20
Aku sudah lupa bagaimana rasanya canggung pada teman. Aku ingat sekali dulu sewaktu SD hingga setahun di SMP, aku pendiam sekali. Walau aku ikut sanggar tari di rumah, bukan berarti aku berani membuka diri di lingkungan sekolah. Aku kerap menunduk daripada mendongakkan kepala. Iya, semejak keluargaku ditimpa musibah aku menjadi enggan berinteraksi dengan orang.
Justru aku lebih tenang ketika tidak ada yang menganggapku ada. Itu lebih baik daripada bicara panjang lebar dengan seseorang, kecuali bersama Iwan. Jati diriku yang sebenarnya seolah muncul begitu saja jika bersama cowok itu.
Tapi perlahan kepopuleran Iwan terlalu menyilaukan. Aku malah rendah diri, tapi dari perasaan itu, aku lawan rasa takut dan minder hingga akhirnya aku berani tampil di depan. Debut pertamaku sebagai penari tradisional adalah ketika perayaan hari kemerdekaan di sekolah. Perlombaan antar kelas diadakan dan kelasku diwakili olehku untuk ikut lomba tari. Dari situ, orang-orang mulai mengenalku bukan hanya sebagai 'benalu' bagi Iwan.
Aku mulai terbiasa oleh sapaan orang-orang, aku pun menjadi banyak bicara dan berani tampil di depan. Aku kadang mulai mengajak orang bicara, meski kami masih orang asing. Kecanggungan yang dulu menjadi sifatku hilang tak berbekas. Aku menjadi Risya yang supel dan ramah, itu kata orang-orang.
Dan sekarang ... karena kejadian malam tadi, Risya dulu seolah muncul lagi. Mengingatkanku bahwa aku pernah menjadi sosok yang lemah dan tidak berani mengutarakan pendapat serta emosi. Semuanya hanya bisa dipendam.
Aku sangat canggung sekarang, melebihi ketika aku tahu Regal ini anak pengusaha kaya raya. Sekarang, setiap aku mencoba membuka mulut, rasanya takut sekali jika hanya cicitan yang keluar.
Rasa bersalah itu masih sangat berbekas. Rasa bersalah itu terus menghantuiku semalaman. Belum lagi, ada setitik penyesalan yang terselip di sana.
"Maaf."
Itu kata yang keluar dari mulut Regal setelah beberapa menit guru keluar dan berganti jam pelajaran. Kami sama sekali belum bicara dan satu kata itu yang memecah keheningan kami.
"Aku nggak tau soal kamu, Sya."
Indah dan Bila masih mengerjakan tugas. Mereka tidak mengintrogasiku sama sekali, Andri pun begitu. Justru hal itu yang membuatku heran.
Aku mendengar suara sobekan kertas dan melirik pada Regal yang sepertinya sedang menulis sesuatu.
Aku udah bilang sama tiga orang itu kalo aku nggak jadi bilang suka sama kamu. Aku mohon kamu jangan ngejauh. Anggap aja malem tadi nggak pernah ada.
Aku tersentak di akhir kalimat yang ditulis Regal dalam surat dadakannya padaku. Kejanggalanku perihal Indah, Bila, dan Andri terjawab. Tapi kalimat terakhir Regal sedikit mengguncangku. Rasanya aku tidak terima, rasanya aku tidak suka. Bagaimana dengan mudahnya Regal bilang untuk melupakan itu, sementara topik malam tadi terbilang sangat penting?
Tapi tunggu ... bukannya aku harus kembali tenang jika Regal menarik ucapannya? Lalu, kenapa rasanya aku malah marah?
Akhirnya, aku tidak membalas surat itu. Aku malah meremasnya dan kusimpan dalam tas, takutnya ada yang baca. Tanpa sadar, aku mendengus pada Regal dan memilih menyalin tulisan guru yang belum selesai kupindahkan ke dalam buku.
**
"Regal ke mana? Kok kamu di sini?"
Indah mengernyit seolah keberadaanku aneh di sini. Padahal, kemarin-kemarin cewek ini yang menarikku untuk ke kantin. Dasar manusia.
"Emang nggak boleh? Emang aku harus terus sama cowok itu? Nggak, kan?" timpalku sewot. Surat dari Regal membuat emosiku agak labil, padahal akalku bilang apa yang dikatakan Regal itu keputusan yang lebih baik. Tapi kenapa hatiku malah menolaknya?
"Biasa aja kali, mentang-mentang nggak jadi--"
Bila sontak saja memukul meja dan memelotot pada Indah. Aku malah mendengus dan tidak mengacuhkan duo racun ini. Omong-omong, cocok sekali mereka. Indah yang bawel dan Bila yang tukang remnya.
Aku malah keenakan menyeruput sop buah milikku. Masalahku dengan Regal berimbas pada nafsu makanku, jadi aku terpaksa menggunakan uang bekal yang tadinya akan kukumpul buat beli kuota. Mamaku memang segitu pelitnya. Beliau kasih pilihan, mau aku yang lapar atau handphone-ku yang keabisan jiwa karena tidak bisa dipakai internet. Dan untuk kali ini, aku memilih memuaskan nafsu kesalku pada sop buah ini.
"Wee tumben si kecil jajan, dapet ngepet dari mana nih?"
Iwan tiba-tiba saja duduk di sampingku. Cowok ini memang akan berpura-pura menjadi pembully nomor satu kalau sedang mau mendekatiku. Maksudnya, mengurangi kecurigaan kalau kami punya hubungan lebih.
"Biasalah abis patah hati."
Indah menatapku prihatin, lagi-lagi aku tidak peduli. Lagian apa yang dikatakan Indah tidak benar.
"Punya hati juga nih bocil," ledek Iwan. Cowok ini memang seenaknya nyari nama panggilan.
"Jangan suka ngeledek, ya, Wan. Kecil-kecil juga Risya itu banyak yang suka."
Aku sontak saja mendongak dan melihat Bila yang menatap tajam Iwan. Bila memang seperti punya dendam kesumat sama cowokku ini. Jadi, tidak aneh kalau Bila ngomong macam-macam saking kesalnya.
"Ck! Jangan nyebar berita hoax! Mentang-mentang kamu temennya, jangan sembarang fitnah dong!" timpal Iwan tak terima.
Bila memelotot, aku tidak tahu harus apa kalau cewek ini malah bilang yang tidak-tidak.
"Kemarin!"
Aku sontak saja memelotot dan hendak berdiri, tapi Bila sudah terlanjur meneruskan kalimatnya.
"Regal mau nembak Ica tau!"
Kantin mendadak hampir senyap, tapi sesaat. Hanya saja, meja ini masih terkesan hening saat Bila mengatakan hal sejujurnya. Tampaknya, cewek ini juga puas setelah berkata sejujurnya. Terlihat dari matanya yang melirikku dan menatap Iwan penuh kemenangan.
"Regal tadinya mau nembak Risya, tapi katanya dia masih takut ditolak. Jadi ...." Bila menatapku dan malah membuatku panas dingin, apalagi ada Iwan di sampingku.
"Kamu terima, ya, Ca, kalo Regal nembak. Kamu harus tunjukkin sama setan dugong ini kalo kamu itu laku, ada yang mau."
Giliran cewek ini melirik pada Iwan sembari berdecak. "Daripada jomblo teriak jomlo, dih nggak tau diri banget."
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro