Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22

"Hari ini aku mau duduk sama pacarku."

Kelas yang tadinya agak hening, sekarang benar-benar senyap dan menyorot ke arah kami. Rasanya aku ingin dihisap bumi dalam sekejap daripada menjadi pusat perhatian seperti ini, seolah sedang diterkam puluhan harimau.

"Hah?" Bila duluan memecah keheningan. Bila memang menjadi pelopor kalau sudah giliran memojokkan Iwan.

"Wan, jangan ngaku-ngaku deh!"

Bila berdiri dan Iwan mendelik jengah ke arah cewek itu.

"Denger ya Indra Wahyu Nasution. Punya kaca, kan di rumah? Udah liat gimana kamu, kan? Tau diri aja sih kenapa bisa ngaku-ngaku pacaran sama Risya. Tiap hari ledek mulu!"

Iwan kini merespons dengan menghadap ke arah Bila sambil menatap tegas cewek yang tingginya hanya sepelipis Iwan itu.

"Kalau aku beneran pacarnya Risya, kenapa? Urusannya sama kamu apa?"

Bila terkekeh, apa yang dikatakan Iwan seperti sebuah lelucon bagi cewek itu. Bila yang kukenal teladan, sekarang seperti seorang medusa. Entah alasan kuat apa hingga cewek ini begitu semangat meledek Iwan.

"Kamu abis kepentok apa sih? Sadar woi!"

Iwan berdecak, apalagi beberapa orang mulai ikut mendukung Bila. Aku juga benar-benar heran kejutan yang diberikan Iwan hari ini. Jika aku menjadi salah satu dari teman sekelasku pun, aku langsung meledeknya. Bagaimana bisa yang tiap harinya adu mulut tiba-tiba dikabarkan sedang punya hubungan? Pasti orang pun akan menganggapnya seperti sesuatu yang gila.

Tiba-tiba saja Iwan langsung menyorotku. Aku tahu cowok ini minta pembelaan dariku. Posisiku sekarang benar-benar dilematis. Jika aku menjawab jujur, sudah pasti hubungan kami tidak akan lagi sama. Tapi jika aku menyanggah, aku malah membuat Iwan malu.

"Jadi dia, ya, Sya?"

Suara Regal menjadi rem kekehan beberapa orang. Bila pun meredakan ledekannya dan beralih menatap Regal heran.

"Oh kata Risya kamu nembak, ya?" Itu suara Iwan. Meski bernada lembut, aku merasakan sesuatu dari pertanyaan yang terlontar itu, yang menimbulkan perasaan sedikit kesal.

"Tapi Risya udah punyaku, Gal. Jadi, ya sekarang kamu harus ngerti posisi kamu."

**

Aku baru merasakan bagaimana rasanya didiamkan satu kelas. Mereka tidak memusuhi, hanya sekadar masih terheran seolah baru melihat keajaiban dunia yang kedelapan. Mereka saja kaget, apalagi yang menjadi korban di sini.

"Gilagilagilagilagila! Giiilaaa!" Indah menggeleng beberapa kali. Aku pun risih melihatnya, responsnya terlalu berlebihan. Sementara Bila, cewek itu malah bergabung dengan teman lainnya daripada duduk satu meja dengan Iwan.

Saat ada penegasan dari Regal, Bila pun jadi cenderung menjauhiku. Yang biasanya meminjam alat tulis padaku, Bila berpindah haluan pada orang lain. Mungkin memang berat melihat teman sendiri ternyata pacaran dengan musuh. Malah kesannya seperti pengkhianat. Tapi bagaimana lagi, hubunganku dengan Iwan jauh dimulai sebelum mereka saling mengibarkan bendera permusuhan masing-masing.

"Kalian kenapa baru sekarang go public hah? Kenapa sok-sok musuhan padahal pacaran? Mau bikin drama? Kalo ada, yakin deh rating-nya gede banget. Jago sih aktingnya."

Aku hanya meminum jas manggaku. Aku tidak berselera makan, apalagi setelah kejadian di kelas tadi.

"Emang kenapa? Nggak boleh?" tanya Iwan sewot.

Indah mendelik. "Ya nggaklah! Risya itu kayak berlian, masih suci. Trus pacaran sama kamu? Dih kek tai ayam ngotorin, tau nggak?"

Iwan berdecak dan kulihat cowok ini mendelik tak suka. "Emang aku sekotor itu apa? Justru dulu aku itu banyak pengagumnya waktu SMP, sekarang aja akting nakal."

Indah malah terkekeh. "Halah banyak alesan kamu." Dia lantas menatap ke arahku. "Ca, aku ingetin, ya. Regal tuh sepuluh kali lebih baik dari cowok ini. Dasar kamu ya, udah kena pelet apa?"

"Nyesel aku biarin kamu temenan sama makhluk ini," sindir Iwan sambil melirik padaku.

Indah mendengus, sepertinya energi cewek ini kehabisan karena sudah terlalu banyak memaki Iwan. Aku saja masih belum mendapatkan kejelasan soal keputusan Iwan untuk mengumumkan hal ini secara cepat dan tiba-tiba. Aku pikir, Iwan tidak akan kepikiran lagi untuk membuka hubungan kami. Tapi lagi-lagi sikap cowokku ini terlalu mengecoh. Di balik ketenangannya, banyak sekali hal yang sulit aku duga.

**

"Gimana sih kok tuan putri rambutnya awut-awutan gini."

Aku mendengus mendengar perkataan Iwan. Setelah turun dari motor dan membuka helm, cowok ini dengan inisiatifnya merapikan rambutku. Aku yang tadinya minta klarifkasi atas tingkahnya hari ini tertahan sebentar.

"Lebay sih! Sejak kapan kamu kayak gini?"

Iwan mengernyit. "Emang aku kenapa? Perasaan aku gini-gini aja kok!"

"Soal di kelas tadi?" timpalku cepat, takutnya Iwan banyak bicara lagi. "Maksud kamu apa? Pas kemarin tiba-tiba pergi, terus hari ini dikagetin kayak tadi. Kamu itu maunya apa sih? Mau bikin aku kesel? Mau bikin aku jantungan? Ntar mau ngapain lagi?"

Aku mencoba meredakan napasku yang menjadi cenderung cepat. Seperti ada dorongan untuk menangis, tapi cepat aku tahan. Aku tidak ingin urusan serius ini malah hancur karena perasaan melankolisku. Mungkin aku terlalu lelah atas semua kejadian dadakan beberapa hari ini tanpa jeda.

"Udah?" Iwan malah terkekeh geli melihatku. "Aku cuma nggak sabar aja nunggu hubungan kita diketahui banyak orang. Rasanya sakit, Ra. Jadi gapapa, kan?"

Aku mendengus. "Nanyanya telat!" sentakku kesal. "Kenapa chat aku nggak dibales, teleponku juga nggak diangkat? Atau kamu beneran sengaja ya bikin aku kesel? Iya?"

Iwan lantas memegang dua bahuku. Aku memangku tangan sembari berpaling ke arah lain, khas cewek ngambek dimana permintaannya tidak dikabulkan.

Tapi mau bagaimana lagi, kelemahanku itu wajah Iwan. Cowok ini memang ganteng, tapi tingkahnya yang bikin orang geleng-geleng.

"Bukan gitu. Aku juga sibuk ngerjain tugas itu, gimana aku ada waktu buat bales pesan kamu."

Aku pun menoleh lagi cepat pada Iwan. "Trus kenapa kemarin langsung pergi?"

Iwan menurunkan kedua lengannya dan terkekeh lagi. Sisi seperti ini yang sulit aku tebak isi pemikirannya. Padahal, aku sedang mengintrogasi dengan serius. Tapi pembawaan Iwan yang santai malah membuatku menjadi terlihat berlebihan.

"Itu masalah kemarin, oke? Nggak usah diinget-inget lagi. Pokoknya sekarang kita nggak usah sembunyi-sembunyi lagi, ya?"

"Tapi--"

Ucapanku terpotong begitu saja saat Iwan mendorongku masuk ke dalam rumah. "Udah, mandi dulu sana. Nanti kita jalan lagi."

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro