Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 16

Logika adalah logika, seberapa keras prasangka memengaruhi. Tetap saja, di benak ialah yang paling benar.

° Reportalove °

"Atas dasar apa kalian bilang kalo laki-laki itu yang jadi pacar Aksa?"

Empat orang yang ada di ruang redaksi terhenyak saat suara Imel berserta debam pintu terdengar tiba-tiba. Perempuan itu berjalan menuju meja dengan sekat kubikel berwarna abu-abu.

Anggi mengode Imel agar tenang sebelum mendapat masalah lebih banyak dari Rinto. Imel menggeleng. Ia mulai mengatur napas kemudian duduk di samping Anggi. Beruntung Rinto sedang tidak ada di ruangan.

"Mel, jangan ngelawan Rinto, lah."

"Hah?" Imel membulatkan mata ketika suara seorang laki-laki yang duduk di sebrang kubikel Anggi menginterupsi.

"Lo tau, kan. Dia orangnya kaya gimana?" Begitu kata laki-laki dengan kemeja biru tua dengan name tag yang dimasukkan ke dalam saku.

"Gue cuma nggak mau kita dapat masalah sama managemen Aksa, Fan. Lo tau Aksa bukan penyanyi ecek-ecek! Dekengannya gede."

Laki-laki itu tertawa. Matanya menatap Imel dengan sedikit pandangan mengejek. "Masa sih? Atau jangan-jangan lo jadi suka sama 'si cowok gay' itu?" Fandy-nama laki-laki yang berstatus redaktur foto-mengerlingkan matanya pada Imel.

"Gila, lo!" Hanya itu respon yang Imel berikan.

Sementara Anggi hanya bisa tertawa melihat interaksi keduanya. Yang tak ubahnya seperti Tikus dan Kucing yang selalu bertengkar. Sampai, pintu ruangan redaktur kembali terbuka dan menampilkan sosok yang sejak tadi mereka bicarakan.

"Ngapain lo ada di sini?" Laki-laki yang tengah berdiri menjulang di ambang pintu mendekati Imel. Matanya menatap tajam Imel. Yang lebih pendek darinya dengan aura mengintimidasi.

"Saya sudah dengar perihal berita yang dibawa Surya ke Bapak." Imel mencoba bersikap profesional. Kali ini, emosi tidak akan memenangkan perdebatan dengan Rinto, pikirnya.

"Terus?" ujar Rinto seolah apa yang dikatakan Imel bukan hal penting. Ia melewati Imel dan duduk di kubikel miliknya, kemudian mengetikkan sesuatu pada keyboard nirkabel yang ada di hadapannya.

Lambat laun, Imel terpancing emosi karena sikap yang ditunjukkan laki-laki berusia 39 tahun itu. Ia menggebrak meja membuat sang empunya berjingkat kaget.

"Pak Rinto yang terhormat, ini masalah serius!"

"Imel! Bukan karena lo deket sama Henry. Trus lo bisa seenaknya sama gue!" Rinto kembali berdiri. Tatapannya terhunus saat bersibobok pada iris Imel yang juga menatapnya tajam. "Kerja lo lama! Makanya gue ambil tindakan sendiri."

"Asal lo tau, dia itu nggak 'gay' dia normal!" Imel menekankan kata gay agar Rinto sadar jika apa yang akan ia tulis perihal Aksa itu salah.

Rinto mengernyit bingung. Pasalnya, pemberitaan soal Aksa memang masih simpang siur. Tapi ia mendapat angin segar mana kala Surya mengatakan jika dirinya mengetahui identitas laki-laki misterius yang bersama Aksa malam itu.

"Bukan cuma lo, tapi kita semua bakal dapet masalah kalo sampe nyebarin berita nggak bener. Kita bisa dituntut dengan tuduhan pencemaran nama baik sama managemen Aksa."

"Imel bener, Pak. Aksa bukan penyanyi sembarangan. Fans-nya di mana-mana, backingan dia juga bukan orang sembarangan." Fandy ikut menyahuti. Rupanya 'Sang Kucing' di serial kartun tengah berbaik hati melihat tikusnya diganggu 'Kucing' lain.

Rinto mengembuskan napas. Tangan kanannya ia gunakan untuk memijat pangkal hidung yang sedikit bengkok lalu kemudian membenarkan posisi kacamatanya.

"Oke, gue tunggu investigasi lo. Tapi dengan satu syarat." Rinto tampak berpikir lama. Air mukanya berubah sulit terbaca oleh siapapun.

"Dua hari."

"Dua hari?"

"Iya, gue kasih lo waktu dua hari untuk ngebuktiin kalo Aksa memang laki-laki normal. Kalo lo berhasil, gue ikutin semua TOR yang lo pegang dari Henry." Rinto mengubah posisinya. Yang tadi berdiri berhadapan dengan Imel, menjadi duduk di kursinya.

Imel masih diam mencoba mencerna perkataan lawan bicaranya.

"Kalo lo nggak berhasil, lo sendiri yang harus buat artikel tentang Aksa yang seorang gay. Atau ... lo resign dari sini."

Penawaran yang berujung ancaman dari Rinto tak pelak membuat Imel kaget. Imel tahu, jika Rinto memang tidak menyukainya sejak pertama kali perempuan itu bergabung di infotainment tersebut.

Lain Imel, lain Anggi dan juga Fandy yang justru membelalakan mata-tidak percaya dengan apa yang mereka dengar-mendengar perkataan Rinto. Menurut mereka, ancaman Rinto sungguh berat untuk ukuran pekerjaan kali ini. Toh, tidak mendapatkan bukti apa-apa tentang Aksa perusahaan mereka tetap akan bisa berjalan dengan baik.

Tapi Anggi dan Fandy lebih dikejutkan dengan jawaban Imel setelahnya. Dengan tatapan penuh keyakinan Imel berucap, "Gue terima tantangan lo. Sebagai gantinya ... kalo gue berhasil, lo harus promosiin gue jadi redaktur di sini."

"Bisa aja tawaran lo." Rinto tersenyum sinis.

Sebenarnya, bukan Imel menginginkan jabatan itu. Tapi sikap Rinto sudah keterlaluan menurutnya. Dan itu harus dihentikan.

****

Imel mengambil langkah lebar-lebar setelah ia keluar dari ruangan redaktur dengan kerja jantung yang 2 kali lebih cepat. Kepanikan melanda dirinya ketika mengingat bahwa Aksa adalah laki-laki yang memiliki sikap pertahanan diri yang sangat kuat. Tidak akan mudah mengorek Aksa hanya dalam 2 hari.

"Imel, lo kenapa?" tanya Henry dengan alis saling bertaut. Dengan cepat ia mengajak Imel duduk di deretan kubikel para reporter.

Di sana ada Fina, teman sejawat Imel yang tengah mengetikkan sebuah berita dari wawancaranya di pengadilan. Diam-diam mencuri informasi dari percakapan Henry dan Imel.

"Lo gila ya, Mel?!" Sambar Fina sebelum Henry memberi respon setelah Imel menceritakan kejadian di ruang redaktur. Itu sukses membuat Fina mendapat delikan dari Henry yang kaget dengan respon yang ia berikan. Fina hanya memberi cengiran canggung sebagai balasan.

"Gue tau gue bego karena kelewat emosi," ucapnya penuh sesal.

"Trus rencana lo sendiri apa?" tanya Henry. Ia bermaksud membantu Imel sebisa mungkin tanpa menyangkut pautkan jabatannya.

"Gue nggak tau juga."

Jawaban Imel membuat Fina dan Henry menepuk kepala mereka kompak. Henry mengacak-acak rambutnya frustasi. Berhadapan dengan Rinto memang sangat sulit, Henry juga mengakui sifat ambisius Rinto.

"Gue tau caranya!" seru Fina.

"Lo kalo ngomong biasa aja dong! Nggak usah ngegas begitu." Henry menoyor kepala Fina karena kaget dengan teriakan perempuan itu.

"Maap, Bosku." Fina merespon santai. Berbeda jika dengan Rinto, Fina maupun yang lain akan bersikap tegang juga sangat formal dalam bersikap.

"Gimana kalo kita pancing Aksa?"

"Ikaaaan kali dipancing," ujar Henry meledek Fina.

"Ish Bos, denger dulu." Fina memukul pelan pundak Henry dan melanjutkan perkataannya, "Aksa itu kan laki-laki. Pasti ada sesuatu kan kalo dia dideketin sama cewek. Lo coba aja deketin Aksa sama cewek. Kalo bisa yang seksi, biar dianya bereaksi gitu."

Cukup lama Imel mencerna ucapan yang diutarakan Fina.

"Bereaksi atau berereksi maksud lo?" Ucapan Henry membuat Imel membelalak. Mata sipitnya melebar tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum.

"Mel, please ... jangan dengerin perempuan jahanam pemuja laki-laki erotis ini." Henry berucap dramatis. Membuat Fina kesal dan kembali memukulnya di lengan.

"Tapi Fani bener loh, Hen. Mungkin aja kalo di pancing dia bisa ngaku kalo dia normal. Jadi gue juga ngga perlu repot mondar-mandir." Imel berargumen. Menurutnya Aksa memang butuh sebuah pancingan.

"Oke, terserah. Tapi kalo nanti tiba-tiba ada pemberitaan asusila yang dilakuin Aksa gue nggak ikutan, ya."

"Nggak akan, Aksa juga punya otak kali." Fina mengelak. "Profilnya terlalu kuat untuk ngelakuin hal itu. Apalagi di depan Imel."

Henry dan Imel mengangguk paham. Saran Fina akhirnya diterima oleh Henry yang tidak memiliki saran lain.

"Trus ... pertanyaannya sekarang siapa cewek yang bakalan mancing Aksa?" Fina menekuk wajahnya. Ternyata PR mereka belum selesai sampai di sini.

"Lu pada ngapain?"

Mereka kompak menoleh saat Fandy datang bersama Surya dan ikut bergabung bersama mereka.

"Ehh ... Sur, Fan, kita lagi bingung ni," kata Fani, "Kita mau mancing Aksa biar sisi 'lakinya' keluar, tapi nggak tau harus nyuruh cewek mana."

Surya menautkan alisnya mendengar perkataan Fina. Ikut berpikir siapa yang harus membantu Imel mengungkap diri Aksa yang sebenarnya.

"Kenapa nggak lo aja, Mel?"

Surya tertawa terbahak mendengar usulan yang diutarakan Fandy. Sementara Henry, Fina dan Imel hanya diam tak mengerti dengan respon yang diberikan Surya.

"Kenapa, lo? Kesambet?" tanya Fandy melihat Surya tertawa.

"Lo gila ya? Lo nyuruh Imel buat godain Aksa?" Surya menunjuk Imel dengan ekspresi jenaka. "Aksa Delvan Arion loh yang kita omongin. Penyanyi dengan track record paling digilai artis cewek mana aja."

Fandy makin bingung dengan perkataan Surya. Ia mengerutkan keningnya dan berpikir apa yang salah dari ucapannya.

"Cowok biasa aja nggak ada yang mau sama Imel, apalagi Aksa! Jangan ngaco lo, Fan."

Imel terhenyak dengan perkataan yang dilontarkan Surya. Tiba-tiba saja sekelebat bisikan terdengar ditelinganya.

Jangan denger apa yang orang lain bilang. Kita bukan penghibur yang diciptain untuk bahagiain orang lain.

Ia mengulum senyum. Berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba beku di sekitarnya. "Gimana kalo minta bantuan Lisa? Dia cantik, masih muda, gue rasa bisa deh."

Fandy bisa mendengar suara Imel yang sedikit tercekat. Namun, ia berusaha untuk tidak membahas semuanya lebih dalam. Laki-laki itu tahu, Imel tidak suka dibela.

"Bisa, sih. Coba nanti gue yang ngomong langsung ke Lisa." Henry mencoba melanjutkan percakapan yang sempat tertunda tadi.

"Iya ... pasti si Lisa kegirangan banget tuh bisa deket sama Aksa. Syukur Alhamdulillah kalo dia jadian beneran sama Aksa. Biar makin ngetop lah kita." Fina berseru lantang, berusaha mengembalikan suasana tadi. "Kali aja bisa jodoh kaya Yoko Ono sama John Lennon, kan."

"Berarti gue bilang ke Dhanu sama Okky kali, ya. Perihal mau bawa orang lain ke sana." Imel bersikap biasa.

"Siapa Dhanu sama Okky?" tanya Fandy. Sorot matanya berubah penasaran ketika Imel mengucapkan kedua nama itu dengan semangat.

"Manager sama asisten Aksa," jawab Imel seraya mengubah posisinya dari duduk menjadi berdiri, dan mengambil ponsel di saku lalu melangkah menjauh.

Tepat saat Imel menjauh. Fandy melayangkan tatapan tajam pada Surya. "Lain kali kalo ngomong pake otak lo. Sekali lagi lo ngomong nggak enak soal Imel, urusan lo sama gue," ujar Fandy dengan nada rendah sebelum kembali ke ruangan redaktur, tempatnya bekerja.

Sementara Henry hanya menggelengkan kepala melihat bawahannya saling melemparkan ancaman.

Sesaat Imel kembali dengan senyum cerah. "Dhanu setuju, besok kita bawa Lisa ke sana."

Henry menganggukkan kepala, Fani tersenyum cerah sementara Surya hanya diam tak merespon apa-apa.

"Yaudah, gue balik ke tempat Aksa. Kalo ada apa-apa, gue kabarin lo, Ry."

"Oke." Henry merespon, "Gue harap lo bisa yakinin Aksa kalo dia bisa nunjukin kalo dia itu nggak gay."

"Sukses, Mel!" Fani berseru.

Mel, kalo butuh apa-apa, lo bisa telpon gue.

Seulas senyum terbit ketika Imel membaca pesan yang dikirim Fandy. Pesan yang sarat akan belas kasihan dari seorang teman. Sungguh, Imel tidak butuh itu sekarang. Tiba-tiba ia teringat akan sosok Aksa yang bisa mengerti dirinya. Aksa yang notabene tidak mengenalnya, justru bisa menenangkan hati Imel dengan cara sederhana. Aksa yang banyak dipuja oleh orang lain, justru tidak pernah meremehkan dirinya.

Imel berharap. Usahanya kali ini bisa mengembalikan nama baik Aksa. Tapi, ia juga butuh peran Aksa kali ini. Ini semua sulit buat Imel, karena belum pernah satu kalipun Aksa menyangkal tuduhan yang dilayangkan padanya. Imel benar-benar berharap jika Aksa bisa menunjukkan jika ia adalah laki-laki normal, atau setidaknya menyangkal tuduhan gay tersebut.

Sekali aja Aksa. Sekali aja kamu bilang bahwa kamu normal. Aku akan langsung percaya sama kamu. Batinnya berucap.


Quotes di atasnya nyambung kagak si sama isi chapternya?
Kayaknya kagak wkwkkwkwkk ....

Kimnurand_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro