4
"Kamu tadi kenapa, Gal?"
Regal hanya melirik kedatanganku. Cowok itu bahkan seperti enggan mengeluarkan suara. Tadinya waktu aku datang ke UKS, aku bakalan menyemprot Regal dengan seribu protesku karena membiarkanku pada situasi buruk.
Tapi melihat wajah cowok ini pucat dan terlihat lemas, aku tidak berani bilang kasar. Semuanya otomatis tertelan sewaktu aku menemui dokter tadi dan bilang jangan berisik karena Regal butuh ketenangan untuk istirahat.
Regal terlihat menutup matanya lagi, sepertinya mau tidur.
"Gal, aku ke wc dulu, ya. Kebelet. Kalau ada apa-apa teriak aja. Gapapa?"
Regal cuma diam seperti tidak mendengar aku bicara. Aku pun menyentuh lengan yang bertumpuk di atas perutnya.
"Gal?"
Cowok itu berjengit lalu membuka mata, baru dia melihatku.
"Aku pergi gapapa?" tanyaku pelan. Regal hanya mengangguk sekali kemudian tertidur lagi. Aku jadi kasihan melihat cowok ini lemas. Apalagi, tadi aku punya prasangka buruk soal Regal. Cowok ini memang beda kelihatannya. Seperti, tidak punya niat buruk sekali pun. Kenapa aku selalu parno soal kelakuan cowok ini?
Ah, ini nggak jauh-jauh dari lingkungan kelasku yang bikin aku terus waspada. Jadinya orang tulus pun akan kelihatan seperti modus.
Melihat Regal mulai benar-benar tidur, aku pun ke luar UKS dan tersenyum melihat dokter Linda sedang mengobrol dengan Pak Ujang, kuncen sekolahku. Aku meminta izin ke toilet dan bilang mau kembali lagi untuk menunggu Regal.
Pelajaran olahraga adalah pelajaran terakhir. Jadi, aku tidak usah buat izin sama guru kalau aku mau menemani Regal. Kalau bukan teman semeja, mungkin aku tidak akan terlalu peduli. Tapi lagi-lagi teman sekelasku seperti punya aturan tidak tertulis kalau teman sebelah kursi adalah tanggung jawab sebelahnya juga.
Padahal, kalau kelompok Iwan yang isinya Rama dan Dimas sakit, mereka malah bergerombol datang ke UKS. Izin bersamaan ke guru bersangkutan, alasannya solidaritas.
Tapi mau bagaimana lagi. Aku kalah jumlah sama mereka. Biasanya, cewek-cewek yang suka berkuasa. Namun, kelasku malah sebaliknya. Mau mendebat kelompok Iwan nggak akan ada ending-nya, jadi lebih baik mengalah saja.
Toilet di sekolahku seperti toilet pada umumnya. Bau, kotor, dan menyedihkan. Cuma nggak tahu kenapa banyak cewek yang bergerombol datang ke sini. Mungkin alasannya, di sini ada kaca besar yang bisa digunakan untuk berdandan.
Aku yang tidak kuat sama bau pesing yang menjadi pewangi toilet ini bergegas keluar setelah melakukan ritual kencingku. Inginnya aku siram semua wc di sini, tapi napasku sudah mulai sesak karena menahan napas demi tidak terlalu banyak menghirup bau.
Sampai di UKS, aku lihat Pak Ujang mengunci pintu ruang tersebut. Aku mulai takut kalau Regal malah terkunci di dalam.
"Pak, kok dikunci sih? Kan teman saya di dalam?" protesku pada kuncen sekolah ini.
"Temen Neng nu beunghar?" tanyanya dengan bahasa sunda yang kental.
(Temen Neng yang kaya?)
Aku mengernyit bingung, tapi cepat mengangguk. Mungkin yang dimaksud Pak Ujang itu memang Regal. Tampilan cowok itu sepertinya menunjukkan status sosialnya. Padahal, sepertinya Regal nggak sekaya itu sampai Pak Ujang punya panggilan khusus untuk Regal. "Muhun, Pak."
(Iya, Pak.)
"Parantos uih, Neng. Tadi aya nu ngajemput."
(Sudah pulang, Neng. Tadi ada yang jemput.)
Aku mengangguk paham. Untung saja cowok itu pulang, jadi aku bisa tenang sekarang. Setidaknya, tanggung jawabku soal Regal tidak akan ditanya-tanya lagi oleh teman sekelasku.
"Oh gitu. Yaudah saya ke kelas dulu, ya, Pak."
**
"Mana Regal?" Bagas datang menghadang langkahku saat di ambang pintu kelas. Cowok itu berkerut heran dengan raut curiga. Nyesal dulu aku pilih dia jadi ketua murid. Eh, tapi kalau kuingat, calon-calonnya pun tidak ada yang mendukung.
Pertama, Iwan. Visi-misinya ngaco kayak mau calonin presiden. Kedua, Nando. Ya pasti pada mengusung cowok ini. Awal-awal Nando kelihatan cool, tapi lama-lama baru tahu asamnya. Ketiga, baru Bagas. Pintar drama, jadinya banyak yang ketipu.
"Regal--"
"Halah, kamu kabur, ya, Ca?" Aku mendengus ke arah cowok di samping Bagas. Andri namanya, playboy cap bandot yang suka modus sana-sini.
"Nggak, ih!"
"Wah, Ica tega nih guys! Masa temennya ditinggalin!" Andri mulai memanasi. Beberapa orang yang masih di dalam ikut terhasut. Ya ampun... rasanya mau pindah kelas.
"Kamu ninggalin Regal, Ca?" Bagas mulai dengan dramanya, lalu berdecak. "Malu aku punya anggota kelas kayak kamu. Udah kecil, nggak kayak Raisa, nggak peduli sama temen sendiri, idup lagi. Bisa pindah kelas nggak?"
Aku makin mencebikkan bibir. Kesal karena alasanku selalu saja dipotong. Apalagi ucapan Bagas ngena sekali pada perasaanku.
"Nggak usah sok sedih gitu, mukamu jelek," tambah Bagas lagi.
Aku mengepal dua lenganku, siap meledak. "REGAL UDAH PULANG DIJEMPUT!"
Bagas dan Andri malah mengangguk santai. Seolah mereka berdua tidak merasa bersalah sama sekali.
"Bagus kalau gitu. Kamu juga pulang sana," usir Bagas, "ada kamu, kelas ini jadi tambah polusi."
Aku memejamkan mataku menahan lahar yang siap meletus. Sabar, Ca, Sabar. Orang kayak Bagas memang tidak cocok dibalas oleh ucapan. Hanya Tuhan yang tahu karma apa yang cocok untuk mulut pedas Bagas. Biarin, Ca, Biarin. Kalau Bagas kena musibah, kamu yang bakalan jadi pelopor orang yang ketawa paling besar di depan cowok ini.
Tunggu saja.
**
Sudah lima menit, aku sengaja tidak bicara pada Regal. Bukan maksud menjauh. Ngapain? Regal kan tidak punya salah padaku. Maksudku, cowok itu kelihatan mau bicara padaku. Kelihatan dia melirikku dan hendak membuka bibirnya, tapi tidak jadi terus.
Jam pelajaran kosong. Kami diberi tugas. Tapi namanya siswa, mana ada yang langsung nurut. Kecuali, Bagas. Walau agak aneh, percayalah, Bagas itu ranking satu. Disusul, Elsa, yang kebetulan sekretarisnya. Dan ketiga adalah Bila.
Bagas memang si mulut pedas, tapi otaknya ikutan pedas kalau masalah pelajaran. Entah kenapa, dapat kapasitas berapa. Cowok itu suka sekali mendapat nilai seratus, paling kecil delapan puluh. Kalau dapat nilai kecil itu, Bagas mendadak bad mood.
Kembali pada Regal. Sebenarnya, aku tidak tega melihat dia sungkan untuk bicara. Sambil melihat selembar kertas yang sepertinya Indah berikan kemarin, cowok itu kelihatan gelisah, walau tidak kelihatan sekali.
Apa aku harus mengalah?
"Mau ngomong apa?" tanya ku saat seluruh kebun, dalam permainan ponsel, sudah kuisi penuh oleh bibit. Aku menoleh pada cowok itu, tidak mengacuhkan buku tulis yang sudah terbuka dan membiarkannya masih bersih. Aku cinta kebersihan, tahu.
"Hmm... aku harus pilih ekskul, " ucapnya sembari meletakkan selembar kertas tersebut di tengah-tengah kami. Aku mengangguk melihat data diri yang sudah diisi cowok itu.
Bagus juga tulisannya. Nggak kayak aku, sudah seperti ceker ayam.
"Emang kamu mau apa?" tanyaku lagi lalu menoleh.
"Kata mama aku harus masuk ekskul yang sama kayak kamu."
Aku mengernyit, seperti aneh pada ucapan cowok ini. "Mama kamu kenal aku?"
Regal mengangguk. "Iya, aku cerita kalau aku punya teman meja kamu."
Kedengarannya wajar. Regal baru lepas dari homeschooling-nya, sudah pasti ia akan diberondongi pertanyaan-pertanyaan dari ibunya.
"Emang kamu mau masuk ekskul tari?" tanyaku skeptis. Di ekskulku cuma ada satu cowok, itu pun agak gemulai. Memang jarang kaum adam ikut ekskul itu.
Apalagi melihat Regal. Aku baru mendengar dari Indah kalau cowok ini pingsan kemarin karena terlalu lama kepanasan. Lemah memang. Belum lagi, bola yang mesti Regal tangkap malah kena kepalanya.
"Tari?"
"Iya, kamu suka liat di tv, kan? Tari tradisional, tari jaipong, tari bali, terus tari-tari lainnya."
Regal mengangguk-angguk seolah sudah mengerti apa maksudku.
"Aku nggak bisa."
"Nah, makanya jangan. Bilang sama mama kamu, oke? Bukannya aku nggak ngizinin, kamu sendiri nggak bisa."
Lagi-lagi, Regal mengangguk. Memang susah ya merespons orang menggunakan bahasa lisan? Suka sekali pakai bahasa non verbal. Kalau begini, kelihatan sekali kalau aku yang cerewet.
"Tapi kamu sukanya apa, Gal?"
"Belajar."
Aku mendelik.
"Ada ekskul itu biar kamu nggak belajar. Eh ada sih ekskul KIR, cuma isinya rata-rata anak IPA di sana. Aku percaya kalau kamu bisa pelajarin Kimia terus Fisika. Tapi kasihan, nanti kamu tambah pusing."
Regak memerhatikanku bicara, tapi cuma angguk-angguk, nggak bilang apa-apa.
Aku menghela napas. Sepertinya, ini memang sosok asli dari Regal. Nggak usah nunggu seminggu bagaimana kedok Regal sebenarnya. Karena dari awal, Regal sudah menunjukkan bagaimana pembawaan dirinya. Tidak urakan, tapi banyak diam.
"Yaudah, pulang sekolah nanti kita keliling. Kebetulan, ada beberapa ekskul latihan. Siapa tau ada yang bikin kamu suka. Oke?" tanyaku meminta persetujuan, berharap Regal keluar suara lagi. Tapi Regal cuma mengangguk sekali dan membuka buku tugasnya lagi lalu tidak mengacuhkan.
Pasti cowok ini waktu lahir pakai mode silent. Aku yakin itu.
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro