Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Balas [Tamat]

"Dulu aku pernah punya kekasih."

Levi duduk menunggu. Pada semilir angin ia lantas bermonolog. Matanya menerawang. Jauh, jauh sekali, kemudian ia melihat sendu.

____________________________________________________________

Angin musim semi menghantam Maria.

Mewangi bunga dihempas angin hangat. Menjuru adil dalam pelosok-pelosok kota. Harumnya semerbak segar.

Musim dingin telah berakhir.

Adalah sesosok siluet dedaun yang menari. Dua meter dari objek bersangkutan, terdapat Eren Jaeger tengah memandang terawang, pepohon di tempat balas melambai dengan kepala hijau terayun.

Pohon ini setinggi dua kali ukuran manusia dewasa, atau satu setengah, entahlah. Ada satu batu tertancap di belakang batang, dan seperti seluruh daerah, tembok besar masih berdiri kokoh nun jauh di sana. Memenjarakan semuanya.

Opurtunis, ia mengambil tempat ternyaman; bawah pohon. Meniup-niup tanah sesekali barulah mendudukkan bokong lalu menyender.

Damai.

Ah. Sepoi-sepoinya adem.

Jikalau sekarang ada yang mengganggu pun akan ia usir jauh-jauh. Hush, hush, barangkali tengah dilanda sensitif bulanan, sebab semut lewat saja ia usir sekali tiup—kejam memang.

Minggu-minggu sebelumnya tiada yang namanya istirahat. Prajurit veteran sampai yang masih magang alias junior (yang sebagian cuma numpang nama di Pasukan Pengintai) semuanya sibuk. Yang ahli menelaah strategi, yang pimpinan rapat sana-sini, yang senior kurang ajar menyuruh bawahan ke sana-kemari.

Perang habis-habisan dalam waktu kurang lebih sehari semalam merenggut habis-habisan pula. Mereka berangkat dalam satu pasukan, pulang hanya berdelapan.

Hari-hari berikutnya mereka berani keluar dinding; titan musnah. Aman dalam perjalanan pulang-pergi, merasakan dinginnya lautan air asin biru membentang luas. Mereka tak akan pernah habis meski pedagang serakah mengambil keuntungan paling banyak sekalipun.

Yang tidak aman adalah pikiran Eren sendiri.

Ia jadi sering tertidur di mana pun; barak Pasukan Pengintai, ruang makan, perpustakaan Ketua Regu Hanji (yang Ya Tuhan, joroknya minta ampun!), sampai kamar mandi (padahal waktu itu sedang membalut sabun). Bermimpi aneh acak tetapi tak akan membekas di kemudian waktu membuka mata, tak jarang pula berhalusinasi. Apakah ini kebetulan? Mungkin saja dampak kelelahan dan pelampiasan stress tak terbendung dan hancur sekali retak.

Jean berpendapat, Eren overdosis obat penenang.

(Eren menyangkal diselingi umpatan.)

Terkadang, bermimpi memandang punggung Kapten Levi Ackerman yang bercahaya. Jauh meninggalkan dirinya. Sendirian kemudian ia melanjutkan hidup.

Apa ini sebuah tanda? Eren belum siap (sama sekali belum) jikalau mimpinya jadi nyata; Kapten, berjalan ke arah cahaya yang berpender emas kekuningan yang bikin buta, sementara punggungnya menjauh meninggalkan Eren sendirian. Meninggalkan dunia ini.

Yang kedua tak jarang pula membayang mimpi kebobolan dinding Maria beberapa tahun lalu.

Mimpi Ibu dikunyah semudah mematahkan ranting kayu. Darahnya berceceran terbang mengenai pipi, setelahnya ia spontan tersentak bangun mendengar ranting sungguhan diinjak tupai di atas pohon tempat bernaung.

Perang besar titan sudah berakhir.

*

"Eren."

"Diamlah, Mikasa."

Hening sesaat. Terusik penganggu padahal tengah tidur. Mikasa itu memang menyebalkan—bagi Eren. Bahkan melihatnya menutup mata damai seperti ini saja mengganggu.

"Eren," panggil lagi orang yang Eren yakini Mikasa.

"Pergilah!"

"Apa sebegitu cintanya Kau pada saudarimu hingga menganggap suaraku milik Mikasa Ackerman?" Nadanya sinis sungguh.

Tergelonjak, Eren mendapati—"Kapten!" merasa terancam jadi buru-buru bangkit—Kapten mengangkat tangannya—gestur menyuruhnya diam pada posisi. "M-maaf …."

Kapten Levi tiba-tiba ikut duduk dengan gedebum keras. Eren berjengit—hiik—menggulung dirinya macam trenggiling posisi defensif.

"Naa, Eren." Eren menggeser posisinya menjauhi sang Kapten. Sedikit.

"H-hai."

Serasa deja vu.

"Jaman titan sudah berakhir. Pasukan Pengintai hanya punya delapan veteran, sisanya anggota baru yang dungu-dungu. Pendapatmu?"

"Well—aku juga dulu sama seperti mereka yang Anda sebut dungu." Levi menatap lekat, Eren sedikitnya salah tingkah. Ia membuang pandang. "Um, tapi pengalaman akan mengubah diri seseorang. Baik itu dalam kepribadian individu maupun secara kelompok."

Lekat ia memandang tanpa kedip, Eren jadi gatal ingin bertanya, "Mengapa Anda m-menatapku seperti itu, sir?"

Berkedip, Kapten mengalih tatap. "Sedikit aneh kata-kata itu terucap dari bocah bebal sepertimu. Biasanya Kau yang paling berisik dan tak bisa menahan diri."

Menggaruk tengkuk, Eren terkekeh canggung. "Err, maaf."

"Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Eren.

"Ngadem."

"Begitu, ya." melirik ke atas, ada tupai yang menonton mereka. "apa Anda tahu ini pohon apa?"

Levi ikut melirik. "Entah. Yang penting adem dan di tengah-tengah padang bunga warna-warni. Itu poin pentingnya."

Seketika Eren antusias. "Anda suka bunga?!"

Levi mengernyit sedikit jijik. Matanya seakan bilang kau-sinting-ya. "Lumayan." tapi jawaban yang keluar di luar ekspektasi.

Eren merasa punya kesempatan mengenal Kapten Levi lebih dalam. Sebab ia orang yang tertutup, ansos akut. Jenis yang jika dianalogikan jadi siswa pengidap hikkikomori yang saat istirahat di kantin makan mojok nyolo. Bukan nyolo yang lain-lain, ya. Jadi biarpun ini hal kecil tapi Eren akan berusaha!

"Apa jenis bunga yang Anda sukai?"

Menjawab cepat, "Yang berkelopak hijau dan cokelat."

Untung Eren masih polos. "Tidak ada yang seperti itu!"

Levi menaikkan alis.

"Oh?"

"Yang hijau itu daun, Kapten. Mana ada bunga hijau. Cokelat juga warna batangnya, bukan kelopak."

"Bisa saja kalau dipulas."

"Siapa juga yang mau mewarnainya."

"Orang kurang kerjaan."

Hening.

Semilir sepoi mengajak anak rambut menari. Bergoyang gelombang mengikuti satu arus. Melambai-lambai, sama macam daun di atas ranting dan padang bunga kecil di bawah mereka.

"Haahh …."

"Tidak tidur lagi?"

"Anda mau tidur juga?"

Diam sesaat. Levi menahan diri menyeletuk 'ya, asalkan denganmu' tapi riskan. "Tidak."

"Jika begitu aku juga."

*

"Aku bosan."

Eren coba menyakinkan diri kupingnya tidak tersumbat buah anggur hasil pertanian milik keluarga Sasha. Pasalnya ini hal langka dari yang terlangka; Kapten Levi menyuarakan isi hatinya secara tidak implisit! Dan ini buat yang pertama kali!!

Bahkan seringkali Eren tak tahu apa yang Kapten (coba) bicarakan. Humor gelap implisit sulit diterima nalar bocah macam Eren.

Eren tertawa? Ya, garing. Bahkan terlampau tidak peka menangkap—sinyal-sinyal modus—maksudnya.

Takut kena cium cap sepatu, Eren mengiyakan saja.

Eren bertanya asal dengan mata lurus ke depan padang, "Apa Kapten percaya reinkarnasi?"

"Kehidupan kedua, hmm." retorik. "Kalau kubilang percaya pasti Kau yang tidak percaya padaku."

"Ah, Anda pesimis. Seperti bukan Kapten yang biasanya saja!" Eren terkekeh, Levi memandang terlalu lekat.

Sedikit banyak Eren harus terbiasa dengan tatapan Kapten. Serasa dipindai dalam-dalam tanpa cela melarikan diri.

Syahdan, hangat itu pertama kali serasa asing saat Eren masih terkekeh. Menekan-nekan pelan. Usap demi usap. Setengah sadar, Eren horror setengah mampus.

Kapten, yang (sepertinya) didorong penyakit bersih-bersih mengusap—"Ada debu di pipimu."—tanpa dosa.

Mundur spontan membuang buka. Muka mendadak panas. Eren, Kau demam? "T-terima kasih—ma-af …."

Di samping, Levi bergeming.

*

"Kau percaya hantu?"

Levi sudah bersiap menerima tatapan— "Anda bercanda?"

"Ya." Ia memetik setangkai bunga, kemudian menyematkan pada daun telinga si Bocah—Eren memerah. "Katanya roh manusia jadi hantu kalau urusan dunianya belum dilunasi. Dunianya yang dulu, maksudku."

"Lalu Anda percaya?"

"Kau percaya?"

"Um …" ragu, matanya memutar ke belakang batang pohon besar tempat mereka berteduh, ada tancapan batu berbentuk seperti nisan (sepertinya penyakit paranoidnya kambuh). Eren merinding mendadak. "agak sedikit aneh sepertinya Anda bertanya topik ini. Aku tidak percaya mistis, Kapten. Logika mendominasi di kehidupan nyata. Jadi … kurasa—tidak."

"Aku juga sama kalau begitu."

"Anda berbeda hari ini, ya."

Menaikkan alis. "Ya?"

"Well, Anda banyak bicara," kekehnya sedikit bersemu.

"Jangan bodoh. Dari awal aku memang banyak bicara."

"Apa Anda sering jalan-jalan keluar dinding?"

"Sesekali. Tidak sesering sahabat pirang jamurmu itu."

"Ohh…." Oh yang panjang.

"Kau ingin ke sana?"

"Hmm," Levi menunggu. "tidak, Kapten. Di sini bersamamu saja cukup. Lain kali saja bila aku ingin." Eren menyengir.

Mata Levi berpendar.  Jika Eren teliti, bisa ia lihat sorot sendunya menggelap. "Begitu."

"Kapan Anda akan ke laut lagi?"

"Setelah tugasku dan tugasmu selesai, semua ini usai, mari coba ke laut sekali lagi."

*

Pada senja yang menelan sinar, angin tak lagi ramah-tamah menyandingkan lagu selamat datang. Ia menjelma jadi suhu rendah mengikis hangat, nampak siluet dari ujung ke ujung bunga di padang telah sedikit banyaknya ditelan gelap.

Tertidur, meninggalkan histori.

.

Eren tak pernah menyangka kemenangan yang ia idamkan bisa tercapai. Pengorbanan besar, tentu. Tiada yang bisa diraih tanpa pengorbanan. Mereka yang rela melakukan apa pun demi meraih kemenangan, bahkan mengorbankan sisi kemanusiaan sekalipun. Apakah dengan begitu mereka sudah tak layak disebut 'manusia'? Mengapa berpikir demikian? Manusia tetaplah 'manusia' jika masih berwujud manusia dan memiliki hati. Antagonis paling jahat sekalipun punya nurani, tahu.

Terlebih mereka, si protagonis pengemban beban kebebasan.

Pada sayap bersetubuh mereka bernaung. Melebur jadi koyak. Menyepuh jadi abu—bersama abu prajurit-prajurit yang mati syahid membela kebenaran.

Tidak ada kata yang paling dalam lagi selain: selamanya. Maka Eren sekali ini saja berharap, kebebasan ini akan berlangsung selamanya.

Tapi Eren punya satu lagi harapan yang egois.

Bersama orang ini—

"Dulu aku pernah punya kekasih."

"Benarkah?" Eren merasa suaranya mendadak serak. Serasa dicubit di dada dalam. "Seperti apa … wanita itu?"

Menelan ludah. Ini tema yang berat.

"Dia baik. Tinggi juga," Ada nada keraguan dalam suaranya. "seseorang yang ternyata selama ini kucari tanpa kusadari sendiri. Tiba-tiba saja datang dalam keadaan kritis. Datang tak dijemput pulang tak diantar. Itu kesanku padanya."

"… dia cantik?"

"Manis. Sangat manis."

Mendadak Eren jadi ingin menunduk dalam-dalam. Bersembunyi di tanah dalam-dalam. Mengutuk diri dalam-dalam. Ingin meremas dada sendiri karena … mencintai Kapten Levi terlalu dalam.

Memang apa yang ia harapkan? Kapten Levi menyukai wanita dan itu normal. Mendiang Petra misalkan. Eren membayangkan jikalau wanita itu masih hidup sampai sekarang, pasti ia dan Levi menikah, beranak pinak dan hidup bahagia. Maka posisi Eren yang cuma penengah diabaikan.

Tapi.

Eren agaknya bersyukur wanita itu sudah tiada. Salahkah ia?

Senyum miris terkulum. Ada tidak adanya Petra tak akan ada ubahnya. Levi tidak akan membalas cintanya.

Pada semilir angin ia lantas bermonolog. Pandangannya menerawang. Jauh, jauh sekali hingga menembus tembok-tembok sialan itu, di matanya, Eren bisa melihat sendu.

"Tapi dia telah pergi," lanjutnya. "Telah lama pergi meninggalkanku."

Eren meremat ujung kaus. Menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Tetapi lagi, ia masih di sini."

Mendongak. "Eh? Di sini? Di dalam hatimu, Kapten?"

Kapten menggeleng.

"Lantas?"

Levi membawa telunjuknya kepada dada kurus sang bawahan.

"Di sini, Nak. Kekasihku."

Saat itu mata Eren memburam, setitik cecair bening jatuh menimpa jaket pasukannya.

Kemudian menderas.

.

.

"Aku ingin pulang."

Levi melepas pelukan mereka. Ia memeluk seakan tak ada hari esok. Membuat Eren kian menangis makin histeris, berujung sesenggukan muka merah sana-sini. Bahu Levi bergetar hebat; dia tidak menangis.

Matahari kian tenggelam. Mencipta Mega cantik gelap-terang padu padan sedap.

"Pulanglah," katanya, tersenyum.

"Tapi—" tenggorokannya tercekat.

"Pulanglah, Nak, pulang."

Eren menangis lagi. "Tempatmu bukan di sini. Tugasmu sudah selesai, 'kan? Pulang dan bebaslah. Kami mengikhlaskanmu, tak perlu khawatir pada kami—padaku lagi."

Eren tertegun.

Sekelibatan hororisme datang lagi.

Asap membumbung tinggi sebab uapan mayat titan, sungai darah para Prajurit gugur, kematian pemimpin paling tinggi mereka dengan kondisi mengenaskan: perut bolong tertimpa bebatuan, sembilan prajurit babak belur yang membawa kemenangan.

Banyak yang terjadi, tetapi kemenangan hanya berlangsung sebentar, seolah Tuhan suka sekali mempermainkan takdir protagonis.

Eren Jaeger sebagai titan shifter terakhir sekarat. Dadanya koyak kaki kiri buntung tangan kanan terluka hingga tulang terlihat; berakhirnya era jaya titan, kemampuan regenerasi Eren pun berhenti. Seminggu setelah melihat laut buat yang pertama kali, Eren Jaeger meninggal dunia.

Jasadnya dikuburkan oleh Kapten Levi sendiri. Di tempat nyaman, damai, harum semerbak wangi bunga aneka ragam—keinginan Eren buat yang terakhir kali.

Batu tertancap di belakang mereka tidak sembarang tertancap. Itu kuburan miliknya!

Eren menutup mulut meredam tangis. Tangannya perlahan-lahan memudar—secara harfiah.

Jikalau saja Eren tahu. Levi Ackerman selalu mengunjungi setiap hari hanya untuk menengok kekasihnya yang berada enam kaki di bawah tanah, berharap setidaknya sekali lagi bisa bertatap muka. Levi ingin mendengar suara Bocah itu lagi. Ia selalu berharap dan berharap, mereka akan dipertemukan di kemudian hari.

Dan hari ini keinginannya terwujud!

Eren bersender di pohon pemakamannya yang damai. Bersantai layaknya tiada beban, maka Levi memanggilnya, memastikan itu benar-benar kekasihnya.

Sebab ia tahu. Eren Jaeger masih belum tenang.

Levi masih tersenyum dengan tubuh bergetar—mati-matian menahan tangis. "Pulanglah, Eren," ulangnya lembut. Mendekat menipis jarak Levi menangkap tangan Eren yang menutupi mulut, ia kecup lembut bibir dingin Eren yang, serasa mengecup angin.

Dingin namun tak kosong.

"Aku mencintaimu."

"A—aku juga—Levi—"

"Kita akan bertemu kembali. Percaya padaku."

Pada tubuhnya yang semakin pudar membaur udara sekali lagi ia tersenyum. Tulus, tulus sekali. Matahari cepat menghilang, siluet panjang berganti gelap, secepat itulah Eren Jaeger pergi kepada kebebasan abadi, buat yang terakhir kalinya ia menangkap bibir tipis sang Kekasih berucap sebelum setetes air mata jatuh.

"Selamat ulang tahun, Eren."

Ah.

Benar.

Eren punya keinginan egois lainnya selain melihat dunia luar.

memastikan cintanya terbalaskan.

____________________________________________

R e p l y

By Cindy Cin

22. 03. 2019. 11.41pm

Sebab membalas adalah hal tersulit bagi yang hidup sekalipun.

The end

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro