Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 18

Perihal benar dan salah biar saja teralur sebagaimana mestinya. Kita hanya perlu mengikuti apa yang menjadi bagian dari diri kita.

° Reportalove °

Setiba di rumah, hal pertama yang Imel lakukan bukan merebahkan diri pada ranjang empuk lalu meregangkan badan seraya berguling mencari nyaman. Tidak. Perempuan cantik dengan rambut sepunggung yang masih rapi di gulung ke atas itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian kembali duduk berkutat dengan pekerjaannya.

Seperti biasa, ruangan itu terdengar sunyi. Hanya ada suara dentingan dari microphone bluetooth yang tersambung pada iMac menandakan file yang di upload sudah masuk seutuhnya. Saking terbiasanya, Imel sampai lupa kapan terakhir kali rumah itu terdengar riuh.

Ia mengambil kamera mirrorless dari tas dan menyambungkannya pada perangkat komputer. Perempuan itu menghela napasnya pelan kemudian menggelengkan kepalanya. Urung mengirimkan gambar yang ia ambil dengan kamera tersebut pada file perusahaannya.

"Tolong bilang sama aku kalo dia bukan siapa-siapa kamu, Sa. Please." Masih terpaku duduk di depan meja dengan mirrorless di tangan yang tersambung kabel hitam.

Otaknya kembali memutar rekaman kejadian ketika ia bersama Aksa. Laki-laki itu selalu bersikap manis, dewasa, tapi terkadang menyebalkan dan suka seenaknya. Ia merogoh kantong dan mengambil benda pipih di dalamnya, lalu mengetikkan sesuatu. Tidak berapa lama, benda pipih itu menampilkan video musik Aksa yang di upload beberapa bulan lalu di aplikasi Youtube.

Ia mengulas senyum lebar. Entah! Sudah berapa lama senyum itu tidak mengembang di wajahnya. Selama ini hanya senyum tipis yang ia tampilkan pada orang lain. Imel cukup mengingat dengan baik sejak kapan senyum lebarnya itu hilang. Semenjak laki-laki bernama Nara itu kembali hadir dalam hidupnya.

Tiba-tiba rasa penasaran menyergap, ia membuka situs dan mencari nama Aksa di Google, tapi juga tak berharap banyak. Toh secara langsung sebenarnya ia bisa menanyakan pada Aksa perihal kehidupannya sebelum mereka bertemu.

Imel memeriksa beberapa situs akun gosip yang menampilkan berita tentang Aksa sebelum rumor sekarang yang mungkin lebih menarik dibaca ketimbang berita simpang siur yang ada saat ini.

Hening masih betah menyelimuti. Tiba-tiba bunyi notifikasi ponsel menghentikannya dari aktifitas membaca. Tadinya ia berniat untuk mengabaikan notifikasi itu. Tapi notifikasi berupa rentetan spam begitu menganggunya. Sehingga mau tidak mau ia membuka mengambil benda pipih itu dan membukanya.

Ia kemudian mengembangkan senyum. Ketika melihat siapa yang mengiriminya pesan. Sebelum kembali berjengit kaget tiba-tiba ada panggilan masuk.

"Halo," sapanya sembari menahan senyum yang belakangan ini sering mengembang tanpa sebab.

"Kok chat gue nggak di bales?"

"Males aja."

"Dih, kok gitu? Lo tau nggak?" tanya seseorang di seberang telepon.

"Nggak," jawab Imel cepat, membuat lawan bicaranya berdecak sebal. Perempuan itu terkikik diam-diam.

"Anggur itu enak, tapi dianggurin sakit rasanya."

Tawa Imel pecah, lelucon recehan Aksa bahkan bisa membuatnya tertawa hingga sekeras itu.

****

Aksa meletakan ponselnya di atas meja berbahan kaca. Ia menatap dirinya si cermin dengan rambut yang sedikit berantakan karena ulah hair stylist. Sialan, pikirnya. Karena dengan seenaknya siang tadi Saka memaksa Aksa untuk mengganti warna rambutnya. Yang semula hitam dengan warna putih keperakan, menjadi hitam sempurna.

Setelah berdebat panjang yang akhirnya dimenangkan Saka, akhirnya Aksa pasrah mengikuti kemauan kakak laki-lakinya itu. Hanya warna hitam pekat juga potongan rambut yang sedikit lebih pendek, tapi bukan paksaan Saka yang menjadi bahan pertimbangan Aksa.

'Lo kaya gitu, kaya anak ABG. Nggak pantes banget suka sama cewek yang lebih tua!'

Begitulah perkataan Saka yang berhasil memenangkan perdebatan.

"Ekhem!"

Aksa menoleh ke arah sumber suara dan berdecak ketika melihat siapa yang datang. "Ngapain lo ke sini?" sungutnya dengan emosi.

"Ada hal serius yang mau gue omongin ke lo," ucapnya tanpa memerdulikan kekesalan Aksa. Kemudian duduk di salah satu kursi warna hitam sebelah Aksa. Tangannya terangkat ketika salah seorang Capster menawarkan perawatan yang sama dengan Aksa.

"Apa?" Aksa sebenarnya penasaran. Tidak biasanya Saka mengajaknya bicara dengan wajah seserius itu. Terlebih, ia baru saja selesai menginterogasi Dhanu. Begitu kata Okky saat mereka-Dhanu dan Saka-berbicara serius berdua siang tadi.

"Ini soal aktifitas lo yang disorot sama akun gosip itu," ucapnya seraya melesakan punggung pada sandaran kursi, "Apa ngga terlalu beresiko sama nama baik lo? Lo tau, kan? Sekarang banyak banget yang bilang kalo lo itu cuma buat setting buat pansos."

Aksa hanya diam meminta yang lebih tua darinya itu melanjutkan kalimat.

"Dan semakin berita tentang lo mencuat, akibatnya bukan cuma sama diri lo. Tapi ke Papah sama Mamah juga, Sa."

Seketika Aksa lupa. Jika sejak kemunculan berita dirinya beredar, ia belum menghubungi kedua orang tuanya. Ahh, bisakah Aksa sebut orang tuanya? Karena selain sapaan 'Papah' dan 'Mamah' mereka hanyalah orang asing bagi Aksa. Atau orang tua Saka lebih tepatnya.

"Trus lo maunya gue gimana sekarang?" tanyanya ketika tidak kunjung bertemu dengan jawab di benaknya.

"Gue mau lo berhenti diliput sama media gosip itu," ucapnya mantap, "Stop bikin malu Papah sama Mamah, Sa."

Aksa diam tak merespon perkataan Saka. Hatinya berdenyut nyeri ketika mendengar kata-kata yang terakhir keluar dari mulut Saka.

"Yaudah, iya. Besok hari terakhir gue diliput. Ngga bisa berhenti gitu aja, udah ada kontraknya."

Aksa menjawab dengan wajah mata yang masih tertuju pada cermin. Sesekali tangannya terangkat mencuil rambut yang potongannya tidak sama panjang. Terkesan tidak peduli dengan apa yang diucapkan Saka. Walau dalam hatinya merasa sakit karena selalu dianggap gagal.

"Oke, gue tunggu besok lo ngomong sama Reporter itu. Jangan ada lagi perjanjian susulan yang buat lo harus berurusan sama mereka lagi." Saka bangun dari duduk hendak melangkah keluar dari salon. "Dan satu lagi," ucapnya sedikit terpotong, "Jaga sikap lo di depan media, gue juga nggak mau lo tambah susah. Gimanapun, lo itu Adek gue," ucapnya sambil lalu, keluar dari pintu kaca.

Aksa tidak merespon ucapan Saka. Meresponpun percuma, pikirnya. Saka hanya sebuah Roller Coaster dalam hidup Aksa. Kadang ia menjerumuskan Aksa ke jurang tertinggi kadang juga melambungkannya ke langit. Berdebat dengannya pun percuma. Saka memang selalu benar di mata semua orang. Terlebih orang tua mereka.

"Kusut banget muka lo."

Entah perkataan Okky barusan menjurus pada pertanyaan atau pernyataan. Aksa tidak peduli, kali ini menanggapi ucapan Okky hanya memperburuk suasana hatinya.

Dia memang baru datang. Tapi Okky tau jelas apa yang dibicarakan kakak-beradik itu. Hanya ada satu bahasan yang membuat mood seorang Aksa jatuh hingga titik terendah.

"Makan yuk, Sa." Okky menepuk pelan pundak Aksa. Berusaha mengalihkan perhatian laki-laki itu terhadap apa yang terjadi barusan.

"Males ah." Aksa merespon malas.

"Ke daerah Daan Mogot, katanya ada bebek goreng enak banget. Ayo! Gue udah lama nggak makan bebek." Okky sedikit memaksakan kehendaknya. Walau ia tahu, Aksa bukan tipikal penyuka makanan uggas tersebut.

"Menunya cuma bebek? ngga ada yang lain?" tanya Aksa memastikan. "Nanti kolesterol lo kambuh aja, repot."

"Dulu banyak, ada Bebek, Jerapah, Singa, Kuda sekarang nggak tau."

"Itu warung makan apa kebon binatang!" Aksa berucap kesal. Tangan terulur memukul Okky yang ada tepat di sampingnya.

"Udah ayo! Sekalian gue mau ngajak Mbak Imel. Kan deket tuh sama apartemennya."

Tanpa Okky ketahui, Aksa mengulas senyum tipis. Karena entah kenapa bertemu dengan Imel menjadi satu hal yang menyenangkan dalam hidupnya.

****

A

ksa melepas masker yang ia gunakan karena tidak tahan dengan panas hasil bakaran ikan nila yang menyambutnya saat sampai di warung makan. Laki-laki itu berjalan menghampiri meja untuk empat orang yang ditempati seorang perempuan.

"Sendirian aja, Mbak? Mau saya temenin?" tanya saat tangan kanan menarik kursi di depan perempuan itu.

"Nggak perlu, Mas. Saya lagi nunggu orang," balasnya dengan menyunggingkan senyum.

"Yakin, Mbak? Saya artis loh."

"Temen saya juga artis, ganteng lagi. Tapi, nyebelin orangnya." Perempuan itu menyeruput es jeruk di depannya.

"Kalo nyebelin mendingan buang aja ke laut." Okky yang baru saja datang setelah memesan ikut menyahuti. Laki-laki itu duduk dan mengambil kerupuk dari dalam kaleng. "Udah lama, Mbak?"

"Belum, kebetulan pas kamu telepon saya emang mau cari makan," jawab Imel kemudian memasukan ponsel yang tadi ia pegang ke dalam tas kecil di atas meja.

"Pas! Berarti jodoh."

Ucapan Okky sukses membuat Aksa salah tingkah. Walau perkataan itu belum tentu untuknya. Hanya saja Aksa merasa perkataan Okky menjurus padanya.

"Ohh ya, Dhanu di mana? Kok nggak diajak?" Seketika raut wajah Aksa berubah. Yang tadi bersemu merah, menjadi masam bak irisan jeruk nipis.

"Nggak, Mbak. Biasa, kerjaan manager. Sibuk." Okky seakan tahu gelagat cemburu Aksa saat Imel menanyakan Dhanu. Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan ke hal lain, "Besok hari terakhir ambil gambar ya, Mbak? Kalo udah selesai kita boleh lihat dulu, nggak?"

"Pasti, tapi nanti, setelah editing."

Okky hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Imel. Percuma, ia sebenarnya juga tidak begitu tertarik dengan semua itu.

"Aksa, kamu kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?"

"Nggak papa, cuma lagi capek aja." Respon yang tidak berarti Aksa berikan seraya tersenyum pada pelayan yang datang membawakan pesanan mereka.

"Kalo capek karena pekerjaan itu istirahat. Tapi, kalo capek sama masalah yang lagi menimpa kamu. Bukannya kamu sendiri jangan dengerin apa kata orang lain. Kamu hidup bukan buat orang lain, kan?"

"Gue memang nggak hidup untuk orang lain. Tapi gue juga hidup sama orang lain. Nggak bisa dipungkiri, kalo apapun yang gue lakuin selalu salah di mata orang lain."

Okky diam. Imel juga diam. Mereka tahu, kali ini masalah yang Aksa hadapi bukanlah satu hal yang bisa dibecandakan.

"Saya tahu. Tapi, jika mereka benar bukan berarti kamu salah, kan? Mereka cuma nggak pernah hidup di posisi kamu."

"Iyaa ... Imel," jawab Aksa. Dengan gemas ia mencubit pipi kiri Imel. Membuat perempuan itu mengaduh.

"Sakit tau!" balasnya kemudian memukul tangan Aksa.

"Ya lagian bawel."

"Iyaa deh, kamu memang selalu bener," ujar Imel membalas perkataan Aksa.

Untuk pertama kalinya, Aksa merasa ada seseorang yang membenarkan dirinya. Ada orang yang menganggap dirinya benar.

mon maap, kali ini tanpa perhatian typo
Semoga bisa menghibur wkwkwk

Sekian
Kimnurand_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro