16
Dulu Regal seperti balita biasanya, mudah tertawa dan menangis. Mudah sekali menyampaikan apa yang dirasakannya, mudah sekali marah dan kesal. Selalu saja ada emosi di wajahnya, entah itu suka atau duka. Regal kecil adalah sosok ekspresif yang pasti akan mengundang rasa gemas ketika melihatnya.
Itu yang kulihat dari beragam foto Regal saat usia balita dan mendengar penuturan ibunya secara langsung.
Tapi kejadian naas datang tanpa tahu tempat dan waktu. Masa kecil mesti diisi oleh pembelajaran dan ditunjukkan beragam isi dunia yang menarik, juga indah. Hanya saja Regal, tidak selamanya mengalami hal itu.
Menjadi orang yang sangat berpengaruh, selain disukai, harus siap juga untuk dibenci. Keirian teman bisnis dari orang tua Regal, mengundang kecelakaan besar itu. Regal yang dulu baru pulang bersama ayahnya dari sekolah, tiba-tiba harus merasakan bagaimana rasanya sakit ketika benda-benar berat menimpa badan kecilnya.
Mobil yang ditumpangi Ayah Regal ditabrak secara tragis dan membuat mobil itu berguling berkali-kali dengan dua orang itu di dalamnya. Entah keberuntungan sekaligus kesialan, Ayah Regal dapat membuka sabuk pengamannya demi memeluk Regal yang saat itu hanya bisa menangis histeris. Itu diketahui saat mereka ditemukan di hutan, dekat pembatas jalan yang mereka tabrak.
Regal menangis, wajahnya saat itu pucat melihat bagaimana banyak darah membanjiri wajah ayahnya, bahkan hingga menetes ke wajah mungil itu. Regal pun dinyatakan selamat dengan beberapa luka kecil dan kaki yang memar. Tapi mental anak lima tahun itu benar-benar ditempa keras.
Saat mendengar ayahnya dinyatakan meninggal diiringi ibunya yang berteriak histeris, bayangan akan tabrakan itu terus terulang di benaknya. Regal yang masih kecil merumuskan hal itu sebagai sesuatu yang mengerikan. Setiap malam ia ditemani oleh mimpi buruk yang sama. Lama-kelamaan, Regal menjadi menjadi pendiam.
Tante Raya sendiri tidak paham akan yang terjadi pada anak sematawayangnya itu. Yang ia tahu, Regal tidak lagi banyak bicara setelah menceritakan mimpinya itu. Beragam raut emosinya menghilang begitu saja. Cowok itu tidak lagi terbuka soal perasaannya. Regal hanya akan mengatakan apa yang diinginkan dan menjawab singkat apabila mamanya bertanya sesuatu. Tante Raya benar-benar cemas soal itu. Apalagi hal tersebut sudah berlangsung lama, menjelang Regal remaja.
"Tapi Tante menemukan keajaiban waktu Regal pertama kali masuk sekolah dan pulang ke rumah, Sya."
Senyum itu terulas lagi setelah sedari tadi Tante Raya menunjukkan wajah sendunya sembari mengusap air mata yang turun.
"Untuk pertama kalinya lagi, Regal cerita sama Tante tanpa ditanya lagi, Sya."
Aku ikut lega, setidaknya Regal sudah menunjukkan keadaannya yang lebih baik. "Regal cerita apa, Tan?"
Tante Raya tersenyum menatap bangga padaku. "Dia bilang, 'Ma, Regal ketemu perempuan cantik, dia duduk di samping Regal.' Mungkin kedengarannya sederhana, Sya. Tapi itu benar-benar bermakna buat Tante."
Jadi, Regal yang menceritakan tentangku bukan sebuah kebiasaan dari kecil? Melainkan sebuah hal yang baru saja terjadi lagi, yang sempat dulu menghilang.
"Dulu Tante takut sekali membawa Regal ke sekolah formal, tapi psikiater Regal bilang untuk membiasakan Regal di luar rumah biar anak itu bisa cepat sembuh."
Tante Raya mengusap rambutku lembut dan menarik kedua tanganku untuk digenggamnya. "Temani terus Regal, ya, Sya. Ini permohonan dari hati terdalam Tante. Kata psikiater Regal, kamu bisa menolong Regal untuk kembali. Atau seenggaknya ada perubahan kecil. Apapun, Tante kasih selama kamu mau bantu Tante."
Aku merasakan begitu besarnya kecemasan yang dialami Tante Raya. Aku merasakan genggaman tangannnya dingin dan sedikit gemetar. Hatiku terenyuh saat linangan air terus berjatuhan dengan mudahnya. Kalau sudah begini, bagaimana aku tega untuk menolak?
"Tante nggak usah khawatir," kataku sembari mengusap lengan Tante Raya berusaha menenangkan wanita paruh baya ini. "Risya bakal terus jadi temennya Regal kok! Risya nggak akan ninggalin Regal. Risya janji!"
**
Tekadku untuk membuat Regal sembuh sekarang sudah bulat. Tidak ada lagi keraguan seperti sebelum-sebelumnya. Apalagi melihat penerimaan Tante Raya, aku mulai sedikit membiasakan diri. Walau aku masih agak sungkan juga kalau mau bertandang ke rumah Regal.
Semenjak tahu mengenai masa lalu Regal, aku jadi lebih empati pada cowok itu. Aku tahu sekali rasanya kehilangan, itu terlalu menyakitkan bila diingat. Maka, aku tidak ingin mengambil risiko untuk menyakiti Regal lebih. Aku mesti berhati-hati untuk mengambil hati Regal.
Seperti sekarang, aku mulai mendekati Regal dengan mengajak dia keluar di hari Minggu. Aku mengajak cowok itu ke lapangan Gasibu, pusat keramaian Bandung untuk sekadar joging atau sarapan bubur. Di sini selalu ramai, tapi tidak sampai membuatnya kehilangan pengunjung.
Aku sesekali datang kemari. Aku tidak punya teman untuk berlari bersama. Kalau mengajak Iwan, sama saja aku bunuh diri. Di sini tempat ramai, kami terpaksa harus terus waspada jika ada yang melihat. Jadi, kadang aku mengajak Rena. Itu pun kalau dia nggak mager.
"Kamu baru ke sini, ya?" tanyaku saat Regal baru menghabiskan setengah dari minumnya.
"Iya, aku nggak pernah."
"Kenapa?"
Regal mulai menatapku. Dahinya dipenuhi banyak peluh. Kami memang sudah mengelilingi lapangan luas ini dengan dua putaran. Cowok ini sungguhan lari, tapi aku hanya jalan saja. Aku mudah sekali lelah. Jadi, aku pikir, aku saja yang lari dua keliling.
"Mama nggak bolehin aku kemana-mana."
Aku mengangguk sekali, tanpa ditanya alasannya aku tahu jelas maksud dari sifat protektif dari Tante Raya. Kalau aku jadi beliau pun, aku akan terus mengawasi Regal. Tapi sekarang aku cukup tenang dengan beberapa bodyguard yang Tante Raya percayakan dari jauh, menjaga Regal menjadi tidak terlalu sulit. Aku hanya memastikan kalau cowok ini bisa menjalani hidup seperti biasa.
"Jadinya kamu nggak akan ikut ekskul apa-apa?" tanyaku basa-basi setelah hening beberapa saat di antara kami.
Regal menunduk dengan sebotol air mineral di genggamannya. Cowok itu duduk selonjoran di sampingku di atas trotoar. Regal saat ini terlihat normal dengan kaos abu-abu serta jelana trainning panjang. Berbalik dari tampilannya ketika sekolah yang super rapi. Aku pun harus terus mengingatkan diriku sendiri kalau aku punya pacar, karena rupa Regal selalu bisa membuatku sulit bernapas.
"Mama nggak kasih izin, Sya. Katanya kalo kamu nggak ada mending nggak usah."
"Tapi kamu mau ikutan ekskul catur?" tanyaku sedikit dekat dengan telinganya.
Regal tiba-tiba saja mendongak dan beralih menatapku. Aku membelalak dan mencoba menelan saliva karena jarak wajah Regal yang cenderung dekat.
"Nggak tau."
Dahiku mengernyit.
"Aku senang di sana karna bareng kamu," jawabnya dengan raut bingung. Sekarang aku mencoba untuk tidak membawa perasaan saat mendengar kalimat pujian dari mulut Regal. Tapi jantungku tidak bisa diajak kompromi.
"Jadi aku nggak suka kalo nanti sendirian."
"K-kan ada kakak kelasnya," sahutku seraya memberi jarak di antara kami.
"Tapi kalo nggak ada kamu, aku suka ngerasa sendirian. Jadi, kamu jangan jauhin aku, ya?"
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro