13
Libur kenaikan kelas menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Selain lebih lama, kami benar-benar dibebastugaskan. Tapi tidak seperti sebelum-sebelumnya yang kusambut dengan euforia, aku malah tidak semangat. Kebenaran soal ibu Regal seakan terus menghantuiku walau pembagian rapot baru selesai kemarin.
Apalagi, malamnya grup kelas dalam ponselku mendadak ramai membicarakan keluarga Regal yang berdarah biru. Regal tidak masuk ke dalam grup tersebut, memudahkan kami untuk bebas beropini. Namaku pun disebut-sebut. Katanya, aku sempat dicari oleh ibu Regal setelah berbicara dengan ibuku. Aku benaran dibuat penasaran tentang apa yang disampaikan ibu Regal. Apalagi Mama sama sekali tidak bicara apapun.
Tiap ditanya, Mama bilang hanya pembicaraan ibu-ibu biasa. Mama sempat memujiku karena mempunyai teman konglomerat. Tapi beliau juga memperingatiku agar hati-hati kalau bergaul sama Regal. Sedikit saja menyakiti, bisa saja aku diseret ke depan publik.
Dan sekarang aku memenuhi permintaan Iwan untuk berkencan. Seharusnya, beberapa minggu ke depan aku bisa bersama Iwan. Peluang bertemu dengan teman sekolah cenderung sedikit, jadi kami bisa memanfaatkan waktu liburan ini.
Hanya saja, majikan Bapakku memberikan tiket liburan pada kami sekeluarga untuk ke Bali. Waktunya cukup lama hingga liburanku berakhir. Katanya, ada pekerjaan di sana. Daripada meninggalkan keluarga, majikan Bapakku itu menyarankan untuk mengajak kami sekeluarga. Karena itulah, aku dan Iwan memanfaatkan hari ini untuk berkencan di kafe es krim yang sekarang jadi tempat favoritku.
"Nggak usah diinget-inget lagi, Ra. Regal malah kayaknya seneng punya temen kamu. Soalnya di kelas nggak ada yang deket selain kamu, kan?" Iwan mencoba menghiburku. Kencan kami hampir saja gagal karena aku yang terus mempermasalahkan sikapku selama ini yang seenaknya pada Regal. Memang tidak sampai menyakiti Regal secara fisik, tapi lebih pada aku terlalu sering menyusahkan cowok itu.
"Tapi kalau ibunya malah nganggap buruk gimana, Wan?" Aku memberengut. Es krimku dalam mangkok sudah mencair setengahnya karena terlalu sering aku aduk. Nafsuku menghabiskannya hanya di awal saja.
"Nggak akan," sahut Iwan sembari mengusap punggung tanganku. "Kemarin aku liat ibunya Regal itu baik, Ra. Beliau juga bilang makasih sama kita karna udah nerima Regal. Padahal kan kita nggak deket-deket banget sama tuh anak," lanjutnya melepaskan usapannya dan kembali melahap es krim.
"Iya, tau," balasku masih dengan raut memelas. "Tapi tetep aja nggak enak."
Aku memang mudah sekali cemas dan panik. Meski banyak energi positif yang menyertaiku, selalu saja ada pikiran-pikiran negatif yang mendominasi kepalaku. Rasanya ingin sekali mengulang waktu dan memperlakukan Regal layaknya raja sekalian. Kalau sudah terjadi begini, hal apa lagi yang mesti aku lakukan selain merutuki kebodohanku?
"Aku pindah duduk aja gitu, ya, Wan?"
Dahi Iwan mengernyit heran.
"Y-ya, aku nggak bisa lagi bersikap biasa sama Regal setelah tau ini. Rasanya pasti canggung trus aku bakalan mikir-mikir lagi kalo ngomong sama dia."
Iwan malah terkekeh geli mendengar ucapanku seolah aku baru saja membuat lelucon. "Kamu lebay banget sih, Ra."
"Lebay apaan ih! Aku serius tau!" Aku melempar tisu bekas pada Iwan yang malah menambah volume tawanya, hingga aku memberengut kesal.
"Maaf, maaf," katanya meredakan tawa, "abisnya kamu lucu sih, Ra. Baru aja tau Regal anak pengusaha aja galaunya sampe gini. Apalagi kalau dia anak presiden? Kamu mau pindah sekolah aja sekalian?"
Aku melempar punggung ke sandaran kursi sembari memangku tangan dan menatap jendela di sampingku. Rasanya tersiksa sekali dengan perasaan begini. Apalagi Regal kerap menanyakan keadaanku lewat pesan, membuatku sedikit merasakan rasa bersalah.
Lantas aku menoleh pada Iwan yang saat ini menarik salah satu lenganku untuk digenggamnya di atas meja. "Nggak usah dipikirin, ya? Kamu nggak lakuin hal buruk kok, Ra. Kamu justru baik banget. Jangan judge diri kamu udah lakuin hal yang salah. Itu malah bikin kamu nggak tenang."
Aku terdiam mencerna setiap kata yang diucapkan. Iwan benar. Harusnya aku bisa tenang. Apalagi liburan panjang akan aku lewati. Rasanya sayang sekali kalau hanya dipenuhi perasaan tidak jelas begini.
"Hmm ... lagian, aku agak nggak suka lho kamu mikirin cowok lain waktu sama aku."
Aku seketika tersentak. Kalau Iwan sudah mengatakan rasa keberatannya, sudah pasti cowok itu sudah benar-benar keberatan akan sikapku.
"Maaf." Aku menunduk, merasa bersalah.
Usapan tangan Iwan belum juga berhenti. Aku mendongak dan menatap Iwan yang masih tersenyum tipis. "Iya, gapapa."
**
Selama di Bali, aku sudah menyambangi beberapa tempat. Beruntung sekali pekerjaan Bapakku ada di Kuta, lokasi yang sering dielu-elukan oleh banyak wisatawan. Aku yang dari kampung tentu saja memanfaatkan hal itu.
Ternyata, orang kaya nggak selamanya sombong. Majikan Bapakku itu baik sekali. Tidak seperti yang di sinetron yang penuh drama. Namanya Pak Ferdinand. Beliau kelihatan masih muda walau beberapa uban mulai tampak. Sayangnya, sang istri sudah pergi dulu menghadap Tuhan dan meninggalkan Pak Ferdi dengan tiga orang anak yang sudah menikah, sementara si bungsu baru mau tunangan.
Pak Ferdi menerima kami di rumahnya. Kami diperlakukan sangat baik, apalagi Bapakku sangat setia bekerja selama lima tahun ini. Seolah keluarga, kami tidak dibeda-bedakan sama sekali. Hanya saja, kami harus tahu diri dimana kami tinggal. Setidaknya, beres-beres rumah kami lakukan.
Dan sekarang, aku lagi duduk sendiri di bibir pantai, salah satu tempat yang sering kukunjungi selama seminggu ini. Mana ada pantai di kotaku? Yang ada hanya sungai yang sudah tercemar oleh limbah, warnanya juga sudah seperti pelangi.
Walau ramai di sini, entah kenapa aku malah merasa tenang. Mungkin karena faktor sendiri. Beberapa saat lalu Iwan sempat menghubungiku via video call, dia merengut karena aku senang-senang di sini. Sementara Iwan, harus menjaga minimarket seperti yang Ibunya pinta.
Tapi kalau sendiri seperti sekarang, aku lagi-lagi ingat tentang Regal. Cowok itu masih menghubungiku dan kali ini aku membalasnya, mengingat malah makin kelihatan aku yang nggak tahu diri kalau tidak mengacuhkannya.
"Jangan lama-lama. Masuk angin lagi kamu." Aku menengadah dan melihat Mama berdiri di sampingku. Mama menggunakan topi lebar dan menatap senja yang hampir habis. Aku hanya menghela napas setelah tahu Mama hanya diam.
"Regal itu temen semeja kamu, ya?"
Aku menoleh ke samping saat Mama ikut duduk. Aku diam, tidak cepat menjawab.
"Ibunya baik. Dia muji kamu," kata Mama tanpa menengok ke arahku. "Kamu nggak beda-bedain dia. Regal juga katanya suka cerita soal kamu, jadi ibunya mau tau kamu yang mana. Eh kamu malah kabur lagi."
Mama mendelik dan aku melihat lagi pemandangan di depan.
"Ica cuma takut aja, Ma. Aku susahin Regal terus perasaan. Padahal Regal orang kaya, harusnya aku tau diri, kan, Ma."
"Miskin itu bukan dosa, Ca," sahut Mama membuatku sedikit tersentak. "Kayak Indonesia, ada orang Sunda ada orang Betawi. Semua itu bukan soal perbedaan, tapi keberagaman."
Mama memang jago kalau sudah menasehati. Kata-katanya suka bijak sekali. Kalau sudah begini, aku baru bangga.
"Tapi Ica tetep nggak tenang kalau sampai nanti ketemu sama Regal."
"Yaudah judesin aja," kata Mama membuatku berpaling cepat.
"Masa gitu?"
Mama membalas netraku. "Kan kamu sendiri yang bingung gimana ketemu nanti, yaudah judesin, nanti dia ngejauh sendiri kok!"
"Ih masa aku yang ngejauh? Kayak yang nggak tau diri dong!"
"Itu kamu tau!" timpal Mama sedikit menyentak. "Bersikap biasa aja. Kalo kamu ngejauh, kamu malah keliatan jahat."
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro