25
"Ra, kamu denger aku, kan?"
Aku tersentak saat dirasa seseorang menyentuh punggung tanganku. Dan Iwan sedang meraih atensiku yang tadi sempat hilang karena terlalu banyak memikirkan perkataan Regal saat jam istirahat pertama tadi.
"Eh apa, Wan? Maaf tadi nggak kedengeran."
"Nggak kedengeran atau nggak denger?" tanya Iwan skeptis.
Aku malah nyengir nggak jelas. Bingung mau menjawab apa.
"Malam ini bisa, kan?"
Aku mengerjap. Tadinya aku hampir tenggelam dalam lamunan lagi. Aku yang berpura-pura paham hanya mengangguk.
"Bisa kok bisa."
Iwan tersenyum lega mendengar jawabanku.
Kantin ramai seperti biasa. Tapi bagiku, ada hal yang berbeda. Biasanya, aku dengan Bila dan Indah. Tapi mereka seperti menjaga jarak dariku. Iwan menjadi sosok yang selalu ada di sampingku. Mungkin inilah alasan orang pacaran kadang waktunya berkurang bersama teman-teman. Mereka akan merasa sungkan karena seolah mengganggu.
"Kamu nggak bosen apa sama aku terus? Biasanya bareng Rama sama Dimas."
Iwan menatapku heran. "Emang kenapa? Kamu ya yang udah bosen sama aku?"
Aku refleks saja menggeleng. "Ya, aneh aja."
"Kan aku udah pernah bilang. Temenku banyak, tapi kamu cuma satu. Jadi nggak apa-apa."
Aku merengut. "Itu sih kelihatannya kamu dateng pas lagi ada butuhnya doang."
Iwan malah terkekeh geli dan kembali menyeruput kuah sotonya. Entah kenapa, aku jadi merasa enggan bersama Iwan. Cowok ini terasa berbeda bagiku sekarang. Bukan Iwan yang kukenal dulu. Tapi mungkin itu perasaanku saja. Mungkin sekarang situasinya sangat berbeda. Dulu kami susah sekali bertemu, sekarang kami justru terang-terangan soal hubungan kami.
"Wan, sekarang aku ada latihan nari. Jadi nggak bisa pulang bareng."
Iwan beralih menatapku lagi. "Bukan buat lomba, kan?"
Aku menggeleng dan Iwan tersenyum tipis. "Boleh. Asal jangan kecapekan. Nanti aku jemput. Soalnya aku ada latihan futsal juga."
Sebenarnya, aku ditawari menari di acara anak kepala sekolah. Katanya beliau kagum pada bakat menariku. Lumayan juga ada bayaran yang kudapat. Tapi mengingat janjiku pada Iwan bahwa lomba itu merupakan kali terakhirnya aku ikut, aku mengurungkan niatku.
"Aku beneran nggak boleh lagi nari depan umum, ya?" tanyaku iseng. Satu-satunya bakatku hanya itu. Jadi, kalau misalnya aku hanya menari untukku sendiri, rasanya percuma saja. Bukankah bakat untuk ditunjukkan untuk orang lain, ya?
"Kita pernah bahas ini, Ra. Kamu tau kan alasan aku larang kamu?" Intonasi Iwan meninggi, lebih tegas. Nyaliku turun beberapa persen.
"Tapi, Wan ... aku nari kan--"
"Pembahasan selesai," timpal Iwan cepat dan menaruh sendoknya agak disentak. Beberapa orang melirik pada kami penasaran. Aku pun hanya menunduk sesaat Iwan pergi begitu saja meninggalkanku.
Iwan yang seperti ini, baru kutemui sekarang. Cowok itu jadi mudah marah dan asal pergi saja. Entah apa yang membuat cowok itu seperti itu. Atau memang itu adalah sosok Iwan yang baru muncul ke permukaan?
**
Aku meremas botol plastik air mineral yang isinya masih penuh. Di sana, tepat di atas kursi semen depan koridor, aku melihat Regal dan Kia duduk bersama. Di mana di antaranya ada buku tulis yang kuyakini milik Regal. Dari sini, aku melihat mereka begitu dekat, bahkan tanpa celah. Entah kenapa aku ingin sekali melempar sepatuku pada Kia.
"Ih gila Kia gercep amat, ya." Itu komentar Niki yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Aku hanya menghela napas kesal, mood-ku buruk kali ini.
Aku pun beranjak pergi lantas melewati Kia dan Regal yang sepertinya tidak memedulikan keberadaanku sama sekali. Panggilan Niki sama sekali tidak aku gubris. Pasti teriakkan cewek itu setidaknya membuat sejoli itu menengok dan aku tidak mau tahu bagaimana respons mereka.
"Kalo cemburu bilang," ledek Niki yang berhasil menyatarai langkahnya di sampingku. Aku mendengus kesal.
"Siapa yang cemburu, aku kan udah ada pacar."
Aku duduk di lantai samping tasku. Kami diberi waktu istirahat 15 menit untuk sekadar beli minum dan mengistirahatkan badan. Tinggal satu sesi latihan lagi, setelah itu kami bisa dibubarkan.
"Cuma orang buta yang nggak liat tatapan tajem kamu itu, Ca."
Aku mendelik. "Aku biasa aja kok! Jangan sok tau kamu!"
"Dih!" Niki melempar tisu bekas padaku dan langsung aku pelototi. "Awas ya kalau mereka beneran jadi, jangan nyesel karna nggak ngaku."
"Ngaku apa sih, Ki? Aku kan ada Iwan!"
Niki merubah posisi duduknya yang tadi di sampingku, sekarang beralih menghadapku. Cewek ini tampak serius, tidak seperti tadi yang penuh ledekkan.
"Iwan itu banyak minusnya! Semua kelas anak kelas sebelas udah tau cowok itu gimana," ujar Niki gemas. "Ya emang sih jarang keliatan sama cewek. Tapi gimana, ya, aku nggak srek sama Iwan juga. Kayak ... nempelin kamu terus. Risih nggak sih kamu?"
Aku bergeming, tidak langsung mengiyakan apalagi menolak. Karena apa yang dikatakan Niki benar adanya. Duniaku malah seperti mulai menyempit, Iwan jadi sering di sekitarku. Dia pergi hanya ketika temannya memanggil atau latihan futsal, sisanya jika aku di rumah.
Kami pun jadi sering bertemu hampir dua hari sekali. Iwan selalu punya tempat baru yang ingin dikunjungi. Harusnya aku senang kalau hubungan kami berjalan lancar. Tidak ada kejadian yang selama ini aku takutkan. Paparazi yang kuyakin ada, hanya lewat sebentar. Sekarang kalau kami digoda pun, aku malah bersikap biasa saja.
Aneh memang.
"Y-ya biasa aja. Kenapa sih kamu yang repot?"
Niki berdecak. "Bukannya kenapa-kenapa, aku sebagai temen peduli aja. Yaudah sih kalau kamu maunya sama Iwan, aku cuma ingetin kamu aja kok!"
Niki pun pergi dengan raut kesal. Sebegitu terlihatnya tatapanku pada Regal? Apa Iwan juga menyadari hal itu? Aku tidak tahu pasti, lagi-lagi Iwan tidak lagi mengutarakan keberatannya soal Regal. Cowok itu kerap mengernyit tidak suka kalau aku mulai dengan pembicaraan serius, seolah ada yang dihindari.
Saat hendak membuka segel botol mineral yang baru kubeli, ponselku yang kutaruh di atas pangkuan bergetar. Di sana, Iwan mengirimkanku pesan singkat.
Aku nggak bisa jemput kamu. Nanti aku ke rumah jam 7.
Aku menghela napas panjang, rasanya aku ingin rehat dari hubungan seperti ini.
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro