Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 14

Paling tidak kamu harus menghadapi masalah. Bukan untuk menyerah, tapi untuk melangkah. Abaikan hujatan yang mengantarmu pada kondisi terparah. Lalu teriakan, jika kamu pantang berkeluh kesah.

° Reportalove °

Setelah isakan bernada pilu ia luapkan pada dada bidang Aksa. Imel merasa canggung melingkupi dirinya dan juga Aksa. Keinginan terkuat Imel saat ini untuk kabur dari Aksa hanya menjadi keinginan belaka. Karena hujan mulau turun dan menjebak Imel juga Aksa di sebuah halte depan mall tersebut.

Rupanya, Dewa Zeus sedang ingin mempermainkan nasib Imel malam ini.

"Lo sih, pake acara kabur-kaburan segala. Kejebak ujan, kan!"

Imel tengah menggosok-gosokkan kedua tangannya. Sementara Aksa melingkarkan kedua tangan dan menyelipkan tangan pada ketiaknya, menghalau hawa dingin masuk lebih dalam. Barangkali sela ketiaknya lebih hangat dibandingkan udara yang berhasil mengerutkan kulitnya. "Saya udah lama nggak lari," jawab Imel sekenanya, "Lagian ngapain kamu ngikutin saya?"

"Gue kira lo mau main film bollywood, makanya gue ikutan."

Imel memutar bola matanya. Malas menanggapi omongan Aksa yang tidak berguna itu.

"Jangan dipendem, luapin semuanya. Sebelum jadi jerawat trus meletus nanti lo jadi jelek." Begitu perkataan Aksa yang terdengar di telinga, Imel tertawa pelan. Mengingat jika ia baru saja mengatakan hal yang selama ini ia sembunyikan dari siapapun. Seolah Aksa adalah orang yang paling dekat dengannya.

"Saya tau," ucap Imel, masih dengan gerakkan menggosok kedua tangan. "Nara itu bodoh, tapi saya lebih bodoh karena ngelupain kebahagiaan saya sendiri karena laki-laki kaya dia."

Aksa tidak perlu mengartikan perkataan Imel terlalu lama, laki-laki itu tersenyum kecil kemudian menyugar rambutnya ke belakang.

Bangkit dari duduk dan kemudian menengadahkan tangan menerima rintikan air hujan di telapaknya kemudian membasuh wajah sembari menutup mata.
Walau dingin, Aksa merasa sedikit lebih segar, kemudian menghapus jejak basah pada wajah. Memastikan bila wajahnya tidak sekusut seperti tadi ia melihat Imel menangis.

"Kayanya ujan ngga bakal berhenti sampe malem nanti." Aksa berbalik menatap Imel yang masih anteng duduk di bangku halte paling pojok. "Gimana kalo saya balik ke mall dulu sekarang, trus ambil mobil, baru jemput kamu di sini?"

"Terserah," jawab Imel, "Tapi ... apa nanti kamu nggak akan keliatan kaya anak kucing baru kecebur got?"

"Mana ada anak kucing kecebur got ganteng kaya gue!"

"Ganteng kalo sukanya sama yang ganteng juga buat apa?" Imel memasang wajah tak berdosanya meledek Aksa.

"Fakyuu...." Begitu respon Aksa sebelum berlari ke arah pintu masuk mall.

Sementara Imel, merasa ada yang salah ketika ia mengucapkan jika Aksa adalah penyuka sesama jenis. Sumpah! Setelah diberi tugas oleh Henry tentang kasus Aksa, Imel membaca beberapa ciri-ciri seorang gay. Dan, menurut Imel Aksa tidak memiliki ciri itu sama sekali.

Gimana cara gue mastiin kalo dia gay atau bukan, ya?

Setidaknya itulah yang dipikirkan Imel saat ini. Ini benar-benar tugas yang sulit bagi Imel, dari bibir Aksa sendiri belum pernah menyangkal tuduhan Imel. Tapi, perilaku Aksa tidak sama sekali mencerminkan dia seorang gay.

Apa Aksa benar sengaja buat gimmick itu supaya makin terkenal?

Suara klakson mobil Aksa membuyarkan lamunan Imel tentang kecurigaannya terhadap Aksa.

****

"Kenapa melamun?"

Pertanyaan yang dilontarkan Aksa barusan mengingatkan Imel tentang pemikirannya perihal status Aksa. Laki-laki itu terlihat tidak memiliki beban sedikitpun tentang pemberitaan buruk tentangnya. Padahal, hujatan itu semua jelas-jelas untuk dirinya.

"Saya mau tanya sama kamu, boleh?" Imel berucap hati-hati. Takut-takut jika Aksa curiga akan pertanyaannya nanti.

"Tanya aja, kalo ngga susah pasti gue jawab." Aksa masih fokus pada setir mobil. Hujan semakin lebat, pandangan Aksa terhalangi oleh kabut yang melapisi dinding kaca mobil. Beruntung windscreen wiper berfungsi dengan baik, sehingga Aksa bisa melajukan mobil dengan tenang tanpa takut terjadi sesuatu.

"Kenapa kamu selalu keliatan tenang? Padahal, banyak banget hujatan kebencian yang ditujukkan ke kamu."

Alih-alih menjawab, Aksa justru tergelak, tangannya memukul pelan setir mobil yang sejak tadi ia genggam. Imel mengerutkan keningnya melihat respon Aksa kemudian bertanya, "Kenapa? Ada yang salah sama pertanyaan saya?"

"Ngga ada sih," jawab Aksa, "cuma gue aneh aja, kenapa juga gue harus pikirin apa kata orang? Masalah itu harus dihadapi. Bukan dihindari. Dari pada cari muka di depan media soal apa yang mereka pikir tentang gue, lebih baik gue buktiin sama prestasi. Denger hujatan cuma bikin gue down. Jadi mending gue bilang ke mereka, kalo gue nggak akan nyerah sama apa yang mereka omongin. Hidup-hidup gue, suka-suka gue lab mau kaya gimana juga. Ngurusin amat omongan orang!"

Meski terdengar acuh, ucapan Aksa ada benarnya. Hidup miliknya, adalah perihal dirinya sendiri yang menjalani, bukan orang lain. Imel mengulas senyum mendengar penuturan Aksa.

"Selama perbuatan gue nggak merugikan orang lain, gue akan lakuin apa yang menurut gue bener. Seharusnya lo juga bisa kaya gitu."

Imel mengangguk. Mendengar lanjutan kalimat Aksa. Aksa terdengar lebih dewasa di pendengaran Imel. Tidak seperti sebelumnya yang suka meledak-ledak dan bertindak sesukanya.

Hari semakin malam, rasa kantuk mulai menyergap sepasang mata dengan iris hitam yang sudah menyipit sejak setengah jam lalu. Disandarkannya bahu demi menyamankan posisi duduk yang sejak tadi sudah membuat bokong memanas. Salahkan jalanan Jakarta yang selalu mengular 2 kali lipat jika hujan turun.

Aksa menepikkan mobil sebentar, dan mengambil jaket yang tadi ia rentangkan dk kursi belakang, kemudian menyelimuti perempuan yang sudah mulai terlelap.

"Lo keliatan rapuh kalo lagi kaya gini," bisik Aksa. Tangannya menyeka anak rambut yang menutupi wajah Imel. "Gue suka waktu lo nangis di depan gue tadi. Tapi, gue harap lo cuma nangis di depan gue."

Setelahnya Aksa kembali melajukan mobil. Namun, sesaat pikirannya kembali berkecamuk mengingat percakapan Imel di telepon tadi.

Masa lo cepet banget udah pedekate sama Dhanu? Nggak ahh! Nggak boleh, apa-apaan Dhanu nyolong start duluan.

Aksa meracau dalam hati. Sebenarnya, Aksa juga tidak berniat mengajak Imel pergi sejauh itu hanya untuk berkeliling mall. Tapi, Aksa ingat Imel meminta dijemput di rumahnya setelah selesai bekerja. Dan Aksa, tidak ingin hal itu terjadi.

Sepanjang jalan Aksa terus memperhatikan bahwa kemacetan tidak akan mereda dan menjurus ke lebih parah karena ada beberapa titik menjadi langganan banjir. Aksa memutuskan untuk tidak mengantar Imel ke apartemennya manakala laki-laki itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan jam 10 malam.

"Lo tidur di rumah gue malam ini, ya?" tanya Aksa yang hanya dijawab oleh deru AC pada mesin mobil.

****

Imel mengerjap. Menyesuaikan cahaya remang yang masuk pada retina matanya. Ia mengerutkan kening ketika melihat ruangan yang tidak ia kenali.

Ia bangkit dari tidurnya hendak keluar dari ruangan tersebut. Tapi, belum sempat Imel membukanya, pintu itu dibuka terlebih dahulu dari luar dan menampilkan sosok laki-laki tinggi dengan celana gunung pendek dan kaos putih lengkap dengan handuk di kepalanya.

"Udah bangun? Makan dulu, tadi makan cuma sedikit, kan?" Tanpa rasa beban laki-laki itu menarik lengan Imel dan mengajaknya ke dapur bersih dan menyiapkan beberapa makanan.

"Kenapa kamu nggak bangunin saya tadi?"

Perkataan Imel membuat Aksa menghentikan aktifitasnya dan membuat ayam goreng menggantung pada tangan di depan mulutnya. Laki-laki itu meletakkan kembali ayam goreng di atas piring dan menatap Imel dengan cengiran khasnya.

"Tadi lo tidurnya nyenyak banget. Jadi, gue nggak enak banguninnya," jawab Aksa, "Dhanu bilang, malem ini lo nginep di sini aja."

"Apa?!"

"Nginep!" Aksa menaikan suaranya, "Gitu doang kaget elaah...."

"Nggak deh, saya pulang aja. Saya bisa pesen taksi online." Imel beranjak dari duduknya dan mengambil tas di dalam kamar yang tadi ia tempati.

Pemandangan itu tak pelak membuat Aksa mengejarnya. Laki-laki itu menghalangi jalan Imel dengan tubuh bongsor yang menjulang di sisi pintu.

"Kamu ngapain? Sana minggir!" Imel mencoba melewati Aksa.

"Udah malem, besok aja baliknya." Aksa tetap pada pendiriannya. Mencoba membujuk Imel agar tetap di berada di kamarnya.

Sejenak Imel berpikir, mungkin ini saat yang tepat mengetahui Aksa itu benar seorang gay atau bukan. Ia harus segera menuntaskan pekerjaan yang diberikan Henry. Setidaknya, mencari tahu, Aksa gay atau bukan.

"Oke, saya nginep di sini. Tapi...," ucapan Imel menggantung, ia berpikir sejenak bagaimana langkah selanjutnya memancing Aksa. "Kamu temenin saya tidur di sini, saya nggak biasa tidur sendiri."

Aksa sedikit kesulitan menelan salivanya. Perkataan Imel barusan membuat jantung Aksa serasa dipompa sedemikian cepat. Bagaimana malamnya bersama Imel akan berlangsung?


Kira-kira Imel beneran bisa dapet bukti kalo Aksa itu gay nggak ya ??
Tunggu kelanjutan kisah Aksa sama Imel yaa ...

Terima kasih buat yang sudah mampir, jangan lupa vote sama comment-nya biar nurand semangat nulis
ehehehehhe ..

Kimnurand_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro