Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 24

Mencoba menghabisimu dalam hatiku adalah hal sia-sia. Karena nyatanya, justu kau yang menghabisi stok rinduku menjadi tak bersisa.

° Reportalove °

Memang tidak akan ada yang baik-baik saja jika sudah dihadapkan dengan namanya perpisahan. Bukan hanya perihal Aksa—yang genap sepuluh hari tidak muncul lagi di kehidupan Imel—tapi juga rutinitasnya ketika ia berkeliling mencari satu buah berita. Imel pernah mengatakan bahwa pekerjaan menjadi seorang wartawan adalah yang terbaik. Bisa hidup bebas, pergi ke tempat baru, menakjubkan. Tapi semua hilang mana kala ia harus bergerumul dengan ejaan dan tata bahasa karena menjadi seorang redaktur.

Imel benar‐benar meninggalkan kehidupan cita-citanya sedari kecil. Demi sebuah ambisi mengalahkan seorang yang terkenal egois, ia rela melepas mimpinya menjadi seorang reporter terkenal. Bagaimana hasilnya? Imel sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Sepuluh hari, Imel tidak lagi mendengar kabar perihal Aksa. Ia memang bukan tipikal perempuan penyuka berita gosip—walaupun ia bekerja di tempat itu—dan kabar tentang Aksa memang satu hal yang paling ia hindari untuk saat ini.

"Orion adalah bintang pemburu. Dengan album baru nanti, aku mencoba memburu cinta semua penggemar musik di lagu aku." Aksa tersenyum seperti sudah biasa menanggapi pertanyaan yang diberikan Imel padanya.

Imel memukul pelan kepalanya. Mencoba mengambil alih pikiran yang memutar kembali ucapan Aksa. Kenapa justru di saat sekarang ia harus teringat akan Aksa?

Cinta apa? Cinta sesama jenis maksudnya, Imel membatin keras.

"Ini udah ketiga kalinya ya, lo tuduh gue maling. Gue maling beneran jangan marah!"  Aksa menunjuk Imel sarat akan tersinggung.

"Maling hati lo."

Apaan ... receh banget. Dasar artis pencitraan. Imel masih saja mengomel sendirian.

"Jangan nangis, itu buat gue sakit."

Imel memejamkan matanya erat-erat. Mencoba menghalau semua bayang Aksa di mata juga hatinya. Sepuluh hari yang sangat berat bagi Imel mana kala ia harus berusaha melawan hatinya sendiri untuk segera melupakan Aksa.

"Saya udah lama nggak lari," jawab Imel sekenanya, "lagian kamu ngapain ngikutin saya?"

Aksa menghela napas. "Gue kira lo mau main ala-ala film bollywood, makanya gue ikutan."

Imel menyerah. Ia tidak bisa mengendalikan pikirannya sendiri yang terus saja memutar tiap kejadian antara ia dengan laki-laki beridentitas Aksa Delvan Arion.

"Mungkin karena matahari kali ya, kamu kelihatan lebih ganteng. Harusnya nama kamu jangan Arion, tapi Surya."

Aksa tergelak mendengar pujian Imel untuknya. "Lagi ngegodain gue nih ceritanya?"

"Kenapa? Jelek ya?"

"Cheesy banget!" Senyum Aksa mengembang sempurna. "Dasar Betelgeuse!"

"Ish! Kamu masih ngatain saya sekarat? Padahal saya bilang kamu matahari loh."

Aksa menjawil hidung Imel. "Gue itu bukan matahari, gue nggak pernah sehebat itu. Gue cukup jadi Orion aja. Dan lo! Tetap jadi Betelgeuse gue."

Imel tersenyum penuh ironi ketika putaran masa lalu itu membawanya mengingat julukan 'Bintang Sekarat' untuk dirinya.

"Saya peringatkan kamu. Jangan pernah bersikap manis jika semua itu tidak tulus. Karena ada beberapa orang yang bisa salah mengartikan itu semua. Seperti saya yang sudah merasa tolol karena mencintai seorang laki-laki yang ternyata gay!" Nada bicara Imel naik beberapa oktaf saat menekankan kalimat tersebut.

"Saya nggak mau lebih bodoh lagi karena masih berurusan dengan kamu. Jadi lebih baik kamu hilang dari hidup saya!"

Iris mata Aksa menatap Imel dengan pias. Sudut matanya sedikit memerah jika diperhatikan. "Kalo begitu, maaf karena udah buat lo cinta sama gue, gue nggak sengaja. Mulai besok gue nggak akan bikin lo susah lagi. Gue janji."

Imel kembali pada satu momen paling menyakitkan di hidupnya. Kalimat terakhir Aksa benar-benar terealisasikan dengan baik––setidaknya untuk sepuluh hari ini––mereka tidak lagi saling mengenal seperti sebelumnya.

Imel mengusap wajahnya kasar kemudian menyeka sesuatu yang basah pada ujung matanya. Mau tidak mau, ia harus mengakui bahwa Aksa sudah masuk terlalu jauh ke dalam hatinya. Imel kembali pada layar LCD yang sudah memampangkan satu buah artikel yang harus ia kerjakan. Belum sempat ia memulai, ia mendapati dua orang berlalu melewati pintu ruangannya.

Imel terpaku sejenak. Kemudian mencoba bangkit untuk memastikan jika ia tidak salah lihat.

"Dhanu? Okky?"

"Ehh ... udah lama nggak ketemu, Mbak? Gimana kabarnya?" sapa Dhanu hangat terlihat bahagia. Sementara Okky hanya diam tak menjawab panggilan tersebut.

Imel ragu, tapi ia tetap mendekatkan diri pada Dhanu dan Okky. Dua orang laki-laki yang paling dekat dengan alasannya tersakiti kemarin. Sorot matanya meredup tidak bisa berbohong, menatap kedua laki-laki itu semakin memperparah rasa sakit di hatinya. Perihal kecewa yang terakumulasi dengan rasa bersalah.

"Saya baik." Imel memaksakan senyum, walau tak bisa dipungkiri suaranya sedikit bergetar. "Kalian ada perlu apa ke sini?"

Dhanu menulas senyum maklum. Berlaku ramah adalah hal yang biasa pria itu lakukan di depan media. "Mau minta hasil video beberapa waktu lalu, Mbak. Lumayan, buat kenang-kenangan."

"Ohh ya ... saya juga belum lihat hasil rough cut-nya. Kata Henry kapan bisa tayang?" katanya mencoba bersikap wajar di depan Dhanu.

Okky masih mendengarkan dengan baik semua percakapan Dhanu dan Imel tanpa berniat ikut campur.

Ternyata bukan Aksa aja yang pinter akting. Lo juga. Okky membatin, tatapan matanya kosong mengarah pada pintu lift yang masih tertutup.

Okky merespon pertanyaan Imel dengan tertawa, garing. Alih-alih menjawab, laki-laki itu justru berkata, "ayo, Nu! Kita masih banyak urusan lain."

Dhanu merespon pelan ajakan Okky sebelum kembali mengembangkan senyum pada Imel. Meski sulit, ia harus lakukan sebisa mungkin agar terlihat biasa walau tak bisa dipungkiri keadaannya sangat jauh dari kata baik-baik saja.

"Kita pamit dulu, Mbak Imel."

Dhanu dan Okky sudah berbalik arah dan menekan angka satu pada sisi tengah lift. Mereka kembali menoleh ketika suara Imel memanggil. 

"Tunggu!" pinta Imel pelan, terdengar seperti memohon. Nadanya berubah serak sedikit tercekat. "Kenapa Aksa nggak nuntut saya atas dugaan pencemaran nama baik?"

Dhanu dan Okky saling tatap. Pintu lift yang tadi sempat terbuka kini tertutup kembali. Dhanu bisa melihat pancaran kesedihan yang tak bisa ia baca artinya dari iris Imel.

Melihat Imel yang dilingkupi rasa bersalah membuat Dhanu berlalu iba. Kini Dhanu tahu apa alasan dibalik keputusan Aksa. Sesuatu yang ia lupakan dari seorang Aksa Delvan Arion, laki-laki yang setiap langkahnya selalu mengalah agar hidup orang di sekitar baik-baik saja.

"Mbak Imel nggak perlu khawatir. Setiap keputusan yang dibuat Aksa sudah dia perhitungkan matang-matang." Dhanu menyentuh bahu Imel pelan.

"Tapi kalau memang berita yang saya tulis tidak benar, dia bisa menuntut 'kan? Apa itu berarti berita itu benar adanya?" Imel menaikkan suaranya, terdengar jelas getaran dari setiap kalimat yang ia keluarkan. Frustasi terlihat jelas saat Okky dan Dhanu menatap manik mata perempuan itu.

Aksa tidak melakukan pembelaan. Aksa tidak bersikap marah. Itulah yang membuat lubang hitam di dada Imel semakin jelas terasa.

Okky kembali menekan tombol angka satu pada tembok yang berada di tengah kedua pintu lift. Dentingan berbunyi sebelum pintu melebar sempurna.

Dhanu dan Okky masuk tanpa ada niatan menjawab pertanyaan Imel yang barangkali hanya ingin memperkuat argumen.

Okky mengusap wajahnya kasar. Kemudian berkata, "Kita tahu berita itu lo tulis tanpa ada persetujuan dari atasan lo," ujar Okky saat Imel berusaha menahan pintu agar tidak menutup. "Kalo kita mau nuntut, kita bisa tuntut lo selaku orang yang udah nulis artikel tersebut."

Imel tertunduk. Manik matanya mengembun saat Okky mulai bersuara.

"Menurut Mbak Imel. Aksa diam untuk melindungi siapa?" ujar Dhanu seraya menekan tombol tutup pada lift.

Luka yang timbul di hati Imel belakangan ini semakin melebar. Ia meremas kemeja hitam bagian dadanya erat. Menahan rasa sesak yang semakin mengimpit.

****

Aksa keluar dari Sona Musik Indonesia,
Konser tunggal dan album baru yang bertajuk 'bintang' dibatalkan pihak promotor.

Dianggap memberikan pengaruh buruk untuk lingkungan. Aksa diminta para warga untuk segera keluar dari rumah.

Imel ingin berteriak rasanya. Buliran air mata seolah berebut ingin keluar lebih dulu dari kedua mata yang msih setia menatap layar komputer kubikel milik Surya.

Tadi—saat Imel kembali dari menyapa Dhanu dan Okky—ia berniat menghampiri Lisa untuk meminta jadwal kembali artikel yang sempat corrupt dan malah mendapati beberapa artikel yang sedang disiapkan Surya untuk Redaktur pelaksana.

Tidak tanggung-tanggung, Imel terduduk lemas dengan napas yang sudah tersenggal lalu menjatuhkan kepala pada meja yang ditinggalkan pemiliknya ke toilet.

Lisa yang mendengar teriakan Imel berlalu panik, kemudian menghampiri perempuan itu lalu memeluknya.

Ruangan yang sedari tadi sepi seperti tak berpenghuni menjadi riuh seketika. Henry yang mendengar derai tangis Imel dari balik pintu ruangannya pun berlalu panik menghampiri kerumunan di kubikel Surya. Sementara sang pemilik tempat sendiri hanya berjongkok di sebelah Fandy juga Anggy yang tengah menenangkan Imel.

"Imel ... udah ya, semua yang udah terjadi nggak perlu lo sesali, toh Aksa juga nggak nuntut macem-macem kok." Anggy menggantikan posisi Lisa memeluk Imel. "Dia nggak akan nuntut lo, karena dia percaya lo itu sebenarnya baik."

Sesak yang ia rasakan kian bertambah ketika mendengar ucapan Anggy tentang seorang laki-laki bernama Aksa Delvan Arion. Tangannya meremas keras kemeja Anggy, mencoba mengatur pernapasan yang semakin sulit ia lakukan.

"Mel ... udah ya, Aksa pasti baik-baik aja kok." Fandy mencoba menghibur Imel. Mengatakan semua hal yang terlintas di kepalanya agar Imel berhenti menyalahkan dirinya.

"Henry ...," panggilnya lirih.

Henry mendekat saat merasa Imel membutuhkannya. Sekarang Imel bukan butuh dia sebagai atasan, tapi sebagai 'kakak'.

"Udah, Mel ... udah," ujar Henry sarat akan membujuk. Tangannya bergerak mengelus puncak kepala Imel.

"Tadi, Dhanu sama Okky ngapain dateng ke sini?" tanya Imel menatapnya dengan wajah yang masih basah dengan air mata. "Mau ngomongin soal Aksa?"

"Nggak kok," jawab Henry. "Mereka cuma minta hasil video yang lo ambil waktu itu. Sekalian tanya kabar lo gimana?"

Imel mengalihkan tatapan ke arah lain. Jawaban Henry sungguh membuat hatinya kembali bergejolak yang entah kenapa ia sendiripun sulit mengartikan.

Perempuan itu mengulas senyum kemudian bangkit dari duduk dan mengusap wajahnya kasar. Anggy yang masih setia memegangi Imel—berjaga jika nanti jatuh—menggenggam tangan Imel erat bersisian dengan Fandy.

"Mel ... diantar pulang sama Fandy aja ya?" Henry mencubit pelan pipi Imel untuk mengembalikan suasana hati perempuan yang sudah ia anggap sebagai adik itu. "Anggap semuanya cuma satu kesalahan yang bisa kita hapus gitu aja. Jangan terlalu dipikirin, ya?"

Imel tidak menjawab.

"Ada satu hal yang mau gue sampein ke lo besok, soal Aksa. Tapi, lo harus pulang dulu sekarang, besok harus segar kaya Imel gue." Henry tidak menyerah membujuk Imel.

Perempuan itu mengangguk pelan kemudian tersenyum simpul. Membuat beberapa rekan yang melihatnya menangis ikut tersenyum.

Beberapa saat kemudian Imel sudah berada di lobby depan kantornya, menunggu Fandy yang tengah mengambil mobil untuk mengantar.

Suara klakson mengalihkan atensi Imel dari halte bus yang ada di seberang jalan. Hampir saja ia mengingat kembali di mana Aksa dan dirinya berteduh di halte sesaat setelah bertemu dengan Nara.

"Mel?"

Fandy keluar dari mobil ketika Imel tidak kunjung masuk. Laki-laki itu membukakan pintu untuk Imel dan memintanya untuk segera masuk.

"Masih kepikiran Aksa?" tanya Fandy ketika mobilnya sudah melaju keluar menjauhi gedung.

Imel memilih diam.

"Hebat ya dia, bisa bikin lo sekacau ini." Fandy terkekeh. "Padahal dari dua tahun lalu gue minta perhatian lo nggak pernah direspon."

Imel speechless. Tidak tahu harus merespon bagaimana ucapan Fandy.

"Lupain dia, Mel. Kaya yang lo bilang. Dia itu bintang, jauh, susah digapainya."

Imel menatap lurus ke depan. "Dia bukan bintang, Ndy. Sama sekali bukan."

Imel sekarang mengerti. Kenapa Aksa tidak mau menjadi matahari. Ia hanya ingin menjadi Orion, karena dia hanya seorang Aksa. Dan, mungkin benar kata Aksa. Imel hanyalah 'Bintang Sekarat'.



ku nggak taulah mau ngomong apa lagi, pokoknya terima kasih sudah mampir ke lapak ini, tetap dukung biar semangat yaa  (muehehehehe....)

Kimnurand_

[ Di publikasi : 28 Agustus 2019 ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro