27
"Kemarin sore kamu ke mana?"
Aku yang mau masuk kelas, terpaksa berhenti. Aku kira Rama memang sedang iseng berdiri di pinggir pintu, bukannya menghalangiku masuk dan membiarkan yang lain lewat begitu saja.
Memangnya aku punya masalah apa sama dia? Perasaan sudah lama kami tidak berdebat, lebih tepatnya aku menjauhi bibit permasalahan dengan Rama.
"Emang kenapa? Urusannya sama kamu apa?" kataku sambil mengangkat dagu. Kalau bicara dengan Rama harus berani, nanti dia malah makin nggak tahu diri.
Rama berdecak. Rautnya yang judes, sekarang malah makin menyeramkan. Anak ini ... waktu ibunya ngidam makan apa sih?
"Emang nggak ada urusannya sama aku. Tapi kalau ada masalah sama temenku, berarti masalah aku juga." Rama sedikit meninggikan nada bicaranya. Beberapa orang sontak saja menoleh lalu beralih ke kesibukan mereka masing-masing.
Rama marah itu sudah menjadi hal biasa. Kalau giliranku yang teriak, satu kelas pasti heboh. Bukan aku yang jarang marah. Tapi mereka seperti menyukai kalau aku kelihatan kesusahan.
"Aku nggak bikin masalah sama temen kamu kok! Jangan nggak jelas deh! Cepet tua tau marah-marah terus," ujarku berusaha mencairkan suasana, sekaligus menenangkan diri karena lama-lama dengan Rama bikin aku takut juga.
"Iwan nunggu kamu kemarin sampe malem," sahut Rama. Suaranya memelan. Aku saja hampir tidak kedengaran.
Dahiku mengerut. Iwan memang meneleponku saat aku di rumah Regal, hanya beberapa kali saja. Tidak ada pesan. Lagi pula, sebelum aku ke rumah Regal, aku mengirim pesan singkat padanya. Aku pikir Iwan mengerti dan membatalkan pertemuan kemarin hingga aku pun tidak terlalu memikirkan itu. Tapi sekarang Rama malah ikut campur, berarti ada sesuatu yang tidak beres.
"Aku udah bilang nggak jadi. Aku ada urusan kemarin."
"Emang urusan kamu apa sampai ninggalin perayaan kalian yang keempat tahun?"
Seketika tubuhku kaku. Perayaan apa?
"H-hah?"
Rama lagi-lagi berdecak. Matanya mendelik. Tampaknya tidak suka sekali padaku. "Aku sebenernya males ya ngurus hubungan kalian berdua, apalagi ceweknya kamu, nggak tau diri. Tapi ini demi sahabatku."
"Aku nggak tau diri apa?" timpalku sedikit kesal.
"Kamu lupa kemarin kalian itu hari jadi keempat tahun? Aku sama Dimas ikut bantuin hiasin tempat kalian makan malam. Tapi tiba-tiba kamu batalin janji kalian, bilangnya ada urusan."
Aku diam, aku baru ingat kemarin hari apa. Aku benar-benar lupa tanggal itu. Kalau sedang banyak masalah, kadang aku lupa hal-hal seperti itu. Sudah menjadi kebiasaan. Tapi kalau diingatkan aku pasti ingat. Hanya saja kemarin, tidak ada alarm apapun. Aku pun tidak pernah sengaja mengatur tanggal se-spesial pun hari itu.
"Kita bilang sama Iwan, kalau kejutannya diundur aja sampe kamu bisa. Cuma Iwan bilang, kalau diundur harinya malah kurang spesial. Dia terus teleponin kamu, tapi kamu nggak angkat. Terus kamu tau dia ngapain?"
Aku tetap bergeming. Takut untuk menebak, tapi aku tahu pasti jawaban Rama selanjutnya.
"Iwan nunggu kamu sampe jam sepuluh. Dia masih berharap kamu datang, seenggaknya inget. Tapi kamu tetep nggak ada. Kalau aku jadi Iwan, aku bakalan benci sama kamu, Ca."
Benar. Iwan sebaik itu. Cowok itu selalu berpikiran positif walau aku selalu memberikan hal sebaliknya. Iwan tidak pernah berprasangka buruk atau menuduhku, kecuali apa yang kulakukan sudah dilewat batas toleransinya.
Semua yang dijelaskan Rama barusan, berhasil menimbulkan rasa bersalah yang amat besar. Aku bahkan bingung untuk memberikan pembelaan karena aku sendiri yang salah di sini.
"Iwan mana?" tanyaku pelan, rasanya aku tidak layak menyebut nama cowok sebaik itu. "Dia sekolah?"
"Iwan izin."
**
Keesokkan harinya, aku terpaksa ke sekolah dengan perasaan mendung. Setelah kemarin ke rumah Iwan, rumah itu kosong. Hanya ada pembantunya yang memang sesekali datang. Chat-ku tidak dibaca sama sekali olehnya, bahkan saat aku sengaja telepon, lagi-lagi Iwan tidak menghiraukannya. Apa kesalahanku sekarang benar-benar tidak dimaafkan olehnya?
"Muka kamu kenapa? Lecek amat," komentar Bila saat baru saja datang dan melihatku yang hanya mengusap-ngusap layar ponsel. Aku meliriknya sekilas dan menghela napas lelah.
"Cerita aja ih! Ada apa?" tanya Bila saat sudah duduk di depanku. Aku cuma bergeming. Bingung juga mau cerita atau nggak, mengingat bagaimana perjalanan Bila dan Indah yang suka sekali membicarakan orang.
"Jadi kamu masih nggak percaya sama aku?"
Aku berdecak. "Mulut kamu yang bisa aku percaya."
Bila cengengesan, sepertinya paham apa yang aku bicarakan.
"Sumpah deh nggak akan bocor. Ya kali rahasia sahabat sendiri aku sebar-sebarin ke orang-orang. Jahat banget, kan?" ujar Bila. "Lagian, kamu bukan orang yang penting-penting banget. Kalau aku sebarin, pasti orang juga nanya kamu siapa."
Aku mendelik. Walau benar apa yang dikatakan Bila, tetap saja aku kesal mendengarnya.
"Hehe maap," kata Bila nyengir. "Jadi ini soal apa? Hubungan kamu sama Iwan?"
Terpaksa, aku mengangguk. Lagian gemas juga aku pendam lama-lama dari semalaman. Tidak ada tempat aku bercerita. Mungkin ini percobaan pertamaku curhat sama cewek. Semoga tidak membuatku kecewa dan trauma.
"Kalian kenapa?" tanya Bila dan mencodongkan diri ke arahku. "Dibilangin juga Iwan itu nggak cocok sama kamu. Heran aku kenapa kalian langgeng."
"Iwan itu baik, Bil," ujarku membela. "Pokoknya kamu bakalan baper deh kalau liat baiknya Iwan. Nggak akan tega kamu jahatin sama ngata-ngatain dia pas tau baiknya dia gimana."
Dahi Bila mengerut. "Oh gitu? Nggak kebayang sih! Berandalan gitu. Tapi kalo cowok yang nakal trus baik sama satu cewek, kayaknya bakal baper sih!" katanya dengan mengangguk-angguk paham.
"Trus masalah kalian apa?" lanjut Bila lagi.
Tanpa ditutup-tutupi, aku menceritakan kejadian kemarin. Mumpung tidak ada Indah juga. Cewek itu susah ditahan kalau lagi kesal atau gemas. Bisa saja teriak atau melakukan hal berlebihan di luar ekspetasiku.
Bila sesekali mengangguk dan mengerutkan kening. Dia begitu fokus mendengar penjelasanku.
"Trus perasaan kamu sama Iwan gimana?"
Aku terdiam sebentar dan mengembuskan napas panjang. "Nggak tau."
"Lah, kamu yang punya perasaan."
"Menurut kamu gimana?" tanyaku balik.
"Aku mau nanya dulu," kata Bila. "Pertama kali ketemu Iwan di mana? Terus kenapa bisa jadian?"
"Aku sama Iwan temen kecil. Kakakku sibuk dulu, jadi aku nggak bisa main sama dia," dustaku. Aku tidak mungkin menceritakan salah satu aib keluargaku. Apalagi Kak Riko sudah tenang di sana. "Jadi, ya kami sering ketemu. Trus pas SMP Iwan nembak aku, ya aku seneng dong! Dan aku terima. Singkatnya gitu."
"Kayaknya kamu salah ngartiin perasaan kamu deh!" celetuk Bila dengan wajah yang agak bingung.
"Jangan ngomongin perasaan, kamu juga belum pernah pacaran," kataku jutek.
Mata Bila mendelik. "Jangan nyepelein aku ya, Ca. Gini-gini juga aku suka baca novel-novel cinta-cintaan gitu. Jadi, pengalamanku bisa lebih maju daripada kamu yang cuma ngadepin satu cowok. Tapi aku udah tau segala macem jenis pacaran tuh kayak gimana."
"Trus menurut kamu, aku harus gimana? Aku nggak ikhlas kalau Regal sama Kia. Tapi aku juga belum rela mutusin Iwan. Apa aku nggak bisa pilih dua-duanya gitu?" kataku iseng.
Bila refleks memelotot padaku. Aku juga tahu apa yang dikatakan olehku salah. Tidak mungkin aku berhubungan dengan keduanya. Mau tidak mau, aku harus memilih salah satu.
"Bagi-bagi dong, Ca! Perkembangan jomblo tuh makin pesat, jangan bikin spesiesnya makin banyak."
"Iya, iya," kataku ngalah. "Apa aku lanjut sama Iwan gitu, ya?"
Bila menggeleng. "Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sakit hati liat Regal sama cewek lain. Tapi... kamu sendiri sakit hati nggak waktu Iwan bareng cewek lain juga?"
Aku terdiam. Selama ini Iwan selalu bersamaku. Iwan dikenal jutek sama cewek dan lebih sering menjahili mereka atau menyentak. Jarang sekali dia akrab dengan cewek. Alasan yang pernah dia bilang, dia ingin menghargaiku sebagai pacarnya. Jadi, sejauh ini aku tidak pernah tahu rasa kesal melihat Iwan dengan yang lain. Jadi, bersama Regal aku tahu artinya cemburu.
"Kamu nggak suka Iwan, Ca," ucap Bila melihat diamku.
"Hah?"
"Cemburu bukan cuma waktu kamu kesel liat dia sama yang lain aja. Tapi waktu kamu sama dia jauh, kamu selalu kepikiran 'apa dia sama yang lain? Apa dia ngobrol sama yang lain?' Itu, Ca. Terus liat kamu mikir lama gini, aku tahu kamu belum pernah rasain itu, kan, waktu sama Iwan?"
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro