Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17

Kedekatanku dengan Regal makin kentara. Bahkan, dulu aku yang sering saja kesal karena gosip soal kedekatan kami, menjadi tidak lagi menghiraukan hal itu. Aku jadi sering pulang bersama Regal, bertandang ke rumahnya, dan sesekali bercengkerama dengan Tante Raya bila beliau tidak ada pekerjaan. Jika Tante Raya sibuk, paling aku membantu para ART atau tukang kebun rumah Regal yang ramah sekali padaku.

Aku juga jadi sering pulang sore, sehingga Mama kadang menceramahiku. Tapi kala aku bilang alasannya ke rumah Regal, Mama pasti bilang, "Udah, kamu sekalian aja jangan pulang."

Mama seperti punya maksud lain untuk mendekatkan aku dengan Regal. Sebelumnya, Mama tidak terlalu peduli pada urusan percintaanku. Bila ada Iwan pun, Mama tidak memberikan reaksi berlebihan seperti mendukung atau justru menolak. Mama sejenis orang yang cuek, tapi kalau aku membuat masalah, Mama tidak mungkin melewatkan waktu untuk memakiku.

Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini aku ke rumah Regal berniat mengerjakan tugas bersama. Tugasnya memang untuk dikerjakan per individu, tapi nggak ada salahnya juga menyelesaikannya hari ini.

"Kamu kok pinter banget sih, Gal? Guru kamu pasti bagus banget ya waktu homeschooling?" tanyaku di sesi kami beristirahat setelah mengerjakan sepuluh soal Ekonomi. Aku duduk selonjoran dengan tinggi meja seperutku. Regal masih saja rajin mengerjakan soal berikutnya, sementara aku sudah banyak ngemil.

"Kata Bu Rika, kalau mau pinter harus rajin belajar."

Kernyitan heranku hilang, berganti jadi penasaran. "Kenapa mau pinter? Kamu udah kaya lho, Gal. Maksudku, orang kaya kan nanti bisa dapet apa saja, termasuk nanti kalo mau kuliah tinggal tunjuk aja mau dimana."

Aku mengatakan semua pengetahuanku yang kudapat dari beberapa novel atau sosial media para sosialita yang memamerkan hartanya, belum lagi background sekolah yang berisi kaum konglomerat.

"Trus juga kamu kayaknya nggak usah sekolah tinggi-tinggi. Kamu kan anak tunggal, nanti usaha orang tua kamu tetep ke kamuin, kan?"

Regal sontak saja menoleh padaku. Aku jadi menyalahkan bibirku yang seenaknya mengomentari hidup seseorang.

"Aku salah ngomong, ya?"

Regal mengembuskan napasnya. Tampak sekali lelah. Cowok itu makin sini mulai bisa menunjukkan ekspresinya. Jika kesal ia akan mengulum bibirnya, jika lelah cowok itu akan menghela napas, ketika senang ia akan tersenyum tipis, dan saat ada yang lucu ia akan menahan ujung bibirnya agar tidak tertarik lebih lebar. Padahal, dulu semua itu tidak ada.

Dulu, justru aku kesulitan menerka apa yang Regal pikirkan dan rasakan. Sekarang aku malah penasaran raut baru mana lagi yang akan Regal tunjukkan. Haruskah aku berbangga diri jika perubahan itu karena aku?

"Aku cuma mau bantu Mama kerja, Sya. Kalau aku bodoh, gimana aku mau bantu Mama?"

Regal kembali mengerjakan tugas seusai meminum seteguk jus jeruknya. Regal dan pemikiran lugunya memang teramat langka. Niatnya sama sekali belum terkotori oleh keinginan naluri remajanya. Kebanyakan orang pasti punya keinginan mulia itu, tapi kadang suka melenceng karena ada keinginan lain. Dan Regal tidak seperti itu.

"Kamu sayang banget ya sama mama kamu?"

Regal berhenti menulis sesaat lalu mengangguk.

Seketika aku kemasukkan ide. Kalau situasinya melankolis begini, malah bikin aku canggung.

"Kalo sama aku sayang nggak, Gal?"

Sekarang tatapan Regal kembali mengarah padaku. Aku terkekeh melihat tatapan lugu bercampur heran padaku.

"Nggak usah liatin aku kayak gitu juga kali." Aku refleks mencubit pipi kanannya saking gemas melihat raut Regal. Aku malah tertawa kecil melihat lucunya rupa itu.

"Kalo aku beneran sayang sama kamu gimana?"

Tawaku sontak saja berhenti. Aku tidak terlalu menangkap maksud Regal, tapi aku jelas menangkap perkataan Regal itu.

"Y-ya, itu terserah kamu. Aku juga sayang sama kamu," sahutku berusaha meredam degupan jantung yang malah menggila. "Kamu temen yang nggak rese, nggak kayak yang lain."

"Tapi suka aku nggak gitu."

Aku terperangah mendengar bantahan Regal.

"Aku bukan cuma suka kamu ada di sini. Tapi...." Regal menelan salivanya. Ia menghela napas, tampak kelelahan.

"T-tapi apa?"

Regal hanya menggeleng dan menarik seulas senyum. Cowok itu kembali melanjutkan tugas tanpa mengklarifikasi ucapannya barusan. Dan entah kenapa ... ada sedikit kecewa saat Regal enggan menjelaskan maksudnya.

Tapi ... kenapa?

**

"Cie ... makin anget nih!" Andri berdiri di depanku dan Regal, menyabotase kami agar tidak masuk ke kelas. Aku mendelik, senyum Andri bikin orang ilfil.

"Apa sih pagi-pagi udah nggak jelas." Aku mencoba lewat sisi kanan cowok ini, tapi Andri cepat menahan dengan tangan kanannya. Pintu kembar yang dibuka sebelah mempersempit jalanku untuk masuk.

"Aku mau minjem Regal doang, Ca. Masa nggak boleh," sahut Andri dengan dua alis yang dinaikkan bersamaan.

"Emang Regal barang apa? Jangan aneh-aneh deh! Regal polos tau! Nggak kayak kamu udah berlumuran dosa!"

Andri menggeleng tidak percaya dengan tangan mengusap dada seolah dia yang teraniaya di sini, sementara aku tokoh antagonisnya. "Tega kamu ya sama temen sendiri. Kita tuh udah setahun bareng lho, Ca. Jangan ketipu sama kelakuan Regal," kata Andri lalu melirik Regal dengan senyum misterius seolah ada maksud di baliknya.

Aku refleks menoleh pada Regal yang masih tidak merubah raut datarnya, tidak ada hal yang mencurigakan.

"Nggak usah sok tau deh!"

Andri berdecak. "Lah ini anak nggak percayaan banget. Walau aku orangnya kayak gini, aku dipercaya lho buat ngasih nasehat. Regal aja curhat sama aku. Ya, nggak, Gal?"

Aku lagi-lagi menoleh pada Regal. Kali ini aku langsung menarik Regal ke belakangku. Andri itu bawa polusi, nanti pikiran Regal bisa tercemari. Aku lagi yang nanti disalahkan.

"Jangan ngarang kamu, Ndri," timpalku kesal.

"Yaudah terserah kamu." Andri mengangkat dagunya, matanya melirik sekilas pada Regal. "Jangan diem mulu. Ntar keburu diambil orang."

Aku mengernyit saat mendengar perkataan Andri yang super nggak jelas. Cowok itu melenggang pergi begitu saja meninggalkan kami. Aku lantas menghadap Regal untuk mendengar pernyataan langsung dari cowok ini. Sejak kapan Andri bisa sok akrab sekali sama Regal?

"Kok Andri kayaknya tahu soal kamu. Sejak kapan kamu suka ngobrol sama Andri?"

Setahuku, Regal ini kerap di dekatku. Jarang sekali aku melepaskan cowok ini. Jadi, aku tahu jelas dengan siapa Regal lebih banya berinteraksi.

"Waktu kamu istirahat nggak sama aku."

Aku mengernyit. "Kapan?" gumamku seolah tidak pernah mengalami hal itu.

"Udah lama. Waktu pertama masuk."

Aku tidak meragukan ingatan Regal yang memang terbilang tajam. Pertama kali masuk berarti itu di saat aku belum mengetahui soal Regal yang sebenarnya.

Ahh ... aku ingat. Itu di saat aku lagi minder-mindernya dengan Regal, sehingga lebih memilih istirahat di kantin bersama Indah dan Bila.

"Kalian ngomongin apa emang?"

Kulihat ada raut tegang di wajah Regal, tapi hanya sebentar. Cowok itu lekas menunjukkan raut tenang seperti biasa. Aku malah jadi merasa berhalusinasi tadi.

"Nggak ada."

Aku mengernyit nggak percaya. "Jangan bohong."

Regal terdiam sebentar. "Ayo masuk!"

Aku melengo heran melihat bagaimana cowok itu masuk begitu saja ke kelas, terlihat sekali menghindari topik yang aku tanyakan.

Sejak kapan Regal jadi seperti itu?!

Pasti ini perbuatan si Andri!

Dasar Playboy!

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro