Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 23

Ada sepotong sesal dalam diri, karena bersalah mencintai. Ada sebuah perih yang menggerogoti diri, karena ternyata berhasil menyakiti.

° Repotalove °

'Cinta buat saya simple. Asalkan kita nyaman, tidak perlu memandang atau mendengar apa kata orang. Cinta seharusnya memang nggak melihat perbedaan bukan?' Pengakuan Aksa Delvan Arion sudah membuktikan bahwasanya ia memang memiliki orientasi yang berbeda.

Baru hitungan sekon berita itu diposting. Responnya sudah sangat menggemparkan jagat entertaiment. Bagaimana tidak? Laki-laki yang terkenal bersuara emas penyuka binatang dan juga bintang itu mengakui bahwasannya ia adalah seorang gay.

Bukan hanya comment mempertanyakan kebenaran rumor. Tapi juga menyayangkan jika Aksa panutan banyak remaja ternyata hanya seorang dengan perilaku menyimpang. Bahkan video dan foto Aksa yang sudah tersebar di seluruh lapisan sosial media, sudah menjadi ejekkan atau lebih tepatnya Meme para haters.

Kemarin—saat Rinto mengetahui tentang artikel yang ditulis Imel—Ia langsung meminta Fandy untuk memberikan artikel itu padanya kemudian ia sendiri yang mengedit tulisan tersebut.

Hasilnya?

Pagi ini, satu Indonesia digemparkan oleh berita yang membuat sarapan pagi tidak lagi nikmat. Sepertinya hal yang disajikan oleh media lebih sedap untuk dinikmati.

Rinto tersenyum puas. Tangan besarnya tergenggam tepat di depan mulut. Mana kala melihat hasil yang dikirimkan oleh NMR pagi ini. Ia berhasil membawa nama indotainment mereka menjadi nomer satu, setidaknya saat Henry mengajukkan cuti. Rencana yang bagus bukan?

"Permisi, Pak," panggil Anggy dengan suara getir dan sorot mata takut. "Ada telepon dari pihak Sona Music Indonesia."

Rinto menyunggingkan senyum yang terlihat licik di mata Anggy. Kemudian merubah posisi duduknya yang tegap menatap layar komputer, menjadi bersandar.

"Kok ke saya? Paling mereka mau konfirmasi tentang penyanyi mereka 'kan?" tanya Rinto dengan santai. "Suruh tanya aja ke Imel."

Anggy speechless. Senyum getir tercetak di bibirnya begitu mendengar ucapan bernada menyalahkan dari atasannya. "Imel itu bawahan Bapak! Kalo Bapak lupa. Dan, sudah sewajarnya Bapak yang tanggung jawab soal ini."

"Tanggung jawab soal apa?"

"Bapak yang suruh Imel nulis artikel tentang Aksa 'kan?" tandas Anggy kemudian. Ia terpancing oleh sikap Rinto yang seenaknya. "Memang kalo bukan Bapak siapa lagi yang harus tanggung jawab?" Anggy mencoba menuntut pertanggung jawaban Rinto.

"Kamu coba ambil TOR yang sudah disetujui para Redaktur juga Pimred ke sini."

Anggy menggeleng. Matanya mulai memanas saat Rinto membahas Outline kerja yang harusnya dikerjakan Imel. Jelas sekali di sana tidak tertulis peringah apapun tentang hal ini.

Rinto bangkit dari duduknya dan mengambil langkah besar-besar meninggalkan ruangan yang kini hanya berisikan Anggy.

Anggy menyusul sang atasan. Saat ia hendak keluar, matanya bertemu dengan Fandy yang berwajah kusut sama dengannya disusul Surya yang berjalan di belakang Fandy.

"Kalian."

"Mau ke mana, Gy?"

Anggy diam. Matanya menyorot pada sosok yang duduk seperti berbincang dengan laki-laki yang sejak tadi bicara dengannya.

****

"Saya sudah lakuin yang Bapak suruh 'kan?"

Dengusan rendah meluncur begitu saja seakan hal yang dibicarakan adalah hal sepele. Tangannya masih terlipat di depan perut menambah kesan angkuh.

"Hm." Rinto mengangguk pelan. Imel tersenyum sinis, membalas sikap Rinto. Rinto otomatis terkekeh pelan melihat kelakuan Reporter satu itu. Hanya Imel yang berani bersikap seperti itu padanya.

"Oke, kerjaan kamu juga bagus. Saya akan rekomendasi kamu untuk jadi Redaktur. Kebetulan ada yang sudah bosan sama posisinya."

Imel terdiam cukup lama. Sebelum akhirnya Anggy menginterupsi percakapan mereka.

"Iya, Bapak benar. Tapi ingat, Pak. Atasan saya bukan cuma Bapak. Seenggaknya saya masih punya hak bersuara sampai Pak Henry datang," ucapnya sarat akan kekesalan. Ia tahu siapa yang dimaksudkan Rinto barusan.

Rinto menjentikkan jari. Tersenyum cerah. "Kamu benar! Dan buat Imel, bersiap ya!"

Senyum Rinto tak membuahkan hasil yang sama pada Imel maupun Anggy. Mereka berdua malah saling tatap dengan tajam bak dua ekor elang yang saling berebut kekuasaan setelah perginya Rinto dari hadapan mereka.

"Gue bukan keberatan lo bakal ambil posisi gue. Tapi cara lo yang bahaya itu gue bener-bener nggak suka," kata Anggy. "Gue tau lo kaya gimana, Mel."

Imel diam, masih memproses ucapan Anggy. Ia sama sekali tidak ingin merebut posisi Anggy. Tapi, kenapa sekarang terkesan ia menginginkan posisi itu?

"Gy, gue nggak bermaksud untuk rebut posisi lo." Pelan hampir tak terdengar Anggy. "Gue cuma ngelakuin hal yang menurut gue bener, itu aja."

"Bener lo bilang?" tukas Anggy penuh penekanan. "Bener dari mananya? Lo udah bikin karirnya Aksa hancur Imel! Lo udah bikin mata pencarian dia hilang gitu aja."

"Nggak mungkinlah!" elaknya.

"Nggak mungkin gimana coba?" Anggy mendekati Imel yang mulai memutus kontak di antara mereka. Anggy menahan lengan Imel pelan sebelum perempuan itu berbalik.

"Dia itu artis terkenal. Paling sebulan dua bulan juga beritanya reda. Orang-orang bakal lupa sama gosip itu." Imel melipat tangannya dan berdiri bersandar pada sekat kubikel miliknya.

"Lupa jidat lo!"

Baik Imel maupun Anggy mengalihkan pandangannya pada sumber suara. "Harga dirinya sebagai laki-laki pasti ancur banget karena rumor tersebut." Fandy spontan menyuarakan pendapat. "Satu Indonesia ngatain dia gay, men!"

"Gue juga nggak ngebayangin. Gimana reaksi orang tuanya saat tau kalo anaknya dibilang gay sama masyarakat. Apalagi Nyokapnya, pasti syok banget 'kan?" Surya yang datang bersama Fandy ikut menambahkan.

"Ehh ... tapi yang gue denger dari Lisa. Menurut Lisa Aksa itu normal loh," cetus Fandy kala mengingat ucapan Lisa sore saat ia pulang dari tempat Aksa.

"Lisa 'kan memang fansnya Aksa," elak Surya. "Pastilah dibelain banget."

"Bukan ... masalahnya, kata Lisa, Aksa bereaksi marah saat Lisa pegang pahanya. Kalo kata Lisa sifat Aksa itu nunjukkin kalo dia selama ini jarang skinship sama cewek. Kaya cowok-cowok model kalem gitulah."

Anggy memerhatikan wajah pias Imel. Diam-diam ada rasa bersalah yang menggerogoti hati Imel saat Surya mengingatkan perihal orang tua padanya. Imel teringat isak tangis Aksa. Imel teringat cerita Aksa. Ada sakit yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya. Kenapa ia tidak bisa melepas bayang saat Aksa menangis? Imel ingin menangis saja rasanya.

Anggy mengusap punggung Imel selayaknya seorang sahabat seperti biasanya. Pelan tapi sarat akan kelembutan. "Gue harap setelah ini, nggak akan ada penyesalan yang lo rasain ya, Mel," tukasnya dengan suara lembut. "Gue harap setelah ini kalian memang benar-benar nggak akan ada urusan apapun lagi."

"Gue ke bawah dulu, ya."

Imel berusaha menampilkan senyum terbaik. Ia tidak tahu harus menghilangkan rasa bersalah ini dengan apa dan bagaimana. Yang ia tahu, rasanya begitu sesak. Semakin lama semakin menghimpit dadanya sehingga sulit bernapas bebas.

****

Imel berharap suara bising kendaraan bisa sedikit meredam hujatan rasa bersalah yang sejak tadi mendengung di telinganya. Matanya kosong memandangi ruas jalan yang sedikit lengang pada siang hari.

"Jangan sendirian, nanti kesambet."

Imel menoleh dan mendapati Ubay juga Nara berjalan mendekatinya. Seperti biasa, Nara tersenyum cerah seperti sunrise. Tapi entah sejak kapan cerah senyum Nara tidak lagi menghangatkan hati Imel.

"Ngapain di sini, Mel?" tanya Ubay. Karena tidak biasanya Imel bersantai di deretan PKL yang biasa disebut kantin kantor tersebut.

"Nggak papa, Bay."

Imel tidak tahu harus mulai bercerita dari mana. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan kekecewaan dirinya sendiri. Sementara sebagian hatinya masih saja belum sembuh dari luka kecewa yang Aksa berikan.

"Sekarang lo puas?" Nara akhirnya bersuara. "Imel, the great reporter, bisa mengungkap sisi kelam seorang Aksa Delvan Arion."

"Apa maksud lo, Nar?" Suaranya sarat akan nada tersinggung akan ucapan Nara.

Selama ini memang Imel dan Nara terkenal tidak pernah akur. Mereka selalu beda pendapat. Tapi kali ini Nara tidak tahu apapun tentang Imel, jadi sudah seharusnya ia tidak sembarangan mengambil kesimpulan.

"Lo deketin Aksa cuma buat dapet kesempatan untuk ngorek pribadinya dia 'kan?" Alih-alih menjawab. Nara justru bertanya balik. "Dan sekarang lo dapet apa yang lo mau. Puas nggak hati lo?"

Terdengar helaan napas di antara Imel dan Nara kemudian ia berdiri sebelum Imel membalas dan berakhir dengan pertengkaran oleh keduanya. "Nar ... jangan mulai."

"Apa?" Suara Nara kembali memprotes. "Gue cuma nanya, puas nggak dia ngerusak nama orang cuma buat berita yang dijadiin hiburan?"

"Lo nggak usah sok tau! Jangan anggap diri lo bener terus!"

"Gue nggak pernah bilang kalo gue bener! Justru lo yang harusnya nanya ke diri lo sendiri, bener nggak tindakan lo!"

"Jelas gue bener! Gue kerja pake aturan, pake semua syarat yang harus gue pake. Itukan syaratnya jadi seorang Jurnalis?"

"Jangan cuma karena lo udah kerja sesuai Term Of Reference, trus lo anggap lo udah bener. Inget nggak ada seorang wartawan yang mengedepankan ego."

"Nar!"

Perdebatan itu diakhiri oleh bentakkan Ubay. Imel yang tadi berdiri berhadapan dengan Nara kembali duduk.

"Gue minta maaf. Kelepasan tadi." Nara mendekati Imel dan mengulurkan tangan.

Imel yang berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit akibat perkataan Nara. Merusak nama baik seseorang bukanlah tujuan hidupnya. Tapi kenapa justru ego mengalahkan logika dan prinsip yang selama ini ia banggakan? Sekarang apalagi yang harus ia banggakan dalam hidupnya.

"Gue juga minta maaf, gu ...."

Perkataan Imel terputus manakala iris matanya menangkap sosok yang sejak kemarin ia hindari mendekatinya. Ia menguatkan hati untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Yang ia harus lakukan adalah berusaha untuk tidak terlihat lemah di hadapan laki-laki itu.

"Gue telpon lu dari kemarin susah banget. Lagi sibuk kayanya."

"Kontrak kerja kita 'kan sudah habis. Jadi kamu mau apa lagi?" Imel menjawab setenang mungkin.

Bisa ia lihat laki-laki itu mencoba menahan laki-laki di sebelahnya agar tidak maju mendekati Imel dengan tangan yang mengepal.

"Ohh ... gitu. Jadi bener lo yang nulis berita tadi pagi." Senyum yang sejak saat dua hari lalu Imel benci karena sulit dilupakan itu mengembang di wajahnya.

"Iya! Simbiosis mutualisme 'kan? Saya dapat berita, kamu dapat inspirasi lagu. Itu yang dibilang manager kamu sama saya." Imel berucap sarkas. "Dan yang saya tulis memang kebenaran yang kamu akui ke saya 'kan? Seharusnya saya nggak salah dong."

Laki-laki itu masih menatap Imel. Tidak ada raut kemarahan sama sekali darinya. Imel justru menangkap tatapan, kecewa?

"Apa setelah ini kita nggak bisa jadi teman kaya kemarin?" Alih-alih marah laki-laki itu justru mengucapkan hal yang tidak Imel duga.

Imel tidak tahu harus merespon apa. Ia sama sekali tidak menyangka dengan sikap yang diberikan Aksa padanya. Membuat Aksa tersenyum tipis karena mengasumsikan sendiri jawabannya.

"Gitu ya, yaudah nggak papa. Semoga sukses ya." Aksa kembali mengulas senyum. Namun, terlihat jauh lebih menyakitkan dari pada Imel mendengar perkataan Aksa kemarin. Jika saja Aksa marah saat ini, mungkin Imel lebih bisa menerima rasa sakitnya. Tapi kesakitan itu kian pekat tergambar di hatinya saat melihat senyum terkembang di bibir Aksa.

"Apa sih lo, Sa!"

Bentakan keras dari Okky menyentak Imel juga beberapa pengujung PKL tersebut. Ia maju dua langkah mendekati Imel yang kini menggenggam erat tangan Ubay.

"Kenapa sih lo ngelakuin itu? Butuh duit? Ngomong!"

Okky sedikit terdorong saat Nara menepuk pundaknya dari depan. "Lo nggak usah kasar sama cewek!"

"Dia yang mulai duluan." Suara Okky berubah datar, tapi tak menghilangkan nada penekanan yang ia gunakan untuk bertanya pada Imel.

"Ky ... udah kita balik aja." Aksa mencoba membujuk Okky. Ia menarik lengan asistennya itu menjauh dari Imel dengan sikap yang sangat tenang seperti tak pernah ada apa-apa.

"Sa!" Entaknya melepaskan pegangan Aksa. Ia menatap Aksa dengan pandangan pilu, rasa lelah yang ia rasakan sudah terlalu besar. Otaknya berlalu buntu memikirkan bagaimana Aksa bisa keluar dari masalah kali ini.

"Gue percaya, apa yang ditulis Imel pasti udah dia pikirin mateng-mateng. Kalo emang dia tulis gue seorang gay. Berarti kenyataannya memang kaya gitu." Aksa menelan salivanya keras. Suaranya bergetar saat berbicara dengan Okky. "Gue percaya sama lo, waktu lo bilang dia wartawan handal. Dan itu masih berlaku sampe sekarang."

"Tapi, Sa ...."

"Semuanya udah kejadian, Ky. Kita tunggu aja sampe semuanya reda." Aksa sudah berusaha, tapi sesak di dadanya semakin terasa setiap ia mengucapkan kalimat di depan Imel.

"Gue cuma mau tahu kenapa dia lakuin itu! Selama ini kita selalu bersikap baik sama dia!" tukas Okky mengalihkan pandangannya kembali pada Imel.

"Baik? Jadi sikap baik kamu cuma topeng agar saya nggak nulis macam-macam?"

Imel bersuara. Emosinya terpancing saat Okky mengatakan kalimat terakhirnya.

"Saya peringatkan sama kamu. Jangan pernah bersikap manis jika itu semua nggak tulus. Karena ada beberapa orang yang bisa salah mengartikan itu semua. Sama kaya saya, saya yang sudah merasa tolol karena mencintai seorang laki-laki yang ternyata gay!"

Matanya terasa hangat. Kala cairan bening merambat menutupi kelopak matanya. Ia berusaha keras agar cairan bening itu tidak meluruh ke pipinya.

Okky diam. Aksa juga tidak bisa menjawab apa-apa. Terlebih lagi Ubay dan Nara yang sejak tadi menjadi penonton.

Imel menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya lolos dari kelopak matanya.

"Saya sudah cukup bodoh. Saya nggak mau lebih bodoh lagi jika saya masih berurusan dengan kamu sekarang. Jadi lebih baik kamu hilang dari hidup saya."

"Lo bilang lo cinta sama gue?" Aksa menatap Imel tak percaya. Kesakitannya hilang begitu saja ketika Imel mengatakan bahwa ia mencintai Aksa.

"Iya ... tapi setelah saya sadar kalo itu cuma satu kesalahan. Saya berubah pikiran. Ternyata kamu bukan laki-laki yang pantas untuk dicintai."

Imel menggenggam erat tangan Ubay. Seolah meminta kekuatan dari laki-laki di sebelahnya agar kuat berbicara dengan Aksa.

"Ohh ... cuma kesalahan ya." Aksa berujar putus asa. Kepalanya menggeleng pelan dengan senyum tipis yang masih setia mengembang. "Kalo begitu, maaf karena udah buat lo cinta sama gue. Gue nggak sengaja. Mulai besok, gue nggak akan bikin lo susah lagi. Gue janji."

Aksa berbalik. Kemudian pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengajak Okky.

Ada rasa sesak yang semakin mengimpit hati perempuan itu kala menatap punggung Aksa menjauh. Kali ini bukan hanya sesak, tapi juga rasa sakit ketika tanpa sengaja ia melihat Aksa menoleh dan melambaikan tangan padanya.


Aku nggak tau yaa kenapa bab ini panjang banget ..
Sampe cape ngetiknya ...

Kali kalian berkenan kasih vote sama comment awkwkwk

Terima kasih buat kalian yang masih setia dukung cerita aku ... Terharu aku tuh.

And selamat buat kak HalamanBaru yang ceritanya udah kelar 🥳🥳

-kimnurand_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro