chapter 2
Jika hidup tak berpegang realistis, lelah kita dilahap tangis. Karena ekspektasi yang berharap manis. Walau sering kali berakhir tragis.
° Reportalove °
SETELAH tiba di lobby, hal pertama yang Imel lakukan adalah menghela napas. Ia tahu apa yang akan dikatakan laki-laki bernama lengkap Andreas Baihaqi, namun acap kali disapa Ubay, sampai repot datang ke tempatnya kerja. Ia bukan perempuan bodoh. Laki-laki yang ia kenal sejak sepuluh tahun—sejak jaman kuliah itu memang memiliki hobi baru. Yaitu; membujuk Imel.
Sekeliling lobby sibuk berlalu lalang. Ada yang membawa tas besar, ada juga yang melenggang. Selesai berbasa-basi ringan, Imel beranjak dari duduk dan menyampirkan tas yang tadi diletakkan di sebelahnya. "Kita bicara banyak lain kali, ya. Gue ada kerjaan sekarang."
Tanpa menunggu jawaban Ubay, perempuan dengan tinggi 158 cm itu melangkahkan kaki keluar dari pintu kaca utama gedung kantor. Berucap syukur dalam hati, mobil Daihatsu Xenia berwarna silver dengan logo stasiun TV tempatnya bekerja itu datang tepat pada waktunya. Tersenyum pada sopir dan kameraman yang setia menemani pekerjaannya belakangan ini.
Mobil itu bergerak meninggalkan area selasar lobby kantor. Tangan Imel bergerak mengecek kesiapan HDV-Camcorder yang akan digunakan. Dan membaca ulang kerangka kerja yang menjadi jobdesc kali ini. Setelah itu, ia mengambil compact powder dan mengecek riasan pada wajahnya. Hanya riasan natural, bedak dan lipcream berwarna nude.
"Menurut Mbak Imel, artis itu ada di kantor managemennya?" tanya Wisnu, laki-laki berstatus kameraman yang duduk di samping sopir, tangannya sibuk bergerak mencari saluran radio pada sisi depan mobil.
"Kalo menurut saya, nggak. Karena kalau memang benar dan dia tahu sedang menjadi incaran media. Seharusnya dia bersembunyi. Minimal di rumah pribadinya." Imel merapikan make up ke dalam pouch, "Kecuali dia memang sengaja cari sensasi, kaya artis kurang job."
"Tapi ... Bukannya dia udah terkenal?"
Wisnu menyahut, seakan masih masih memiliki pertanyaan mengganjal di kepala dan ingin melanjutkan pembicaraan lebih lanjut. Akan tetapi niat itu ia urungkan, ketika mendapati Imel seolah tidak tertarik dengan apa yang mereka bahas.
Bukan karena apa, hanya saja Imel tidak suka memperkirakan kemungkinan terbaik. Ia selalu menyiapkan hati untuk menerima kemungkinan terburuk dari suatu kejadian. Jalan yang menjadikannya seorang wartawan gosip adalah satu contohnya. Di mana ia bermimpi dapat menjadi seorang jurnalis handal. Tapi, dengan lucu takdir membuatnya terperosok ke dalam pekerjaan yang sekarang. Sama halnya dengan berita Aksa sekarang, di saat Henry dan para redaktur mengharapkan sebuah bukti kebenaran, bisa saja itu hanya sebuah setting yang dibuat untuk melambungkan namanya.
Terlalu dramatis. Pikirnya.
****
Sementara di tempat lain, sepasang bola mata hitam pekat menatap lekat pada benda pipih di genggamannya.
Hujatan.
Makian.
Hinaan.
Cemoohan.
Telinga memanas, mendengar ujaran kebencian yang dilayangkan netizen yang merasa dirinya maha benar. Masih lekat dalam kepala, sekelebat memori manakala ia disanjung setelah mendapat pujian dari beberapa penyanyi senior kelas internasional dan mendapag penghargaan atas pencapaian album yang cukup mumpuni.
Tapi, semua itu seolah menguap selayak embun pagi yang terkikis sinar matahari ketika sebuah foto yang dianggap masih terlalu tabu di negara tempatnya tinggal.
"Aksa."
Bibir merah penuh sedikit tipis itu masih mengatup. Tak berniat menjawab panggilan orang di belakangnya. Tangan kanan menyisir surai hitam sedikit keperakkan yang sedikit panjang, lalu mengembuskan napas panjang guna mengusir penat yang bersarang di kepalanya.
"Mas Satriyo minta kita dateng ke kantor, sekarang."
Kening Aksa berkerut, mendengar suara laki-laki yang berprofesi sebagai managernya.
"Apa dia nggak tau, kalo lagi banyak wartawan yang mau gue konfirmasi berita di media sosial itu?" tanya Aksa, suaranya naik satu oktaf. Ia tak habis pikir, dengan jalan pikiran lead gitar salah satu band nomor 1 di Indonesia yang juga merangkap menjadi produser musik yang selama ini membimbingnya.
"Justru karena masalah itu ada kaitannya. Kita mendingan bicara di kantor."
Aksa mengeratkan rahangnya ketika Dhanu, sang manager berucap dengan mudahnya. Hey! Bukan dia yang berada di posisi Aksa dan dihujat ratusan netizen. Aksa membalikkan badan, mengambil jaket dan topi yang tersampir di sofa. Saat dirinya melangkah masuk, Dhanu masih diam tegak berdiri di ambang pintu. "Ayo, nanti kesiangan."
Sejurus kemudian Toyota Alphard keluaran tahun 2005 sampai di gedung 4 lantai bercat putih. Kernyitan samar timbul di dahi Aksa. Alisnya sedikit menukik. Kali ini, ia lebih memilih dikepung oleh kemacetan kota Jakarta pada jam sibuk di jalan protokol, dari pada harus dikepung oleh puluhan wartawan.
Puluhan orang berseragam bertuliskan 'reporter' di bahunya serta beberapa orang yang setia menggenggam HDV-Camcorder maupun voice recorder dan ada pula yang hanya menggenggam ponsel pintar masih berdiri di depan gedung kantor perusahaan produksi musik. Kepalanya menggeleng, seraya memikirkan bagaimana cara masuk ke dalam tanpa harus kepergok mereka semua.
Bak ada sebuah bola lampu muncul di atas kepala. Aksa mengenakan topi yang tadi diletakkan di sampingnya kemudian mengambil masker berwarna abu yang ada di dashboard.
Turun dengan mengendap-endap di belakang mobil berwarna silver. Laki-laki berhidung mancung yang ditutupi masker, hanya iris mata berwarna hitam pekat yang terlihat juga dahi yang dihiasi beberapa helaian rambut hitam–keperakkan. Namun, cuping telinganya menangkap jelas percakapan yang ada di dalam mobil.
"Seorang penyanyi itu nggak akan pernah puas sama kesuksesan yang dia dapat. Karena itu dia buat gimmick kaya gini supaya lebih terkenal."
Gimmick? Settingan?
Yang benar saja. Siapa dia berani menilai seorang Aksa seperti itu?
Tidak dapat mengontrol emosi yang meluap. Aksa menggebrak bagian belakang mobil itu keras, membuat beberapa orang yang ada di mobil itu terlonjak kaget.
Dua kata yang mewakili saat ini, bodoh dan cantik. Bodoh untuk dirinya, kenapa bisa-bisanya ia tidak menyadari bahwa mobil tersebut adalah mobil stasiun TV dan dengan spontan Aksa mendapatkan perhatian wartawan yang ada di dalamnya. Cantik, untuk sepasang iris cokelat tua yang menatapnya tajam. Bisa Aksa lihat bagaimana bola mata itu bersinar, belum lagi wajah yang terekspos dengan jelas karena ikatan simpul rambut yang ditata begitu rapi dengan beberapa anak rambut yang melambai menambah kesan manis di mata Aksa.
"Maling, ya!" Suara yang menerobos masuk ke dalam gendang telinga Aksa menyadarkan laki-laki itu dari lamunan.
Baru hitungan sekon. Sialnya, Aksa mendengar pertanyaan bernada tuduhan itu menjadi semakin panik. Alih-alih menjawab, Aksa justru berlari menjauhi mobil dan menuju pintu masuk mobil logistik. Namun, naas bagi Aksa. Perempuan tadi justru mengejarnya dengan kemampuan lari yang bisa dibilang sama dengan seorang atlit lari jarak dekat membuat Aksa kalang kabut dan memutuskan untuk bersembunyi.
Bukan karena apa, Aksa hanya takut jika wartawan itu memburunya dengan pertanyaan yang Aksa sendiri belum mempunyai bukti untuk menyangkalnya.
"Mbak, kita ngejar siapa memangnya?"
Bisa Aksa dengar, seorang laki-laki dengan napasnya yang menderu bertanya pada perempuan yang masih mencari sosok Aksa.
"Gue yakin dia pencuri mobil. Gerak-geriknya mencurigakan."
Aksa tidak bisa tidak terkejut mendengar ucapan perempuan itu. Dari bawah meja resepsionis tempatnya bersembunyi, perempuan itu masih menganggapnya maling. Namun, saat ini Aksa tidak berniat keluar dan mengkonfirmasi statusnya. Untung saja meja resepsionis itu sedang kosong, jadi Aksa bisa beristirahat guna menghilangkan lelah karena berlarinya.
Bola mata hitam pekatnya masih menatap lamat-lamat wartawan perempuan itu. Seragam serba hitam yang melekat pas menampilkan lekuk tubuhnya terlihat profesional di mata Aksa. Riasan tipis yang menambah kesan segar pada wajahnya. Serta sepatu Airwalk hitam–putih menambah kesan tangguh untuk seorang wanita.
Sedari tadi Aksa masih betah memandangi wartawan itu. Ia bisa mendengar jelas gerutuannya karena tidak berhasil menemukan si pencuri mobil sebelum ia pergi meninggalkan bagian depan dari kantor produksi musik. Aksa tidak habis pikir, wartawan jenis apa yang mengejarnya? Kenapa justru wanita itu lebih tertarik dengan pencuri mobil ketimbang dirinya yang seorang Aksa Delvan Arion?
Ini benar-benar buah simalakama untuk Aksa. Manakala ia harus memilih, tetap diam dan menerima tuduhan sebagai pencuri mobil, atau keluar menjadi buruan wartawan yang menunggunya.

Aku tuh kehabisan kata setelah nulis 1250 kata untuk chapter ini. Semoga kalian yang baca nggak mabok deh wkwkwk
Semoga suka ♥️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro