Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling aku benci. Beneran. Aku nggak suka bawa-bawa bola besar kayak bola basket yang berat atau bola abal-abal yang dibuat dari plastik. Aku selalu punya pengalaman buruk tentang mereka. Entah kena kepala, kaki, atau hidung. Nggak pernah ada pengalaman baik.

Belum lagi kalau disuruh renang yang dilakukan tiga bulan sekali. Aku selalu tenggelam setiap masuk ke kolam setinggi lebih dari tinggiku. Lalu, bulu tangkis. Katanya, ini olahraga favorit para ciwi-ciwi. Tapi aku lagi-lagi harus masukkan olahraga itu pada hal yang kubenci. Soalnya aku sama sekali nggak bisa servis, mengenakan kok-nya ke raket. Volli? Aku takut bola ketika doi melayang ke arahku.

Terus aku bisanya apa?

Tidak ada.

Untuk lari aku lemas banget. Baru satu menit putaran, sudah pengin pingsan rasanya. Apa aku punya kutukan, ya?

"Hari ini olahraganya bebas. Bapak ada rapat."

Tanpa sadar, aku mengulas senyumku. Itu adalah angin segar di cuaca panas seperti ini. Setelah kelasku disuruh ganti baju dan berkumpul di lapangan, seperti biasa kami melakukan peregangan. Awalnya, aku sudah pasrah duluan kalau mau olahraga berat-berat. Paling kayak biasa, selalu berakhir di UKS atau jadi posisi terbelakang kalau lari.

Dan ketika Pak Aryo bilang begitu, aku senang bukan main.

"Ca, main basket yuk bareng yang lain," ajak Indah sambil memegang pundakku. Lapangan sudah dibagi dua. Setengah untuk cewek main basket dan cowok main sepak bola.

"Nggak ah, aku duduk aja di pinggir," tolakku membuat Bila mendelik.

"Ini tuh jam olahraga, Ca. Harusnya olahraga bukan santai-santai," katanya bijak. Iya sih, cuma aku tidak mungkin melakukan hal yang kubenci di saat ada kesempatan untuk pergi.

"Nggak deh, kalian kayak nggak tau aja aku soal olahraga," jawabku sedikit memelas. Mereka malah tertawa. Sepertinya baru ingat ketika minggu lalu, saat bermain kasti aku gagal memukul bola dan saat pukulan terakhir malah kena mataku. Sampai saat ini, warna ungunya sudah mulai pudar, tapi sakitnya masih keterlaluan.

"Kamu lemah banget ah!" ujar Indah terkekeh. Mereka berdua pun pergi ke arah cewek-cewek yang sepertinya sudah membentuk tim. Aku berjalan ke sisi lapangan lain, tepat di tengah pembatas lapangan karena di sini pohonnya adem.

Aku ditinggal sendiri, hanya menonton mereka. Sekilas, aku melihat ke arah lapangan bola dimana cowok-cowok sudah mulai bermain. Aku melihat teman mejaku, Regal, duduk di pinggir bersama Jaka dan Nando. Sepertinya mereka jadi pemain cadangan untuk menunggu giliran.

Jaka ditaruh terakhir karena seingatku, cowok itu memang rusuh. Kata cowok-cowok, dia mainnya nggak selow. Dorong sana-dorong sini. Kadang mereka terpaksa mengajak Jaka kalau bermain karena kurang pemain. Hanya saja, karena kerusuhannya itulah Jaka suka cetak goal.

Kalau Nando, aku kayaknya tahu kenapa dia dijadikan cadangan. Hidupnya nolep begitu, bagaimana tahu masalah bola? Kalau nggak game online, dia nge-wibu.

Untuk Regal, aku masih tidak tahu cowok itu terlalu dalam. Maksudku, dengan sikap diamnya begitu membuatku enggan untuk bertanya banyak. Badannya tegap seperti cowok biasa. Tampilannya rapi, nggak kayak cowok lain yang suka cuek sama seragam sendiri. Kentara sekali kalau Regal tipe cowok yang beda.

Ah, tapi aku nggak boleh percaya cepat sama Regal yang seperti itu. Muka bisa menipu, kan?

Seketika aku tersentak saat seseorang menepuk bahu kananku. Menoleh ke samping, aku mendapati Fia ikut berjongkok di sampingku.

"Eh, Ca. Kamu lagi kosong, kan?" Aku mengangguk dan menyerongkan diri ke arah cewek ini.

Fia ini satu ekskul denganku. Sama-sama jurusan IPS, cuma aku lupa IPS berapanya. Kami sama-sama ikut ekskul tari. Tari tradisional. Nggak percaya ya aku bisa menari? Mungkin itulah satu-satunya bakatku yang bisa kusombongkan. Syukur sekali Mamaku memasukkanku ke les tari sejak kecil. Katanya, sewaktu balita aku lincah sekali. Saat dengar lagu, tidak segan aku menari. Setiap ada panggung di lingkungan RT, aku tidak akan absen membuat ricuh.

Aku tidak ingat masa-masa memalukan itu. Tapi saat tetangga menyapaku dengan 'penari kecil', aku jadi percaya perkataan Mama. Berarti, beliau memang tidak berbohong. Bukan apa-apa. Sama-sama suka bergosip tanpa tahu fakta, bikin sulit dipercaya nantinya.

"Kamu ikut ya lomba bulan depan?" tawar Fia dengan muka memelas.

"Nggak mau. Perasaan minggu lalu aku lomba," tolakku mencebik. Iya, aku lagi malas latihan setiap hari untuk lomba hingga membuat jadwal pulangku makin sore. Apalagi sudah mau seminggu, hampir-hampir aku nginep di sekolah.

"Ih mumpung masih kelas sepuluh. Kata Kak Lisa, kamu punya potensi bagus karena lomba kemarin. Lumayan lho Ca tingkat provinsi."

Aku tidak menjawab. Pandanganku melirik ke arah lapangan, berpikir sebentar lalu melihat Fia lagi.

"Gimana, ya, Fi. Bapakku lagi ke luar kota. Kasian Mama sama adikku. Cari yang lain aja ya?" jawabku beralasan. Maafkan, Ma, Ren, aku menggunakan kalian untuk alasanku.

"Kamu alasan aja, kan?" tanyanya mencurigai dengan mata yang ikut memincing. "Kemarin juga gitu, kan, tapi kamu bisa ikut-ikut aja."

"Ih tapi kan kemarin pertama kali, jadi boleh-boleh aja. Sekarang pasti nggak dikasih izin," balasku mengada-ngada.

Tiba-tiba Fia melentangkan telapak tangannya padaku. "Mana hp kamu?"

Aku mengerut kening. "Buat apaan?"

Fia berdecak. "Buat hubungin Mama kamulah. Biar aku yang minta izin."

Aku seketika gelagapan. Fia langsung saja makin curiga melihatku. Ah, cewek ini maksa sekali sih! Harusnya aku nggak boleh terlalu dekat sama dia. Suka bisa saja maksanya kalau sudah akrab begini.

"Nanti kamu aneh-aneh."

"Nggak akan," timpalnya masih pada posisi. Lama-lama Fia sudah kayak pengemis minta-minta padaku.

"Kamu--"

"Ica Ica!" Ucapanku terpotong oleh orang-orang yang meneriakiku dari lapangan. Aku lihat mereka mengerubungi sesuatu di pinggir lapangan cowok.

"Apa sih?!" balasku teriak.

"Regal pingsan!" balas Bagas. Cowok itu kelihatan panik saat mendatangiku. "Cepetan temenin ke UKS."

Wajah cemas cowok ini buatku ikutan khawatir juga. Tapi aku harus ingat dia ini cowok lebay.

"Kok aku? Kalian kan ada cowok," balasku lalu melirik sekilas pada seseorang yang sedang diangkat di atas brangkar.

Bagas sudah di depanku. Cowok itu berdiri menghalangi matahari yang menyorotku.

"Regal teman sebangkumu, kan?" tanya Bagas sewot. "Kamu teman jenis apa sampai nggak peduli sama temennya? Aku nggak nyangka kamu sejahat itu lho, Ca."

Cowok ini menggelengkan kepala dengan tatapan tidak percaya seolah aku ini orang yang berperan antagonis di sinetron. Walau aku tahu Bagas ini suka sok tahu, tapi kadang ngena di perasaanku.

"Ih bukannya--"

"Regal itu kan temen meja kamu berarti deket sama kamu. Harusnya kamu temenin dia. Kita mana enak sama dia. Tau kan Regal itu jarang ngomong...." Aku berdecak. Bagas mulai dengan ceritanya. Kok ada ya cowok sejenis Bagas ini? Melebihi Mamaku kalau sudah cerewet.

"Yaudah, ayo!" potongku dan cerita Bagas langsung diganti oleh wajah semringahnya.

Saat aku berdiri, tangan kananku dicekal. "Mau ke mana kamu?"

Fia masih dengan mata curiga. Apa dia tidak mendengar ocehan Bagas dari tadi yang sepanjang kereta?

"Temenku masuk ke UKS," jawabku sambil mencoba melepas cekalan Fia. Cewek ini kuat juga kalau soal tenaga.

"Iya, aku tau. Tapi masalah kamu masih belum selesai sama aku."

Aku berdecak dan melirik pada Bagas. Cowok ini kehilangan kesabaran dan langsung menarik tangan sebelah kiriku.

"Udah, ayo. Masalah kalian nanti diselesaiin," kata Bagas tidak peduli.

Fia nggak mau kalah. Cewek ini balik menarikku membuatku seperti rebutan di antara keduanya.

"Nggak! Ica lagi sama aku. Kamu ngalah dong jadi cowok!" balas Fia sambil teriak menunjuk Bagas hingga telingaku sedikit berdengung. Masa pubertas cewek ini kayaknya belum datang. Suaranya masih punya tegangan tinggi.

"Enak aja. Emansipasi cowok sekarang itu! Nggak ada zamannya ngalah sama cewek!" balas Bagas ikutan emosi.

Fia berdiri, tapi tanganku masih ditarik sama dia. Kepalaku beneran pusing mendengar mereka terus-terusan berdebat siapa yang benar.

"Ica aku kasih kamu kalau masalah kami udah selesai."

Eh sejak kapan aku jadi barang tukar tambah? Enak saja.

Sembari mereka terus berargumen, aku mencoba keberuntunganku untuk melepas tanganku dari genggaman mereka. Tapi walau saling adu mulut, mereka tetap saja mengeluarkan tenaga biar aku susah lepas.

"Ica, Regal butuh kamu itu."

"Ica kok kamu gitu sama temen sendiri!"

Orang-orang dari UKS mulai berdemo mendatangiku. Tidak peduli aku sedang ada di antara dua hulk ini. Ya ampun! Dosa apa lagi yang sudah aku perbuat? Apa tidak ikut olahraga begini karmanya?

"Kalian liat nggak sih aku direbutin gini?" tanyaku protes.

"Halah kamu alasan aja. Cepet ke sana! Kamu jahat ya sama temen. Kita musuhin sekelas mau?" Itu Rama yang bicara. Cowok ini memang pintar menghasut dengan ucapan provokatifnya. Makanya, aku jarang dekat sama dia. Hanya saja, karena sama-sama berawalan huruf R, aku jadi sering sekelompok sama cowok ini.

"Ih Rama jangan gitu dong!" kataku memelas.

"Makanya ke UKS!" balasnya jutek. "Lebay banget kamu."

"Kalau kamu setuju, aku lepasin tangan kamu." Fia mulai bernegosiasi lagi denganku. Kulirik Bagas, cowok ini memelototiku.

Oh kayaknya mereka memang kerja sama hingga membuatku ada di situasi ini, ya? Regal ada acara pingsan lagi. Cowok itu juga sengaja kali ya? Regal pasti dihasut biar buat onar, jadi aku bisa ikut lomba. Awas ya kamu.

"DIEM KALIAN!" jawabku sambil teriak. Aku menoleh pada Fia dengan tatapan kesal. "Iya, aku ikut lomba. Puas kamu?"

Otomatis, cekalan Fia berubah jadi jabatan tangan denganku. "Deal! Kalau kamu langgar janji, dosa kamu, Ca!"

Aku mendelik dan melepas jabatannya, juga genggaman Bagas sudah melonggar. Aku menatap sinis mereka yang sudah tersenyum mengejek.

"Apa kamu?!" kataku memelotot melihat Rama.

"Gitu dong! Dimusuhin aja baru mau kamu!"

Aku memelotot di depan cowok ini dengan dua tangan yang seperti siap meremukkan wajah cowoknya. Tapi Rama langsung mengangkat dagu dengan mata memelotot.

"Berani kamu?"

Aku menghela napas, menurunkan kembali tanganku. Cowok ini memang horror kalau sudah melotot. Mukanya yang lagi diam saja seperti orang jutek, apalagi harus dibuat jahat seperti tadi.

Hingga akhirnya, aku beranjak menuju UKS. Awas saja. Kalau aku tiba di UKS dengan Regal yang sadar diri dan tidak apa-apa, aku pastikan cowok itu angkat kaki dari kursi di sampingku.

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro