Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29

Namanya Risya Ameera. Aku baru tahu namanya ketika dia memperkenalkan diri. Tujuanku sekolah formal bukan untuk mencari teman banyak, tapi aku ingin mulai belajar untuk menghadapi orang asing.

Setiap hari aku melihat Mama begitu kelelahan. Setiap malam aku melihat Mama saat tertidur. Tampak raut lelah yang begitu kentara.

Semenjak Ayah tiada, Mama menjadi orang tua tunggal sekaligus pemimpin perusahaan. Walau sudah punya sekretaris, Mama tidak bisa melepas pekerjaannya begitu saja. Mama kerap ke luar kota atau pulang larut malam. Saat libur pun, kadang Mama harus bekerja.

Guru privatku, Pak Rudi, mengerti apa yang kurasakan. Ia menanyakan mimpiku dan aku menjawab, "Aku mau bantu Mama kerja."

"Bapak punya saran buat kamu. Sebelumnya, Bapak bukannya udah nggak mau ngajarin kamu. Tapi kalau kamu belajar sendiri begini, kamu susah berkembang dan interaksi sama orang, Nak. Jadi Bapak sarankan, kamu belajar di sekolah formal. Bapak liat, kamu sudah tidak akan kesulitan."

Esoknya, aku meminta Mama untuk mendaftarkanku ke sekolah formal. Awalnya aku tidak mendapat izin, tapi aku mengatakan kalau aku ingin benar-benar sembuh. Mama mengerti dan akhirnya aku menjalani kehidupanku normal seperti remaja lainnya.

Suara itu yang pertama kali menggangguku. Cewek yang pernah kutabrak dan berakhir sebagai teman semejaku. Tadinya aku tidak menganggap keberadaan Risya. Tapi suara tingginya itu kerap mengganggu konsentrasiku.

Risya suka sekali dikerjai oleh beberapa cowok. Sekalinya bertindak aneh, satu kelas langsung riuh. Aku tidak tahu kenapa banyak yang suka mengganggu cewek itu.

Hingga akhirnya aku tahu penyebabnya.

Risya itu mungil, kecil, dan pendek. Wajahnya pun serba mini dengan pipi yang agak mengembung. Ketika dia marah, pipinya berwarna kemerahan dan pipinya yang sudah bulat makin mengembang.

Apalagi dengan tubuh kecil seperti itu, siapa yang nggak akan gemas? Kadang aku harus mengepalkan tangan untuk menahan diri agar tidak menarik dua pipi itu.

Keberadaan Risya semakin menarikku. Cewek itu begitu santainya dengan keanehanku. Dengan sabarnya, Risya kerap melindungiku dengan suara beroktaf tingginya dan nasihat yang panjang yang selalu betah aku dengarkan.

Kedekatan kami pun semakin kentara. Entah apa yang telah dibicarakan dengan Mama, Risya jadi makin sering memperhatikanku. Risya suka mengirim pesan dan menanyakan keadaanku. Saking seringnya, kadang kalau tidak ada dia, aku merasa kesepian.

Senyum Risya jadi tidak bermakna sama lagi. Sekarang kelihatan lebih manis sampai rasanya udaraku direnggut paksa dan degup jantungku kadang makin cepat merasakan kedekatan kami. Tapi ... semua reaksi itu justru membuatku nyaman dengannya. Ada perasaan membuncah saat ia tertawa dan merengut padaku.

Aku menceritakannya pada Mama. Rasanya sesak bila hanya dipendam lama. Mama hanya meresponsku dengan tersenyum dan menyarankanku untuk berlaku baik pada Risya.

Saat pelajaran olahraga, dengan kaos sesiku dan celana selutut, membuat cewek itu makin kelihatan mungil. Mataku kadang susah lepas dari eksistensinya. Duniaku seolah berputar hanya pada Risya.

Hingga saat itu, saat berganti pakaian, aku dan Andri bicara.

"Kamu suka ya sama Ica?"

Aku yang hendak mengenakan seragamku berhenti sebentar. Aku menoleh pada Andri dan melihat senyum mencibir itu.

"Suka?"

Andri mengangguk dan melepas kaos olahraganya lalu meraih seragam yang tergantung di tembok.

"Iya, dari olahraga tadi aku liat kamu liatin Ica terus. Untung aja matamu nggak perih karna nggak ngedip," kekehnya kemudian.

"Emang suka itu apa, Ndri?"

Andri tertawa mendengar pertanyaanku. Ia menepuk bahuku lalu mengusap dua ujung matanya.

"Gila, kamu nggak tahu?" tanyanya dan dijawab oleh gelengan kepalaku. "Bener kata orang. Kamu polos juga, Gal."

Aku hanya terdiam. Aku memang tidak mengerti perasaan yang baru aku alami. Yang kutahu hanya perasaan suka, duka, dan senang. Juga sayang. Itu pun pada Mama. Tapi reaksi tubuhku sangat berbeda bila dengan Risya.

Andri berdeham dan berkata, "Singkatnya gini, kamu kalau dia nggak ada pengen ketemu, kalau dia ada pengen ngeliat dia terus. Gitu nggak?"

Aku refleks mengangguk. Apa yang dikatakan Andri benar-benar terjadi padaku. "Jadi itu tandanya aku suka?"

"Kesimpulan cepatnya iya. Karna kamu yang rasain, bukan aku. Banyak-banyak baca soal itu aja, Gal. Ntar baru ceritain sama aku."

Aku menjalankan saran Andri. Aku banyak membaca artikel soal perasaan-perasaan yang sering aku alami. Aku pun banyak memperhatikan cowok-cewek yang katanya saling suka dan mereka mempunyai status pacaran. Awalnya, hal itu sering kudengar tapi aku lupakan karena tidak mendukung akademikku. Tapi sekarang merupakan hal menarik buatku.

Hingga aku pun menceritakan pada Andri tentang perasaan-perasaanku yang menyangkut Risya. Aku kadang ingin melihat Risya atau sekadar mendengar suaranya kala malam. Aku ingin terus melihat cewek itu terus ketika Risya ada di radiusku. Aku kesal ketika ada beberapa cowok yang menarik perhatiannya. Aku senang ketika ia tertawa dan aku sedih ketika Risya murung.

"Udah, ajakkin pacaran. Ica itu banyak yang suka. Tapi dia galak, kayak yang ngejauhin cowok. Untung kamu semejanya. Bisa punya banyak kesempatan, Gal."

"Tapi gimana caranya?"

Andri pun menjelaskan alur rencana yang dia buat sendiri. Ia pun meminta dua teman dekat Risya, Indah dan Bila, untuk masuk ke dalam rencananya. Aku hanya mengikuti mereka saja. Mereka pun hanya memintaku mempersiapkan mental untuk jujur pada Risya. Mereka jelas tidak tahu bagaimana tipe Risya sebenarnya, mengingat Risya hampir tidak pernah menceritakan soal cowok idamannya. Mereka hanya mengusahakan rencana sekarang tidak cenderung berlebihan.

Malam itu tiba. Risya benar-benar disulap menjadi perempuan cantik dan begitu anggun. Kadang aku rela tidak mengedip hanya untuk melihat wajah dengan polesan make up itu. Aku juga mendadak menyesal menyetujui rencana mereka untuk ke restoran ini. Harusnya makan saja di rumahku. Aku tidak mau orang-orang melihat keindahan Risya ini.

Tapi malam indah itu hancur seketika saat Risya mengatakan ada orang lain yang ia sayangi. Itu berarti ia menolak perasaanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Semua keputusan ada pada Risya, aku juga tidak bisa memaksanya. Walau aku kecewa pada fakta yang ada. Aku merasa dibohongi oleh sikap perhatiannya selama ini. Tapi di sisi lain, mungkin aku saja yang terlalu senang akan perilaku Risya tersebut.

Sehabis malam itu, Risya mendiamkanku. Aku mencoba bersikap seperti biasa, walau sebenarnya sakit itu terus muncul setiap manatap Risya. Rasanya aku pun ingin menjauh sementara. Tapi apa aku kuat? Padahal, semalaman saja aku sudah merindukan perhatian dan suaranya.

Hingga hari dimana Iwan mengakui hubungan rahasianya dengan Risya. Awalnya aku rasa orang yang dimaksud Risya malam itu merupakan seseorang yang masih tersimpan dalam hati dan belum tersampaikan. Tapi ternyata sudah lebih daripada itu.

Aku hendak menyerah pada perasaan ini. Apalagi intensitas mereka bersama semakin meningkat, dengan Iwan juga yang bertukar posisi duduk. Aku merasa tersisihkan dari posisi itu.

Andri dan dua teman dekat Risya pun menang tidak menyangka sebelumnya. Mereka menceritakan betapa seringnya mereka bertengkar dan saling meledek. Tapi mungkin itu cara mereka untuk menutupi hubungan keduanya.

Aku pun ikut mulai menjauhi Risya. Sesuai saran Andri, aku harus mengistirahatkan perasaanku dengan tidak terlalu sering melihat Risya dan kebersamaannya dengan Iwan. Walau sulit, aku tetap lakukan. Karena masalah ini juga bisa saja berdampak pada akademikku. Aku tidak mau menghancurkan tujuan awalku.

Tapi rencana hanya tinggal rencana. Eksistensi Risya terlalu kuat di hatiku. Setiap malam kadang aku hanya membaca ulang banyaknya pesan singkat kami dahulu. Aku juga sesekali iseng untuk menanyakan tugas dimana kami masih satu kelompok. Kadang aku melirik dia saat belajar tanpa diketahui oleh siapapun.

Hingga harapan kecil itu muncul. Mama memintaku mengajak Risya ke rumah. Aku berusaha tidak menyembunyikan euforiaku ketika bisa berbicara dan duduk bersisian dengan Risya. Walau sebenarnya, aku ingin melompat saking senangnya.

Dan berita yang entah harus kusebut berita suka atau sedih itu datang, hubungan Risya dan Iwan berakhir.

"Aku udah putus sama Iwan, Gal," kata Risya kala itu. Perasaanku seketika lega saat rumor itu ternyata benar.

"Hmm ... tapi, aku nggak bisa pacaran dulu sama kamu."

Aku yang hendak menanyakan perihal itu seketika urung. Jam kosong seperti sekarang benar-benar menutupi pembicaraan serius kami.

"Ntar aku disebut apa udah putus langsung pacaran," jawabnya pelan dengan kepala menundukk dan wajah yang merona. "Gapapa, kan?"

Aku menarik dua ujung bibirku ketika wajah cemas itu mendongak dan netranya menatap tepat ke arahku. Perasaan bahagia yang kuyakini telah hilang, kini serta-merta datang. Rasanya aku ingin berteriak pada setiap orang kalau aku benar-benar bahagia sekarang.

"Kamu ... masih itu kan sama aku?" bisiknya dengan suara pelan.

Pipiku jadi terasa memanas. Semoga tidak semerah yang dimunculkan di kedua pipi Risya itu. Aku tahu jelas apa yang dimaksud itu oleh Risya.

Aku pun mengangguk pelan dan balik bertanya, "Kalau kamu, Sya?"

Risya berbalik ke depan dan menyobek secarik kertas lalu menuliskan sesuatu di atasnya. Ia meremukannya dan memberikannya padaku.

Aku juga itu sama kamu. Tunggu aku ya.

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro