Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 21

Beberapa hal pada akhirnya memang harus ditarik mundur. Entah untuk lebur atau berbaur. Karena mungkin di masa mendatang kita tak lagi akur.

° Reportalove °

Seperti biasanya. Hanya berteman sepi dan cahaya termaram yang mendominasi ruangan. Jendela dengan gorden yang terbuka menampakkan remang cahaya Jakarta malam.

Imel masih merasakan sesak. Ia tidak tahu bagaimana bisa bangkit dan memerbaiki keadaan. Baginya Aksa seperti kode Err03 pada kamera. Terlalu banyak hal manis yang laki-laki itu berikan sehingga memory Imel tidak bisa memproses semua itu.

Ia menggelengkan kepala. Menghalau sekelebatan memori tentang Aksa. Bodoh, jika Imel berharap akan ada keajaiban yang dapat merubah orientasi seksual Aksa dan membuat laki-laki bersuara emas itu balik menyukainya. Nyatanya, Aksa hanya menganggap Imel perempuan mengenaskan yang seharusnya sudah memiliki pendamping.

Tak mengertikah Aksa, Imel tidak butuh rasa simpati darinya jika akan berujung pada sakit yang terperi. Seharusnya memang ia cukup tahu diri dengan statusnya seperti apa sekarang.

Imel beranjak menghampiri jendela kamar. Tangannya bergerak membuka jendela, membiarkan semilir angin masuk dan menghirup dalam udara hingga paru-parunya penuh.

Usahanya sedikit berhasil. Walau tidak sepenuhnya, setidaknya sedikit beban sudah terbawa oleh angin malam. Namun, tak berlangsung lama. Ketika iris matanya menangkap kerlip bintang pada langit malam. Cepat-cepat ia menutup jendela dan merapatkan gorden putih tulang itu agar lepas dari pemandangan bintang.

'Bagaimanapun belajar dari Betelgeuse. Biarpun masanya sudah mau habis dia tetap bersinar terang. Dan di akhir hidupnya, akan meledak menjadi supernova yang indah. Tanpa orang lain tahu kesakitannya, dia ingin tetap menjadi penerang malam.'

Kalimat itu bagai kaset kusut yang terus mengulang di telinga Imel. Seketika rasa itu menyelinap ke dalam relung hati, kerinduan akan sosok yang mampu membuatnya tersenyum dengan cara yang tak terduga, begitu terasa, begitu nyata. Kini Imel mengerti, bukan hanya beban akan tugas yang membuatnya kehilangan fokus. Tetapi juga rasa rindu yang hadir tanpa permisi yang setiap sekonnya semakin membuncah.

Cepat-cepat ia mengambil ponsel dari dalam tas. Berniat mengirim pesan pada seseorang yang kiranya bisa membantu. Namun kenyitan samar di dahi tercetak manakala melihat puluhan notifikasi dari satu pengirim, Aksa. Ia mengabaikan pesan yang dianggapnya tidak penting itu dan beralih mencari kontak, kemudian menghubunginya.

****

"Kopi item, satu ya." Imel segera mengalihkan pandangan dari laptop ketika suara laki-laki yang sangat dikenalnya menyeruak menyebutkan pesanan.

"Udah lama?" tanya Ubay sembari duduk di depan Imel. Perempuan itu hanya tersenyum memberi respon.

"Gue mau tanya sesuatu, kalo lo dihadapin sama pilihan, antara bela kebenaran atau menyembunyikan kebenaran. Pilih mana?"

Ubay menaikan sebelah alisnya. Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan oleh Reporter secerdas Imel. Tapi bukan Andeas Baihaqi jika tidak bisa menangkap gelagat aneh dari perempuan yang menjadi sahabatnya sejak lima tahun lalu itu.

"Lo jangan jadiin alasan sifat dasar jurnalistik untuk membenarkan tindakan lo deh," ucap Ubay melengos ke arah pelayan yang membawa kopi pesanannya. Sebagai sahabat, Ubay tahu betul apa yang dimaksudkan Imel adalah tentang status Aksa yang menurutnya tidak ada hubungan sama sekali dengan jurnalistik.

Tatapan Imel berubah. Selain mendapat penolakan mentah-mentah, ia pastikan akan mendapat omelan dari Ubay. Alhasil, perempuan itu memalingkan wajah ke arah tembok kaca yang memerlihatkan kerlipan lampu jalan juga lampu mobil yang masih setia mengular.

"Tadi pagi itu si Artis ngapain nyamperin lo?"

Imel tersenyum canggung. "Nggak tahu, cuma mau ngomel kayanya."

Ubay mengerutkan kening. "Kok gitu?" tanyanya lagi. Seraya menyesap kopi hitam favoritnya.

Imel hanya mengangkat bahunya acuh. Matanya belum beralih dari pemandangan luar.

"Selain statusnya yang homo, apa yang sebenernya ganggu pikiran lo?" Ini adalah bentuk pertanyaan yang selama ini sangat Ubay ingin tanyakan ketika melihat Imel tidak seperti Imel sebelumnya. "Lo boleh cerita apapun ke gue kalo lo mau, Mel. Jangan dipendem sendiri."

Menit kelima Imel belum juga merespon perkataan Ubay. Hingga ponselnya kembali memekak dengan nama Aksa terpampang pada layar. Menggeser ikon hijau, Imel menyodorkan ponsel pada telinga Ubay.

"Imeeeel!"

Ubay tersedak kopinya. Imel terkikik pelan dengan tangan yang masih menyodorkan ponsel pada Ubay.

"Lo di mana sih? Kenapa tadi balik nggak pamit sama gue? Trus dari tadi gue telpon nggak diangkat, molor ya!" Cerocosnya tanpa henti, tanpa memberi Ubay sedikitpun jika dia bukan Imel.

Ubay berdeham.

"Siapa lo?" tanya Aksa dari seberang telepon.

"Enggak tau," jawabnya. "Enggak mau tau juga."

"Dih!" Respon Aksa cepat. "E—"

Buru-buru Imel memutuskan sambungan telepon kemudian terbahak. Seakan tidak pernah memasang wajah murung seperti sebelumnya di depan Ubay.

"Tadi aja kaya sayur disiram air panas. Cepet banget itu mood berubah. Cuma gara-gara cowok homo itu."

Imel memukul pelan tangan Ubay. Kemudian menyesap sisa latte di depannya.

"Dia baikkan sama lo? Artikelnya gimana?"

"Biasa aja."

"Terus?"

"Kayak tukang parkir minimarket lo terus-terus?" tukas Imel kesal.

"Lo naksir dia?" tanya Ubay pada akhirnya.

Imel memilih bungkam.

"Jadi tadi lo nanyain dasar-dasar jurnalistik sama gue buat nyangkal kerjaan lo sendiri? Nggak usah tanya gue itu mah! Tanya sama hatilo sendiri."

Dalam hati Imel membenarkan semua perkataan Ubay. Tapi sisi egoisnya berbisik untuk menuliskan semua hal yang selama ini ia sangkal, toh bukti sudah di tangan. Apalagi Ubay mengatakan jika semua itu tidak melanggar aturan. Jadi seharusnya tidak ada lagi yang harus diberatkan Imel.

"Bucin!" cetus Ubay. Karena Imel tak kunjung menjawab pertanyaannya, jadi dia menyimpulkan sendiri.

"Kalo menurut gue, tanya ke hati lo jalan yang baik itu ke mana. Kalo nyaman kaya sekarang, lanjutin. Tapi kalo sekiranya nggak bisa, lepasin."

Saran Ubay sebenarnya bersifat subjektif. Tapi ia berharap Imel tidak salah dalam mengambil keputusan.

Ubay tahu, Imel berada di posisi tersulit. Mencari tahu perihal orientasi Aksa bukanlah hal mudah. Tanpa Ubay menduga, jika bukan itu yang menjadi kesulitan Imel saat ini. Perjanjiannya dengan Rinto menjadi pokok masalahnya. Dan Imel terpikirkan melakukan sesuatu yang berakhir menyedihkan.


Sumpah ini signal jelek banget ....
Dari tadi mau post gagal lagi gagal lagi_-

Udah ahh ... Mau malmingan dulu, sama kasur ekekekekk...

Kimnurand_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro