chapter 19
Tidak ada yang lebih sakit dari harap yang berujung semu. Dan tidak ada yang lebih perih dari cinta yang tak kunjung bersatu.
° Reportalove °
Senggolan pada bahu seolah menjadi cara paling halus untuk membangunkan Aksa dari lamunan setelah mendengar perkataan Imel. Lambat laun tatapan matanya bersinar cerah bersamaan senyum yang mengembang manis pada bibir tipis miliknya.
"Makasih, Mel."
Imel mengangguk. Bibirnya ikut melengkung acap kali melihat Aksa tersenyum.
Okky mencoba tak bersuara. Ia menaik–turunkan alisnya menghadap Aksa. Tangannya terangkat menyentuh dahi Aksa. "Nggak panas, kan?"
"Apaan sih lo?" Kesal Aksa pada sahabatnya yang selalu merusak suasana.
"Eh ... Mbak Imel, Sa, abis makan gue tinggal ya? Ada janji sama temen deket sini." Okky mencomot nasi di depannya kemudian menambahkan cuilan daging bebek yang dibaluri sambal bawang.
"Trus nanti gue baliknya?" Aksa mengentikan suapannya ketika mendengar Okky meminta ijin.
"Ngegrab kan bisa. Manja banget." Laki-laki itu seolah tak memerdulikan tatapan protes Aksa padanya. Ia hanya fokus pada makanan di piring yang tinggal setengah.
Ponsel di sebelah piring Okky berdering. Di dering pertama ia mengabaikannya, hingga dering kedua laki-laki itu mencelupkan tangan pada mangkok pencuci tangan dan menjawab teleponnya. Ia mengubah posisi yang semula duduk menjadi berdiri.
"Sa, gue tinggal, ya? Ada perlu, urgent," kata Okky seraya menepuk pelan pundak Aksa, "Lo yang pake mobil, biar gue naik busway aja."
"Nggak! Lo bawa aja mobilnya, biar gue yang naik taksi."
Okky mengulas senyum sebagai respon mendengar usulan Aksa. Saat menyampirkan tas, tak sengaja matanya bertemu pandang dengan Imel yang sejak tadi memerhatikan interaksinya dengan Aksa.
"Mbak Imel saya duluan, titip Aksa ya. Jangan sampe diculik Tante Tante di pinggir jalan."
Air muka Aksa berubah. Apalagi kala melihat Imel terhibur akan candaan Okky. Aksa ingin memaki laki-laki yang menjadi sahabatnya itu. Namun, dia urungkan karena ia sadar banyak pasang mata yang melihat ke arahnya. Bahkan diam-diam mengarahkan kamera ponsel padanya.
Setelah kepergian Okky, Aksa dan Imel melanjutkan makan tanpa ada pembicaraan sama sekali. Aksa tidak tahu harus membahas apa, begitu juga Imel.
****
Selesai makan, Imel menawarkan Aksa untuk mengantarnya pulang. Tapi laki-laki itu menolak dengan larut malam sebagai alasan. Dan mengatakan akan memesan taksi untuk pulang.
Setelah Imel pamit, ia berjalan ke arah halte busway dan duduk pada bangku panjang seorang diri. Ia mengembuskan napas beberapa kali manakala mengingat ucapan Saka padanya. Setelahnya Aksa menaiki busway menuju Jakarta Pusat.
Sejujurnya Aksa belum berniat untuk pulang saat ini. Ia melangkahkan kakinya menuju Taman Suropati dan duduk di salah satu bangku taman di tempat itu. Ia menengok pada langit yang menggantungkan awan hitam kemudian mengulum senyum ketika melihat bintang pada langit malam.
"Hati-hati kesambet kalo duduk sendirian di sini."
Aksa menoleh, ia menegakan badan ketika melihat Imel berdiri tepat di sampingnya. Ternyata perempuan itu mengikuti Aksa sampai sejauh itu.
"Imel?"
Imel mengangguk, tangannya masih setia bertaut di depan perut. "Boleh gabung?"
Reflek Aksa menggeser posisi duduknya, memberi space agar Imel bisa duduk.
"Aku nggak tau apa masalah kamu. Tapi, sebesar apapun masalah yang kamu hadapi, saya yakin kamu pasti bisa melewati itu semua."
Aksa mengangguk.
"Liat bintang itu, kecil tapi bisa menerangi malam. Sama kaya kamu, kan?"
Aksa tertawa, Imel mengerutkan keningnya melihat ekspresi yang diberikan Aksa. "Kenapa kamu ketawa?"
"Kamu salah, bintang itu keliatannya aja kecil, aslinya besar banget." Aksa menatap lamat-lamat pada langit malam. "Dulu gue pernah mikir, coba aja gue bisa kayak Rigel dalam rasi Orion. Jadi seseorang yang paling terang, paling bersinar. Walaupun akhirnya nanti ia akan meledak menjadi supernova, seenggaknya dia pernah bersinar untuk orang lain meski cuma sesaat."
Imel terpaku mendengar ucapan Aksa yang terdengar sumbang. Bisa ia rasakan kesedihan dan beban pada setiap ucapan Aksa.
Aksa mengalihkan pandangannya ke arah Imel. Manik kelamnya menatap dalam pada sepasang iris Imel kemudian berkata, "Kalo lo, kenapa suka Sirius?"
Rupanya Aksa masih ingat dengan ucapan Imel yang mengatakan menyukai bintang terbesar kedua setelah matahari tersebut. Imel memasang cengiran mengingat hal itu. Sejujurnya, ia tidak begitu mengetahui nama-nama bintang. Ia hanya mengucap asal ketika Aksa bertanya kala itu.
"Lo itu nggak cocok jadi Sirius. Lebih cocok jadi Betelgeuse," kata Aksa kemudian menjawil hidung Imel.
"Iseng banget sih!" Imel memukul tangan Aksa yang mencubitnya. "Lagian apaan tuh Betelgeuse? Belom pernah denger."
"Bintang raksasa. Tapi udah mulai redup sih sekarang. Sekarat dia."
"Jahat banget kamu, saya dibilang sekarat." Imel kembali memukul pundak Aksa. Bibirnya sedikit maju menandakan jika ia tengah merajuk.
"Kan udah tigapuluh tahun, berarti lo mulai sekarat jadi cewek. Tapi, yang harus lo tahu, Betelgeuse sekarang semakin terang, sama kaya lo."
Imel diam, secara tidak langsung meminta Aksa meneruskan kalimatnya.
"Apapun yang terjadi, belajar dari Betelgeuse. Biarpun masanya sudah mau habis. Dia tetap setia bersinar terang, tanpa mau keliatan meredup atau keliatan lemah di hadapan orang lain." Aksa membelai pelan pipi Imel. "Gue harap lo juga kaya gitu, Mel."
Ada desiran hangat yang menyelimuti hati perempuan berusia 30 tahun itu ketika mendengar perkataan Aksa. Tangannya menggenggam erat tangan Aksa yang masih membelai wajahnya.
"Kamu juga bisa jujur sama aku kalo kamu, Aksa."
Imel membulatkan mata. Ketika dengan gerakan spontan Aksa memerangkap tubuh kecilnya dan menenggelamkan wajah pada ceruk leher perempuan itu. Perlahan, Imel merasakan tubuh Aksa bergetar dan lamat-lamat mendengar isakan tangis pemuda itu.
"Mereka semua nggak ngerti posisi gue, Mel. Gue capek pura-pura terus." Aksa meracau di sela isakannya, "Apa salah kalo gue beda dari orang lain, Mel? Perbedaan gue nggak ngerugiin orang lain, Mel. Gue cuma mau mereka ngertiin gue, Mel."
Imel tidak tahu harus merespon apa. Hatinya terasa perih mendengar isakan Aksa. Jujur, perkataan Aksa terdengar ambigu. Maksud Aksa berbeda dari Kakaknya Saka. Tapi sepertinya Imel menangkap dengan makna yang berbeda.
****
Imel bergerak gelisah. Beberapa kali ia merubah posisi tidurnya. Sebelum kemudian menyerah lalu duduk kemudian mengambil air dalam gelas yang diletakan di atas nakas.
Cerita Aksa perihal perbedaannya sedikit menganggu pikiran Imel saat ini. Bukti sudah di tangan, berikut pengakuan Aksa yang menurutnya sudah menjadi bukti jika Aksa memanglah seorang gay. Tapi, kenapa hati Imel seolah tidak terima jika Aksa benar seorang gay.
Imel sendiri tidak tahu sebenarnya apa yang ia harapkan ketika membela Aksa di kantornya saat itu. Padahal jelas-jelas Aksa sendiri yang mengakui jika ia memang seorang gay. Tiba-tiba rasa sesak menggelayuti dada perempuan itu.
Imel tertawa sumbang. Memukul pelan kepalanya mengalihkan rasa sakit yang ada di dadanya.
"Apa sih yang lo pikir, Mel? Aksa suka sama lo?" Ia kemudian kembali tertawa. Namun, tiba-tiba air mata membasahi pipinya. Ia mengusap kasar air mata tersebut. Mencoba tegar seperti apa yang dikatakan Aksa.
"Kamu nggak salah Aksa. Saya yang salah karena tanpa sadar saya mencintai kamu, mencintai kebaikan kamu. Maaf, Aksa. Saya nggak bisa ngendaliin perasaan saya, sampai-sampai saya nggak bersikap profesional."
"Beri tahu Aku, Aksa. Apa aku harus mengungkap kebenaran itu? Karena, bagi aku, kamu adalah kebenaran yang paling menyakitkan."
Imel berkata seraya menatap langit-langit kamarnya. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan sekarang. Apa ia harus mengikuti ucapan Rinto—atasannya—atau mundur dan mengaku kalah.
Aku tuh yaa lama-lama kesel nulis ini
Kenapa harus sampe ke part ini sih ?
Terima kasih sudah mau baca, semoga suka
Ehh sebelum pamit, aku mau ucapin selamat hari raya Idul Adha bagi semua yang merayakan.
Semoga saudara kita yang sedang menunaikan haji diberi keberkahan dan keselamatan sampai kembali ke tanah air.
-kimnurand_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro