chapter 22
Kepada lelaki pemberi mimpi danpenjelajah relung hati. Jangan pernah datang ke sini, jika tak bisa memberikan sepenuhnya hati. Karena kini yang kau torehkan justru adalah benci.
° Reportalove °
Di riuhnya kota Jakarta, ia berdiam sendirian. Menghindar dari segala ajakkan yang mengantarkan pada tuntutan pekerjaan. Iris matanya tajam menatap tiap baris kata yang mulai ia ketik. Berulang-ulang membaca kalimat agar tak terjadi kesalahan. Sesekali matanya memejam guna menetralkan rasa sakit kala mengingat hal manis yang berujung pahit.
Imel merebahkan kepala di atas tuts keyboard. Tanpa bisa dicegah, air mata kembali membanjiri kedua pipinya. Ketika mengingat kembali percakapan Aksa dengan pria bernama Saka tadi siang. Seakan kejadian itu dapat menghapus semua memori manis yang Aksa torehkan. Kini dalam hati Imel hanya ada kebencian untuk Aksa, tapi kenapa Imel merasakan sakit ketika ia memutuskan untuk membalas perlakuan Aksa?
Seolah hatinya menolak menuliskan semua kebenaran itu jika hanya untuk membalas Aksa?
Setelah lima menit ia lewati untuk berperang melawan hati kecil yang mengatakan kini yang dilakukannya salah. Imel kembali fokus pada pekerjaannya, menghapus kasar bekas air mata yang perlahan mulai mengering. Pekerjaannya adalah yang utama saat ini, untuk bisa memenangkan taruhan dengan Rinto, Imel akan melakukan apapun. Termasuk jika harus membeberkan privasi Aksa.
Ia melirik jam yang menunjukkan pukul dua. Tapi rasa kantuk lenyap entah kemana dari sepasang mata yang masih setia merevisi artikelnya. Tadi saat bertemu dengan Ubay di warung kopi, Imel sempat memesan kopi hitam untuk menemaninya malam ini. Tidak disangka itu berhasil.
Imel bergerak mengambil kamera mirrorless warna hitam dari dalam tas kemudian menyambungkannya pada kabel yang terhubung dengan perangkat komputer. Ia membuka satu persatu folder dan menemukan beberapa foto Aksa yang ia ambil secara diam-diam. Tanpa pikir panjang, tangannya berlalu lincah memindai foto ke dalam artikel yang sejak tadi ia kerjakan.
Setelah selesai, Imel mengirim semua artikel itu pada server perusahaan. Berharap, jika artikel itu sampai Fandy terlebih dahulu, bukan pada Anggy yang notabene menjabat sebagai Redaktur sekaligus sahabatnya.
****
Burshhhh....
Fandy dengan spontan membagi kopi pagi pada layar LCD di depannya. Ia berlalu mengelap layar monitor tersebut, dan kembali membaca garis besar artikel yang dikirimkan Imel.
Fandy tak habis pikir. Apa yang ada di otak Imel maupun Aksa. Jika memang Aksa jujur mengatakan pada Imel. Apa untungnya untuk Aksa membeberkan rahasianya? Apa laki-laki itu tidak takut karirnya hancur setelah ini? Dan Imel. Fandy benar-benar tidak tahu harus merespon bagaimana tulisan yang dikirimkannya.
Cukup lama laki-laki itu berpikir. Hingga ruangan yang tadinya hening menjadi sedikit riuh karena para pemilik meja sudah berada di tempatnya. Untung saja Rinto hari ini belum kelihatan batang hidungnya.
"Lo kok ngelamun aja, Ndy?" Derap langkah seseorang berikut suaranya membuat tubuh Fandy kaku seketika. Dengan cepat ia menutup artikel yang dikirimkan Imel.
"Eh? Nggak kok, Pak. Cuma lagi baca ulang artikel aja."
Fandy berlalu gugup. Jika saja orang di depannya adalah Rinto. Ia akan mudah berbohong, karena laki-laki itu sudah ahli dalam berbohong pada Redaktur pelaksana itu. Tapi, tidak pada Henry. Pimpinan redaksi yang selalu bisa menebak gelagat aneh dari semua bawahannya.
"Artikel dari siapa?" tanya Henry mencoba basa-basi.
"Eum ...."
"Pagi, Bos! mau nagih revisian outline, ya?" Henry memalingkan wajah pada Anggy yang baru datang. Kemudian tersenyum meninggalkan Fandy tanpa menagih jawaban akan pertanyaannya.
Fandy mengembuskan napas lega.
"Rinto belum dateng?" tanya Henry saat mendekati kubikel Anggy seraya melihat kursi yang harus diduduki Rinto masih kosong.
"Ada perlu sama divisi penyiaran, Bos," jawab Anggy seraya memberikan map acco kuning pada Henry.
"Padahal sekalian mau titip kerjaan. Besok kan gue udah mulai cuti." Henry membuka map kuning yang diberikan Anggy. Kepalanya sesekali mengangguk ketika melihat hasil kerja Anggy.
Belum sempat Anggy ataupun Fandy menanyakan sesuatu. Pintu lebih dulu terbuka menampilkan sosok pria dengan alis tebal yang membingkai mata dengan sorotan tajam.
"Pak?" panggilnya pada Henry.
"Rinto! Ada beberapa hal yang mau gue sampein, kita ke ruangan gue aja gimana?" Begitu kata Henry seraya beranjak dari kursi yang didudukinya tadi. Berjalan ke arah Rinto dan menepuk bahunya, sok akrab.
Rinto mengangguk mahfum. Kemudian mengikuti Henry ke ruangannya.
Setelah kepergian Henry dan Rinto. Anggy mendekati kubikel Fandy. Ia tahu, ada yang salah pada laki-laki yang memiliki tahi lalat di dagu kirinya itu.
"Lo kenapa sih, Ndy?"
Ditanya seperti itu, membuat Fandy linglung sendiri. Fokusnya masih pada artikel yang dikirimkan Imel.
"Be, Henry emang harus banget cuti besok? Nggak bisa bulan depan aja." Ia mencoba mencari alternatif penyelamatan Imel terlebih dahulu.
Kedua alis warna cokelat tua Anggy bertaut. Pertanyaan Fandy sungguh tidak penting untuknya. Membuat ia semakin penasaran dengan sikap pria berstatus rekan kerjanya itu. "Emang kenapa sih?"
"Si Imel, gue nggak habis pikir. Masa nulis artikel begini." Fandy menggeser kursinya agar Anggy bisa mendekat.
"GILA!" pekik Anggy kencang.
"Makanya, kalo sampe jatuh ke tangan Rinto. Abis karirnya Aksa."
"Perasaan kemarin dia ngotot banget kalo Aksa normal. Kenapa nulis kaya gini, ya?" monolog Fandy. "Dia percaya banget loh, sama Aksa kemarin-kemarin."
"Lo jangan apa-apain dulu deh tuh artikel. Kita konfirmasi dulu ke Imel. Atau siang nanti ke Henry." Fandy mengangguk mendengar usulan Anggy.
"Bahaya banget loh ini artikel, kalo sampe nggak bener. Kita bisa dituntut sama pihak Aksa dengan tuduhan pencemaran nama baik," ujar Anggy memberi pengertian pada Fandy.
Laki-laki itu hanya mengangguk pelan kemudian membuang napasnya kasar. "Imel tuh kenapa si? Bikin gue khawatir aja! Dia nggak mikir apa?"
Anggy hanya mengedikkan bahunya. "Nanti kita tanya ke dia baik-baik," jawabnya sekali lagi. "Gue rasa ada sesuatu yang terjadi sampe dia berubah pikiran kaya gitu."
****
Imel menoleh saat bahunya ditepuk pelan oleh seseorang. Tadi, Fandy sempat mengiriminya pesan dan meminta bertemu saat jam makan siang. Tapi ternyata Fandy tidak sendiri. Ada Anggy yang ikut dengan laki-laki itu. Membuatnya sedikit malas, karena tahu apa yang akan dibicarakan duo redaktur tersebut.
"Kenapa kalian manggil gue? Kayanya gue ngelakuin kesalahan besar." Dan kekehanpun terdengar dari bibir Imel.
"Lo nggak usah pura-pura nggak tau, Imel." Fandy mencoba serius. Ini masalah karir Imel, ia tak mau Imel sampai keluar dari pekerjaan.
"Ada yang salah sama tulisan gue? Kan kalian suruh gue cari bukti. Ya itu buktinya." Suara Imel sedikit meninggi. Ia selalu merasa kesal acap kali mengingat-ingat alasannya mengenal Aksa.
"Yah salah lah! Lo nggak inget TOR yang lu bela-belain di depan muka Rinto? Kerja harus sesuai outline, profesionalitas. Mana itu semua?"
Fandy terpancing emosi. Baginya Imel itu perempuan yang sangat keras kepala. Jika tidak keras, akan susah mengalahkan perempuan itu.
"Kan itu bagian dari taruhan gue sama Pak Rinto. Gue kalah, yaudah gue turutin maunya dia."
"Lo kerja di pers Imel, semua pake aturan. Bukan pake taruhan." Anggy mencoba membujuk sahabatnya.
"Lo sendiri yang selalu menggemborkan tentang kode etik, tapi lo sendiri yang ngelanggar." Perkataan Fandy sedikit melembut. Berharap Imel sedikit melunak kekeras kepalaannya.
Imel memilih opsi diam. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi saat Fandy menyinggung prinsipnya.
"Infotainment bukan bagian dari jurnalistik. Jadi gue nggak ngelanggar apapun dari peraturan," ucap Imel sedikit pongah.
"Lo bakal nyesel kalo sampe ngelakuin itu, Mel. Pikirin lagi. Lo bisa konsul ini ke Henry."
"Nggak! Lagi pula, gue nggak salah. Apa yang gue tulis itu fakta! Sebuah kebenaran. Bukan cuma opini sesaat. Gue punya bukti."
Setelahnya Imel beranjak meninggalkan Fandy dan Anggy dari kantin tempat mereka berbicara. Fandy dan Anggy hanya saling tatap melihat kepergian Imel. Sebelum seseorang menghampiri mereka.
"Gue rasa kalian yang udah nggak berlaku profesional di sini. Inget! Tugas kalian cukup buat outline dan revisi menyeragamkan penulisan artikel yang dibawa mereka. Nggak lebih." Begitu kata-kata dingin itu keluar. Membuat Fandy dan Anggy hanya bisa mengangguk pasrah.
"Tapi, Pak. Ini ngelanggar kontrak antara pihak kita sama managemen Aksa. Itu masalah besar, nggak bisa kita seenaknya nulis. Apalagi masalah yang privasi banget."
"Anggy betul, Pak. Managemen Aksa bukan orang-orang sembarangan."
Pria itu menarik sedikit sudut bibir kanannya dengan tangan masih setia bertaut di depan perut. Kemudian berucap, "Gue nggak peduli." Kemudian pergi meninggalkan keduanya dengan perasaan was-was.
Mereka tidak tahu, apa yang akan diperbuat Rinto sekarang. Setelah mengetahui artikel yang ditulis Imel.
Kira-kira Imel bakalan nyesel nggak yaa nulis isi artikel itu, trus sebenernya aku penasaran apa isi artikelnya_-
Fandy nggak mau ngasih tau ...
Katanya tunggu chapter depan ehehehehheee ... (aja terus sampe mentok)
Regard
Kimnurand_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro