Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Gosip itu seperti virus batuk, gampang nyebarnya. Baru kemarin aku jalan bareng Regal, hari ini kelas sudah heboh saja karena berita yang disebarluaskan oleh Indah. Dulu aku bersyukur punya teman yang mudah sekali mendapat berita, tapi sekarang rasanya kok ngeselin banget, ya?

"Heh, bocil!" Bagas sudah menghadangku saat aku masuk ke barisan tempatku duduk. "Kamu pake dukun mana biar bisa melet Regal?"

Aku mendengus. Bagas rajin sekali mengurusi urusan orang. Memangnya dia nggak punya masalah apa sampai punya waktu buat ikut campur?

"Apa sih, Gas? Nggak jelas banget," sahutku.

"Regal katanya pacaran sama kamu," jawab Bagas sembari mengangkat dagu. "Kamu kasih apa hm? Atau kamu pake susuk?"

Aku memelotot dengan mulut bungkam. Ingin sekali aku jambak rambut yang dibuat rapi itu.

"Oh atau kamu ngancem Regal, ya?"

Aku menarik napas dalam. Berdebat dengan Bagas harus buat strategi, nggak bisa asal ceplos. Kalau salah, malah jadi bumerang nantinya. Apalagi kelas sudah mulai ramai. Para pemburu berita pasti sudah siap pasang kuping.

"Aku itu nggak pacaran sama Regal, Bagas," kilahku mencoba tidak terbawa emosi.

"Trus kenapa kalian dekat?" tanya Bagas mulai mencari titik lemahku.

"Kan kami itu temen semeja, Bapak Pradipta," jawabku menyebut ujung nama Bagas, "Bapak sendiri kan yang bilang."

"Iya, gitu," sahut Bagas, "tapi kamunya jangan kebaperan," lanjutnya hingga membuatku sedikit tersinggung. Siapa yang baper?

"Aku nggak baper!" bantahku cepat dengan nada sedikit menyentak. Aku tidak sadar. Justru hal itu yang menjadi sorotan banyak orang.

"Nah nah ini," kata Bagas sambil menunjukku, "orang bohong biasanya kalo jawab pertanyaan suka keras keras."

Ucapan Bagas bikin aku tambah keki. Siapa yang bohong?

Aku menghela napas saat sadar perdebatan seperti ini tidak akan cepat selesai. Kalau aku terus membantah, malah hal itu yang menjadi bahan ejekan yang lain. Jadi, walau aku tidak suka dituduh begitu, yang aku lakukan adalah mencoba tidak menghiraukan.

"Udahlah terserah kamu. Mau kamu percaya atau nggak, itu nggak penting buatku."

Aku melewati Bagas begitu saja untuk mendapat kursiku. Seperti biasa, di sana ada Regal sudah sibuk dengan hobinya: belajar. Bahkan, cowok itu sama sekali tampak tidak memedulikan bagaimana namanya disebut yang disandingkan dengan namaku.

Atau cowok ini yang tidak memahami apa yang menjadi topik hari ini?

"Regal!" Aku sentuh pundak cowok itu hingga akhirnya menoleh. Beberapa orang sontak meledekku dan kubalas delikan. Apalagi suara Rama itu paling besar. Tapi giliran dimarahi guru, suaranya mengecil. Dasar penakut!

"Manggil orang emang harus pegang-pegang gitu apa?" Itu suara Rama saat aku berhasil duduk. Padahal, cowok itu ada di sisi lain kelas.

"Terserah dong!" balasku teriak. "Emang urusannya sama kamu apa?!"

"Woooo Ica ngegas!"

"Ica sekarang galak euy!"

"Jangan temenin Ica, jangan temenin Ica."

Aku mendengus kasar. Meski aku tidak merasa apa yang mereka bicarakan, tapi dituduh macam-macam begitu malah membuatku tidak enak. Apalagi ada perasaan yang mesti aku jaga. Walau kulihat, Iwan ikutan ketawa dan sedikit meledekku. Tetap saja, aku jadinya merasa bersalah.

"Kamu nggak kesinggung pas yang lain ledekkin kita?" tanyaku sewaktu kebetulan dia menoleh padaku.

"Emang kenapa?"

Aku menghela napas panjang. Aku harus memberi pemahaman pada Regal agar cowok ini mengerti. Siapa tahu, kalau Regal yang mengklarifikasi, orang-orang pada percaya.

"Mereka nyangkanya kita pacaran, Gal. Padahal, kan ki--"

Aku menjeda ucapanku ketika melihat raut Regal yang keheranan.

"Kamu ngerti kan pacaran itu apa?"

Gelengan Regal membuatku menahan napas sebentar. Aku lupa Regal itu seperti bayi baru lahir, belum memahami arti kehidupan dunia yang kuakui cukup keras.

"Pacaran itu ... gimana, ya?" gumamku pelan. Yang kutahu, pacaran itu adalah sebuah status antara satu pasang yang punya rasa saling suka. Tapi nanti malah panjang lebar lagi kalau Regal tidak mengerti arti suka itu apa.

"Gini lho, pacaran itu hubungan antara dua orang, yang wajarnya cewek sama cowok. Hubungan mereka deket dan juga mereka seneng buat ngejalanin itu. Gitu, Gal."

Regal mengangguk, sepertinya mulai paham.

"Berarti kita pacaran?" celetukan cowok ini cukup jelas, membuat Indah dan Bila sontak terbatuk. Aku mendelik, sepertinya mereka dari tadi mendengar percakapan kami.

"Nggaklah, Gal. Kita kan temen."

"Tapi aku suka bareng kamu," bantah Regal dengan raut polosnya. "Atau kamu yang nggak suka?"

Aku menggeleng cepat. Indah dan Bila malah menahan tawa. Mereka sama sekali tidak empati sekali pada keadaanku sekarang.

"Aku suka kok!"

Regal menarik dua sudut bibirnya. Salah satu hal yang belum pernah aku lihat. Ulasan itu ... bahkan bisa membuat pikiranku kosong melompong. Degupan jantungku pun sedikit cepat.

Kok jadi aku yang baper?

**

Hari terasa berlalu terlalu cepat. Sudah satu bulan aku ditekan latihan menari dan hari ini adalah perlombaannya. Walau selalu dirundung masalah gosip antara aku dan Regal, kami tetap kerap berdua. Hampir setiap sesi latihan, Regal menemaniku. Mungkin hanya sekali atau dua kali cowok itu absen.

Regal itu seperti susah sekali bicara dengan yang lain. Orang-orang yang mengajaknya bicara jarang sekali mendapat tanggapan. Mereka belum tahu saja cara mendapat perhatian dari Regal. Maka dari itu, beberapa dari mereka enggan sekali untuk bicara lagi.

Mungkin ada beberapa yang masih bisa berkomunikasi dengan Regal. Seperti Jaka, yang memang suka merangkul ketika mengajak bicara. Terus Rama, cowok yang suaranya keras itu bisa bikin Regal menoleh. Tapi mereka hanya bicara sesaat. Regal lebih banyak berinteraksi denganku. Terlepas dari kami satu meja, aku juga yang mulai terbiasa akan keanehan-keanehan cowok ini.

Aku yang tidak tegaan, terpaksa terus bersama Regal. Aku berusaha tidak memedulikan pedasnya mulut netizen tentang kami. Iwan pun merasa tidak keberatan. Dia bilang dengan gosip itu, kami bisa sedikit lega kalau suatu saat kelihatan bersama.

Dan hari ini, lagi-lagi aku tidak ditemani Iwan. Pagi tadi kami sudah video call dan Iwan memberikanku semangat. Harusnya aku sudah mensyukuri hal itu. Tapi rasanya tetap saja seperti ada yang kurang.

"Aku bisa nggak, ya?" gumamku di depan meja rias. Aku sudah sering menari, jadi untuk mendandani diri sendiri aku sudah mampu. Sekarang reguku tinggal menunggu urutan tampil. Walau kerap ikut lomba, rasanya tetap saja cemas kalau hasilnya buruk. Kemenangan memang bukan segalanya. Tapi bagiku, hasil itu berbanding lurus dengan proses. Kalau hari ini tidak dapat apa-apa, berarti penampilan kami yang mengecewakan.

"Risya." Aku menoleh saat mendengar suara berat itu. Refleks, aku tersenyum dan pindah duduk ke sofa di ruang ganti ini.

"Kamu nggak apa-apa nunggu aku di sini?" tanyaku sewaktu Regal sudah ada di sampingku.

Regal menggeleng dan cowok ini malah menatapku terus-terusan.

"Kenapa? Aku jelek, ya?"

Aku jadi cemas. Takutnya riasanku terlalu berlebihan. Atau tidak cocok dengan kostum yang kupakai.

"Nggak," timpal Regal. "Kamu cantik kayak bidadari."

Napasku entah kenapa berhenti sebentar. Pipiku memanas, bahkan dua ujung bibirku ingin sekali tertarik ke atas. Ucapan lugu dari Regal tidak seperti perkataan-perkataan cowok yang suka menyanjung cewek. Apa yang Regal katakan lebih pada sesuatu yang benar-benar ada di dalam hati dan pikirannya.

Regal kemudian menarik lengan kiriku yang tadinya bertumpuk di atas pangkuan. Cowok itu menggenggam lengan kecilku yang saat ini terasa sangat dingin karena saking gugupnya.

"K-kenapa?"

Lagi, Regal menunjukkan senyum tipisnya. Kali ini lebih terlihat jelas seolah dia adalah cowok normal lainnya. Bukan sosok lugu yang selama ini aku kenal.

"Mama nitip salam sama kamu karna nggak bisa ikut nemenin kamu. Jadi, mama minta aku buat megang tangan kamu. Katanya, kamu lagi takut, jadi aku harus kayak gini," jelas Regal seolah anak kecil yang menceritakan sesuatu yang baru ia pahami. Ibu jari tangan kanannya mengusap lembut tanganku. Perlahan, gugup itu menghilang, tergantikan semangat yang menggebu.

Bayangan-bayangan selama aku latihan menari diiringi tatapan binar dari Regal menelusup cepat ke dalam benakku. Hal itu memberikan euforia sendiri yang bahkan entah kenapa bisa datang tanpa aku sadari. Dan membayangkan bagaimana Regal bertepuk tangan lalu memberikan senyum kebanggaan sewaktu aku di atas panggung, sukses membuatku tersenyum lebar.

Bolehkah aku ingin menang hanya karena ingin melihat senyum cowok ini lagi?

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro