bersembunyi sampai Imel masuk ke dalam apartemennya dan laki-laki itu pulang.
Aksa menjatuhkan lututnya ke tanah. Tetesan air mata menerobos keluar dari pelupuk matanya, deras. Tapi tak bersuara.
Ia tertawa sumbang. Kemudian memukul keras dadanya berusaha mengalihkan rasa sesak di hati.
Kebahagiaan singkat yang Imel berikan membuat Aksa lupa. Jika ia bukanlah siapa-siapa di hidup Imel.
Aksa menggeleng keras. Ia harus ingat syarat menjadi seorang 'Adhyaksa Devanno' adalah dilarang 'menuntut'. Ia bangkit dari acara berlututnya dan berjalan menghampiri mobil.
Tatapan matanya kosong. Tanpa sadar ia tertawa kecil, penuh ironi. Sejak pagi seharusnya Aksa jangan terlalu merasa bahagia. Jika akhirnya akan seperti ini.
Aksa segera sadar. Ia mengubah ekspresinya menjadi tenang dan biasa kembali seperti Aksa Delvan Arion.
Kalo yang bingung, bagian pertama flashback masa kecil Aksa. Bagian kedua flashback chapter 20-21 tapi dari sisi Aksa.
Maaf kan aku yang masih kesusahan buat deskripsinya_-
Kimnurand_
[ Di publikasi : 29 Agustus 2019 ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro