Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

Suasana sekolah seusai bel pulang, ramai luar biasa. Bisingnya kadang bikin aku mau teriak. Apalagi kalau sudah datang menstruasi. Sedikit disenggol saja, niatku membunuh orang seketika muncul. Tapi karena aku punya hati sesuci bidadari, aku tidak mungkin membuat khayalanku itu benar-benar terjadi.

Aku baru saja bicara dengan Fia mengenai lomba bulan depan di depan kelasnya. Tadinya aku berniat ingin membatalkan janji itu, tapi pelototan Fia buatku enggan berkutik. Jadi, mau tidak mau aku harus mengorbankan waktu luangku sebulan ke depan. Padahal, tadinya aku ingin belajar keras karena nilai semester satu milikku tidak terlalu bagus. Ya, mungkin niat itu jadi wacana tahun ini.

Sekarang, sekolah sudah tidak terlalu ramai. Regal berjalan di sampingku tanpa protes apapun. Cowok ini kayaknya tenang banget dan penyabar. Aku bicara dengan Fia selama sejam saja, tidak terlihat kesal sama sekali. Regal malah sibuk dengan ponselnya entah main apa. Yang kutahu, tadi dia menelepon seseorang yang sepertinya supir pribadi.

Kami hendak menuju ke daerah belakang gedung utana. Di sana, berderet ruangan kecil yang berisi beberapa ekskul di sekolahku. Ada dua lantai. Sekolahku memang mendukung kegiatan di luar akademik. Karena melalui hal itu, banyak siswa yang menuai prestasi. Kecuali, untuk ekskul Rohis. Organisasi keagamaan itu khusus menguasai mesjid di sekolahku.

"Kamu suka nolong orang nggak?" tanyaku pada Regal saat melihat logo palang merah di sebuah bendera yang melambai saat hendak memasuki lorong. Tapi Regal malah diam saja melihat jalan.

Aku berdecak. Cowok ini harus disentuh dulu baru sadar. "Gal?" panggilku sambil menyenggol siku tangan kirinya.

"Hm?" balasnya menoleh padaku.

"Kamu suka nolong orang? Liat darah gitu?"

Regal tidak cepat menjawab. Cowok itu mengulum bibir ke dalam lalu menggeleng.

"Kamu kayaknya nggak terlalu suka liat orang-orang, ya?" gumamku berspekulasi.

Regal tidak menyahut, kulihat cowok iu mulai melihat-lihat berbagai ornamen di setiap pintu masing-masing organisasi. Aku pun jadi memikirkan ekskul apa yang cocok untuk cowok ini.

Regal itu ... cowok ini jarang berinteraksi dengan banyak orang. Saat ulangan ekonomi, cowok ini menjadi orang yang paling cepat mengumpul dan mulai mendapat sanjungan. Tapi Regal tidak menyahut. Jadi, kusimpulkan, walau belum tentu benar, Regal tidak suka bicara.

Tapi memang ada ekskul orang-orang pendiam? Lagian kalau pendiam, apa yang dilakukan organisasi seperti itu? Melakukan kompetensi saling menatap? Atau lomba paling lama diam?

"Ekskul catur?" gumanku sendiri saat melihat logo berupa pion kuda pada pintunya. Ekskul ini memang sepi, jarang sekali aku mendengar suara setiap aku latihan nari. Mungkin mereka membutuhkan ketenangan untuk fokus bermain. Pantas saja ekskulku jauh lokasinya dari markas ini. Kalau sebelahan, bisa jadi kami mendapat banyak protes.

"Tunggu," kataku sambil menyentuh lengan Regal sesaat. "Ke sini dulu mau nggak?" Aku menunjuk pada pintu yang terbuka setengah tersebut. Regal hanya mengangguk dan aku berjalan lalu mengetuk pintu tersebut.

"Permisi."

Dua orang cowok yang sedang bermain ponsel sontak menoleh pada kami. Isi ruang ini hanya terdiri dari satu meja panjang dengan empat kursi kayu di empat sisinya. Lalu, ada sofa maroon melekat di tembok. Pun, ada beberapa piala yang diletakkan di atas meja samping sofa tersebut.

"Eh iya? Cari siapa?"

Cowok yang tadinya membelakangiku menoleh. Tampak ada lesung pipi kirinya.

"Ini, Kak. Temen saya lagi nyari ekskul, mau tanya-tanya di sini boleh?"

Cowok tadi pun berdiri dan menghampiri kami. "Kamu Risya, bukan?"

Aku mengerutkan kening. Dari awal ketemu, aku memang familiar sama cowok ini. Tapi aku benar-benar lupa melihat dimana. Dan sepertinya dugaanku benar. Kami pernah ketemu. Kok aku lupa sama cowok ganteng begini?

"Eh emang Kakak kenal saya?"

Cowok ini malah terkekeh geli. Memangnya aku melawak?

"Jangan panggil kakak, aku seangkatan sama kamu kok," jelasnya membuatku mengangguk. "Masa kamu lupa sih? Upacara kemarin kita kenalan lho!"

Aku yang tadinya mencoba mencerna ucapan cowok ini seketika membelalak. Iya, aku ingat sekarang. Senin kemarin sewaktu upacara, aku dipanggil ke depan sebagai pemegang juara. Sekaligus, dari ekskul catur juga membawa piala. Saat kepala sekolah memberi wejangan, kami saling kenalan satu sama lain.

Nama cowok ini ....

"Izza, ya?"

Cowok itu mengangguk lalu tersenyum manis. Ah, seandainya Izza ini sekelas denganku, aku pasti akan bertahan lama untuk di kelas. Setidaknya, aku punya penyemangat.

"Iya. Jadi, tadi kamu mau apa ke sini?"

Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku menemui anggota ekskul catur. Ekskul ini memang tidak mewajibkan bertemu banyak orang. Yang terpenting adalah bisa fokus pada permainan dan bisa memenangkan kejuaraan. Sepertinya cocok untuk tipikal orang seperti Regal.

Aku nggak paham soal catur. Mereka dominan diam-diam saja, sementara aku, diam sebentar saja seperti telah melakukan dosa besar.

"Boleh, ayo masuk," kata Izza memberi jalan kepada kami untuk ke dalam ruangan kecil itu. Di sana, ada Kak Dahlan sebagai senior kelas 12. Kami berkenalan satu sama lain.

"Sebelumnya, kamu pernah main catur?" tanya Izza sesaat dia duduk berhadapan dengan Regal yang terhalang meja persegi. Lalu, Kak Dahlan menarik kursi lain dan duduk di antara mereka. Tapi aku memilih duduk di sofa setelah mengambil tas Regal dan kuletakkan di pangkuan.

Tampak Regal sedang memahami apa yang dijelaskan Izza padanya. Mungkin cara bermain catur. Regal sepertinya masih asing pada beberapa hal. Terlihat dari dahi mengerut yang terlihat dari sampingnya begini.

Penjelasan yang tidak kupahami, roomchat grup yang sepi, semua kebun di ponselku sudah ditanami, membuatku otomatis mati gaya. Terakhir, kulihat Izza mulai menyusun pion di atas papan catur dan Regal mulai mengambil salah satunya. Dan sisanya, aku benar-benar terlelap dengan keheningan ruangan ini beserta tas Regal yang kupeluk dan dijadikan sandaran untukku tidur dengan posisi terduduk.

**

Mataku mengerjap dan pandangan terlihat memburam. Seketika aku mengernyit saat memaksa mataku membuka segera. Pelan-pelan, aku duduk tegak membenarkan posisiku yang tertidur dan menyandar ke sandaran sofa. Kulihat, kini Regal dan Kak Dahlan yang beradu.

"Udah bangun, Sya?" Aku hampir terpekik kaget sesaat mendengar suara cowok dari samping kananku.

"Eh aku kelamaan tidurnya, ya?" kataku merasa canggung.

Izza terkekeh. "Lumayan sih udah sejam. Temen kamu jago, aku tadi saja kalah."

Mataku membelalak. Juara tiga tingkat provinsi kalah sama newbie seperti Regal?

"Aku kira karna dia masih belajar, aku nyepelein. Eh ternyata dia cepat belajarnya. Tuh, Kak Dahlan aja penasaran."

Aku kembali menoleh pada dua cowok  yang sedang beradu tersebut. Mereka tampak serius guna memainkan tiap pion di atas papan kayu itu. Apa tidak membosankan, ya?

"Yaudah, aku ke kamar mandi dulu, ya, Za. Cuci muka," kataku cengengesan.

Izza mengangguk. "Jangan lama, ya. Bentar lagi mereka selesai kok!"

Aku tersenyum dan melenggang ke luar ruangan. Sepelan mungkin agar tidak mengganggu konsentrasi mereka. Saat keluar ruangan, angin menerpa wajahku. Langit mulai redup menandakan sore hendak menjelang. Padahal, waktu kuliat jam dinding barusan, baru pukul dua siang.

"Hai, Ca." Hendak membelok ke arah toilet, aku terkejut ketika seseorang memanggilku.

"Eh, Ndo. Kamu baru pulang?"

Dia Nando. Dengan headphone di leher dan ransel di pundak kanannya, membuat ia terlihat keren. Kalau saja aku tidak tahu sifat aslinya, bisa saja aku baper sama cowok ini.

"Pulang gimana?" tanyanya dengan wajah heran.

Aku menelan salivaku dan mengulum bibir sebentar. Bicara dengan Nando, harus dijelaskan secara detail dan rinci.

"Kamu dari mana? Mau pulang sekarang?"

Kulihat, ia mengangguk. Sepertinya paham. Syukurlah. "Mau ke kantin. Kamu mau ke sana juga?"

Kapan aku nanya dia mau pergi ke mana? Perasaan nggak.

"Aku mau ke toilet tadinya."

Nando tampak tersenyum kecil. "Aku beliin jus yuk!"

Dengan mudahnya, cowok ini menarik lengan kananku. Aku sontak saja menariknya dan merengut kesal.

"Nggak ah! Aku mau ke toilet aja. Kamu sendirian aja, Ndo."

Bukannya aku menolak minuman gratis itu, hanya saja rasanya lama-lama tidak enak diperlakukan terlalu baik oleh cowok ini. Nando ini selain ganteng, seperti Boy William versi remaja, cowok ini juga baiknya ampun-ampunan. Sering mentraktir sekelas tanpa melihat harga yang harus dikeluarkan. Setiap kali mengajak orang ke kantin, orang itu pasti tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun.

Awalnya memang senang dibayarin begitu. Tapi lama-lama malah jadi sungkan juga.

"Tolong aku, Ca. Aku lagi males diliatin orang-orang."

Aku mendengus kasar. Nando dan pamornya memang sudah tersebar kemana-mana. Namun sikapnya yang cuek, mereka enggan mendekatkan diri pada cowok ini. Aku sedikit bersyukur punya teman seperti dia. Nando sudah seperti aset berharga di kelasku.

"Kamu yang tenar malah aku yang susah," kataku kesal. Meski begitu, aku melangkah mendahului Nando. Diakui, aku juga cukup haus dan belum meluncurkan air ke dalam tenggorakanku. Mungkin menemani Nando tidak akan rugi juga dan tidak butuh waktu lama. Semoga Regal mau menungguku.

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro