14
Walau dari semalam aku berusaha untuk tenang, tapi realitasnya tetap tidak bisa. Saat melihat keberadaan Regal dari ambang pintu kelas, rasa ketidakpantasan itu muncul dengan sendirinya. Padahal, aku tidak mungkin disakiti. Apalagi Regal sepertinya terlalu polos untuk mengerti itu. Tapi kenapa ya aku mudah sekali menyimpulkan hal-hal negatif seperti ini?
"Duar enmek!"
Aku berjengit dan melihat Andri ketawa ngakak melihat mukaku.
Dasar playboy!
"Ih Andri jangan ngagetin gitu dong!" Aku memukul keras lengan atasnya membuat cowok itu sedikit menjauh walau sampai ketawa. Jantungku benaran rasanya mau copot. Keberadaan Andri tidak terasa sekali atau aku saja yang terlalu lama melamun.
"Kamu sih ngelamun mulu!" sahut Andri. "Ngalangin jalan tau."
"Ya tinggal bilang kek, bukannya ngagetin kayak tadi," timpalku kesal.
"Yaudah, ngapain masih ada di sini?"
Tiba-tiba aku kemasukkan ide. "Ndri, nanti aku tukeran duduk ya sama kamu."
Andri mengerutkan dahi heran. "Lah kok gitu? Kamu naksir sama Agus?"
Aku mendelik. "Ih enak aja. Standar cowok aku itu tinggi tau."
"Agus juga nggak jelek-jelek banget," sahut Andri tidak mau kalah. Aku hanya mencibir. Agus itu kulitnya hitam, pendek, dan banyak bicara. Mana kuat aku sama dia.
"Ih kok malah ngomongin Agus?"
"Kamu sendiri kenapa nyuruh aku pindah duduk?"
Aku terdiam tidak cepat menjawab. Aku dan Andri memang tidak terlalu banyak mengobrol. Urutan absen kita jauh, tempat duduk juga saling ujung. Sekalinya bicara, Andri malah meledekku. Dan sekarang aku tiba-tiba minta pertolongannya? Tidak aneh kalau Andri menanyakan hal itu.
"Oh, takut ketemu Regal, ya?" goda Andri dengan seringaian jahatnya.
"I-ih nggak, ya. Jangan sok tau kamu."
"Yaudah, berarti duduk sama dia gapapa dong!" lawan Andri. "Yaudah pergi sana."
Andri mendorongku membuatku hampir terjungkal ke depan. Aku mendengus kesal. Untung saja kelas masih agak lengang, jadi perseteruan kami tidak ada yang meledeknya sebagai bahan ejekan. Tapi lagi-lagi aku terdiam melihat Regal.
Kalau pindah duduk, aku bakalan terkesan menjauhi. Kemarin Iwan memang menawariku tukar pindah duduk. Tapi membayangkan Rama dengan mata tajam dan omongannya yang pedas, aku angkat tangan. Terus kalau aku yang duduk dengan Iwan, malah tambah terasa aneh mengingat di kelas kami memang dikenal tidak akur.
Melihat situasi, mau tidak mau aku harus menghampiri Regal. Mungkin saat ini aku harus lebih banyak diam daripada mengajak Regal bicara. Cowok itu memang seharusnya lebih banyak berinteraksi dengan teman yang lain, tidak hanya denganku.
"Regal, permisi," kataku berusaha menutupi kegugupan sembari menyentuh lengannya yang ada di atas buku. Rasanya sentuhanku seperti kotoran saja. Nggak pantas.
Regal pun berdiri tanpa bicara seperti biasa. Setelah kududuk, hawa sekitar jadi terasa lebih hening. Aku yang biasanya protes karena kebiasaan Regal belajar, jadi mendadak lebih diam. Rasanya apa yang bibirku keluarkan harus kupikir ulang beribu kali dulu.
Tiba-tiba Regal menoleh padaku dan menatapku heran. Aku langsung saja gugup dan berusaha menunjukkan raut bertanya tanpa diucap kata.
Kerutan di dahi Regal pun menghilang. "Mama nanyain kamu."
Aku menggigit bibirku, entah mau menjawab apa.
"O-oh, gitu?"
Regal mengangguk. Ya ampun tadinya aku ingin menutup percakapan ini, kenapa jadi bernada bertanya?
"Waktu pembagian rapot kamu nggak ada. Hari ini Mama juga tadinya mau ikut jemput, tapi ada kerjaan."
Aku langsung bernapas lega tanpa sadar. Kalau saja Regal tidak melanjutkan kalimat selanjutnya, entah di mana nanti aku berakhir.
"Kamu mau ketemu Mama aku, kan?"
Aku memelotot, kenapa Regal bertanya begitu?
"Y-ya gitu, m-mau kok!"
"Tapi kata Mama kamu sengaja kabur. Jadi katanya, kamu nggak mau ketemu Mama."
Aku menggeleng cepat. "B-bukan gitu. Aku kemarin itu ... hmm, sakit perut." Iya, sakit perut karena saking gugupnya.
"Tapi udah gapapa, kan?" Regal serta-merta menatapku cemas. Aku jadi merasa berdosa melihat mata itu.
"Gapapa, kok. Udah lama ini."
Regal mengangguk dan beralih untuk belajar lagi. Aku mengembuskan napasku pelan. Rasanya makin tidak karuan setelah berbohong tadi. Padahal, Regal maupun ibunya terlihat baik sekali. Mungkin sifatnya tidak jauh berbeda dari majikan Bapakku.
Kenapa ya diperlakukan baik malah merasa tidak enak? Tapi kalau mereka sombong malah makin kesal juga.
Heran aku.
**
Dua orang di depanku ini sekarang sedang menatapku aneh seolah aku itu memiliki kepala dua. Padahal, aku sedang memakan bekal makan siangku. Dan aku tidak membawa kepala manusia sebagai hidanganku.
"Kalian kenapa deh?" tanyaku setelah meminum air mineral.
"Kamu berantem sama Regal?" tanya Indah penasaran.
"Atau Regal selingkuh?" Bila mengernyit, lalu menggeleng. "Nggak mungkin sih! Pasti kamu deh yang buat masalah."
"Kenapa jadi Regal?"
Indah kemudian menggebrak meja dan memelotot. Ia menunjukku, tapi belum ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Mamanya Regal nggak restuin kamu?"
Aku yang hendak menyuap, malah tidak jadi. Kini giliranku yang menatap heran mereka.
"Maksud kalian apa sih? Nggak paham aku."
Nafsu makanku hilang. Mendengar nama Regal malah bikin aku kepikiran lagi. Padahal, aku ke sini untuk menyegarkan pikiran agar tidak terlalu mumet tentang masalahku.
"Soalnya kamu tumben makan di sini. Biasanya kan di kelas tuh berduaan sama Regal. Kalian ada masalah, ya?" tanya Bila penuh simpati.
"Ng-nggak ada, kok."
Indah mengusap punggung tanganku sebentar. "Kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita, Ca. Kita tuh udah anggap kamu jadi sahabat kita tau. Dan sahabat harus bisa berbagi."
Aku menipiskan bibirku. Kami memang dekat, tapi untuk tingkat keakraban belum sejauh itu. Mereka yang sering membicarakan orang, meski sama denganku, belum bisa kupercayai untuk kubagi cerita hidupku. Hanya dengan Iwan, aku kemukakan semuanya.
"Jadi, mau cerita?" tanya Indah kemudian setelah mendiamkanku beberapa saat.
Aku menggeleng karena hal ini hanya aku saja yang mengerti. Lagian mereka sudah salah menangkap mengenai hubunganku dengan Regal. Jadi, pasti tidak akan selesai cepat jika aku menceritakannya sekarang.
"Kamu masih nggak percaya sama kita?" sahut Bila.
Aku menggeleng lagi. "Nggak."
Indah memelotot dan Bila menatapku tidak percaya.
"Kok gitu sih? Kita udah lama kenal lho, Ca," protes Bila. Aku mendengus dan kembali menyantap bekal nasi gorengku yang lagi-lagi keasinan. Mamaku memang kebelet pengin cari suami baru.
"Aku lagi nggak ada masalah Regal, oke?" kataku lugas. Toh, memang ini masalahku dengan sifatku yang mudah berprasangka buruk. Tidak ada sangkut-pautnya dengan Regal. Jadi, aku tidak berbohong, kan?
"Trus masalah aku di sini ya karna aku lagi mau cari suasana baru." Sambil nyegerin otak biar lancar sewaktu menghadapi Regal nanti.
Kulihat Indah memberengut dan Bila melemaskan bahunya seolah tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku mengedikkan bahu tidak peduli. Masalah Regal, mungkin aku ikuti saja nanti alurnya bagaimana.
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro