8
Lagu Mojang Priangan khas tanah sunda itu menggema dari speaker yang diletakkan di ujung ruang sebesar kelas ini. Kami beranggotakan lima orang berusaha menyeiramakan tarian dengan lagu. Wajah dan tubuh mulai berkeringat, mengingat ini sudah sesi ketiga aku dan teman-temanku menari. Tapi menurut Kang Amar, pelatih kami, selalu saja ada kekurangan dari mulai kurang fokus dan kurang kompak.
Padahal, bukan pertama kali ini kami membawakan tari tradisional campur modern jenis jaipong ini. Minggu lalu bahkan kami memenangkan juara dua tingkat kota dan sebelumnya kami membawakan tari merak.
Dan jenis tari sekarang tidak perlu kami pelajari ulang. Segala gerakannya sudah kami hafal di luar kepala, mengingat kami sudah berpengalaman sebelum tingkat SMA ini. Tapi bagi Kang Amar, selalu saja ada yang kurang.
Hingga saat lagu mulai berakhir, gerakan kami pun mulai cepat dengan ritme mengentak. Kini aku sebagai pusat memiliki gerakan berbeda dan dikelilingi empat temanku yang lain. Lagu berhenti dan kami berpose dengan gaya berbeda.
Dari dekat speaker, Kang Amar tepuk tangan. Kami berdiri tegak kembali dan ada juga yang langsung selonjoran di lantai. Aku mengambil botol air di sisi lain ruang dan ikut bergabung dengan teman lainnya.
Sebenarnya, sekolahku mengirimkan dua regu. Kami berlatih bergiliran selang sehari selama tiga minggu berturut-turut. Di akhir minggu, baru kami berlatih bersama dan diberi sedikit tekanan hingga senja.
"Kalian masih keliatan kaku trus tadi kamu, Kia, mata kamu kemana aja tadi, nggak fokus. Kenapa hm?" jelas Kang Amar memulai arahannya dan menunjuk salah satu dari kami.
Kami pun menyorot Kia yang duduk paling dekat Kang Amar yang saat ini ikut bersila di depan kami.
"Hehe maaf, Kang. Aku laper," jawab Kia cengengesan. Walau kecil, Kia memang suka sekali makan. Tidak aneh kalau cewek ini kelaparan.
"Kamu itu," Kang Amar geleng-geleng, "lain kali bawa nasi sebakul aja, Ki. Biar banyak persediaan di perut kamu."
Muka Kia memerah dengan kami yang terkekeh geli mendengar gurauan Kang Amar. Aku melirik sekilas ke sisi ruang dimana aku tadi mengambil botol minum, di sana masih setia Regal yang duduk di atas kursi sembari menonton. Aku sadar selama aku berlatih tadi, Regal tidak melepaskan pandangannya. Sepasang netra itu seolah memancarkan kekaguman yang entah kenapa membuatku semakin semangat.
Kami pun tidak banyak bicara. Tapi sesekali aku bertanya apa dia baik-baik saja atau apa dia sudah bosan. Dan Regal hanya menggeleng dan berkata, "kalian narinya bagus, aku suka, Sya."
Kang Amar pun memberikan banyak penjelasan dan petuah agar kami semakin semangat untuk lomba kali ini. Lumayan sertifikat lombanya bisa digunakan sebagai pengalaman atau nilai tambah jika ingin melanjutkan pendidikan. Kalau aku menjadikan tari bukan sebagai kegiatan favorit, melainkan aktivitas untuk menghabiskan waktu. Untuk masa depan ... jujur aku masih belum memikirkannya.
"Ca, siapa itu?" tanya Kang Amar tiba-tiba sembari melirik ke arah Regal membuatku mengernyit, belum lagi Fia yang duduk di samping menyonggol bahuku.
"Kalau punya pacar bilang atuh sama Akang, biar Akang kasih tips," lanjutnya dengan senyum menggoda. Keempat cewek lain ikut menimpali membuatku salah tingkah sesaat. Nggak di kelas, nggak di ekskul, sama saja.
"Bukan, Kang. Temen semeja aku itu."
"Bener bukan pacar, Ca?" tanya Niki, si cewek berambut pendek, menoleh padaku. "Kalau bukan, boleh dong aku pepetin? Ganteng gitu cowoknya, sayang kalau dianggur," lanjutnya sembari terkekeh.
"Enak aja. Aku udah nandain temen Ica yang itu ya," timpal Kia, kelihatan kalau cewek ini serius dibuat-buat.
"Emang kamu kenal duluan, Ki?" sahut Niki.
"Cewek-cewek di kelasku pada ngefans sama dia. Ganteng-ganteng pendiem gimana gitu. Kan kalian tau sendiri sekolah kita cowoknya tuh kalau nggak jail, ya songong. Tapi cowok ini beda," jelas Kia membuat ketiga cewek lain mengangguk paham.
"Namanya siapa eh?" tanya Mira yang sedari tanya hanya memerhatikan.
"Regal bukan, Ca?" Itu Kia yang menjawab dan aku hanya mengangguk.
"Wah sampai seterkenal ke kelas ujung, ya," ujar Mira sedikit takjub. Kelas Kia memang paling pojok dan sedikit terlantar karena kadang ada saja guru yang lupa posisi kelas itu karena tertutup tangga. Tidak strategis sekali.
"Dia di kelas gimana, Ca?" tanya Kia penasaran.
Baru saja membuka mulut, Kang Amar menginterupsi, "Akang tutup aja ya forumnya, kalian kayaknya udah nggak sabar PDKT-in cowok itu."
Kami pun hanya tertawa geli dan Kang Amar mengucap salam sebagai akhir dari pertemuan hari ini. Kami menuju tas masing-masing untuk melepas selendang dan disimpan ke dalam tas. Beberapa menit kemudian, keempat temanku itu sempat-sempatnya berkenalan dengan Regal.
Mata mereka pun tak henti-hentinya menatap kagum Regal. Padahal, dulu saat Nando sempat menemaniku latihan, mereka juga bereaksi sama. Mata cewek memang langsung hijau kalau sudah ada yang ganteng. Mungkin kalau aku di posisi mereka, aku pun akan melakukan hal yang sama. Beruntung, aku menjadi salah satu pemilik aset berharga itu. Jadi aku sudah tahu borok-boroknya mereka.
**
Aku menendang kerikil yang berada di kaki. Sambil berjalan menuju rumah, kegiatanku memang kadang suka nggak jelas begini. Sebenarnya tadi aku diantar oleh supir Regal dan Regalnya sendiri. Tapi aku memilih untuk turun di dekat terminal karena tahu mereka akan makin jauh lagi kalau ke rumahku. Apalagi langit mulai senja. Aku tidak mau membuat ibu dari cowok itu khawatir.
Saat asyik menunduk, aku sontak berhenti ketika merasakan keberadaan seseorang. Aku mendongak dan tepat di hadapanku seorang cowok tersenyum lebar dan dibalas sedikit ulasan dari bibirku.
"Lemes banget jalannya," kata cowok itu sembari mengambil ransel lalu disampirkan ke bahu kanannya dan meraih tangan kiriku untuk digenggam.
"Gapapa, cape aja," sahutku, lalu kami berjalan bersisian di sepanjang trotoar.
"Emang ada acara apa sampe sore begini? Sampe chat dari pacar sendiri aja nggak dibales." Cowok ini terdengar merengut hingga aku terkekeh saat melihat ekspresi kesalnya.
"Udah gede, nggak usah ngambek-ngambek," ledekku mengundang pelototan tak terima darinya. "Di kelas aja sok-sok nyari rusuh, masa di belakang layu begini?"
Namanya Indra Wahyu Nasution. Tapi aku dan seluruh orang memanggil Iwan. Cowok yang memang mendapatkan predikat sebagai cowok pembawa kericuhan ini adalah pacarku. Kami sengaja menutup hubungan kami karena suatu alasan, sehingga tidak ada yang tahu soal kami kecuali dua pihak keluarga. Aku dan Iwan adalah teman kecil, kemudian memutuskan pacaran saat mulai masuk SMP.
Iwan tipikal cowok yang baik dan perhatian, kebalikan dari tingkahnya kalau di kelas. Dia juga bukan sejenis cowok yang suka melirik cewek seenaknya. Maka dari itu, aku tidak punya alasan untuk berpisah atau marah karenanya.
"Iya, maaf. Tadi aku nggak megang hp," jawabku kemudian sembari mengusap punggung tangan Iwan yang ada di genggamanku.
"Kamu sibuk banget, ya? Ada apa emang?" tanyanya sembari menoleh padaku sebentar.
Aku tidak cepat membalas. Aku menimbang dulu jawabanku karena takut pada reaksi Iwan. Cowok ini memang tidak terlalu suka aku menari. Budaya orang tuanya yang berpandangan bahwa menari itu ada sangkut pautnya dengan hal yang tidak baik serta hal-hal mistis di sekitarnya.
Apalagi, aku pernah mengalami pelecehan waktu SMP. Semenjak itu juga, Iwan tidak pernah mau melihatku menari. Bukan karena tidak ingin menjaga, ia hanya menghindari emosinya tidak stabil. Iwan jadi mudah marah karena kejadian itu. Ia kerap menyarankanku untuk berhenti. Tapi aku menolak.
Selain merupakan kegiatan menghabiskan waktu, melalui lomba aku mendapatkan uang. Sebagai cewek, tentu aku mempunyai banyak kebutuhan. Aku yang dari keluarga sederhana, tidak mungkin menyia-nyiakan itu selama hal tersebut adalah pekerjaan yang baik.
"Aku ... latihan nari," jawabku pelan-pelan.
"Oh latihan rutin?"
Aku menggigit bibir bawahku dan menjawab, "Aku ikut lomba."
Genggaman tangan Iwan mengencang hingga aku sedikit tersentak. Cowok itu berhenti dan berpaling ke arahku.
"Kamu mau apa biar kamu nggak usah ikut, Ra?" Senyum itu hilang, tergantikan oleh tatapan intens dengan raut menuntut.
"Maaf, Wan. Aku ... nggak bisa," sahutku memelas.
"Kamu kan bilang nggak akan ikut lagi. Kemarin yang terakhir, terus sekarang apa? Padahal, aku udah izinin kamu buat tetep di ekskul kamu itu biar kemarin kamu bisa lomba. Sekarang apa? Kamu langgar janji kamu, Ra."
Aku terdiam karena merasa bersalah. Tempo hari, aku sempat menolak Fia karena memang sudah berjanji pada Iwan untuk berhenti lomba. Terakhir aku lomba saat kelas 3 SMP, itu pun selalu ada pertentangan dari Iwan. Setelah berbulan-bulan hanya latihan sendiri, aku kembali diminta ikut lomba ketika masuk SMA. Itu pun aku bilang sebagai lomba terakhir dengan imbalan Iwan mengizinkanku untuk masuk ekskul tari.
Dan kejadian Fia waktu itu, membuatku mau tidak mau menerimanya. Iwan tidak ada di sana. Jadi dia tidak mengetahui bagaimana situasiku saat itu.
"Maaf, Wan. Bukan maksudku gitu. Aku, waktu itu ...." Ucapanku terputus saat Iwan melepaskan genggamannya dariku. Selalu begini. Kami bertengkar karena masalah keegoisan kami.
"Aku duluan." Iwan pergi sembari memberikan ranselnya padaku. Cowok itu berbelok dan semakin menjauh. Aku hanya menatap punggung Iwan, berharap cowok itu akan berbalik dan berbicara kembali padaku. Tapi sampai ke gerbang rumahnya, Iwan seperti tidak peduli lagi padaku.
Dan kenapa ... dadaku terasa sesak?
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro