1
"Iwan! Siniin buku aku!" Suaraku melengking sampai-sampai tenggorokanku rasanya sedikit perih. Cowok yang agak jauh dariku itu melambai-lambaikan novel yang baru kupinjam dari Indah dengan seenaknya.
"Enak aja! Kejar aku dong, Ca!"
Aku mengepalkan kedua lenganku di samping tubuh. Saking kesalnya, aku ingin sekali memutilasi Iwan sampai beberapa bagian dan dagingnya kusumbangkan ke kebun binatang di kotaku yang rumornya sedang terbengkalai kurang asupan.
Dari tadi, aku mengejar cowok itu. Tapi seolah tidak peduli pada langkahku yang kecil karena berbanding lurus dengan tubuhku yang pendek, Iwan malah terus menghindar.
"Iwan ih! Itu bukunya Indah!" Aku mengentakkan kaki sambil mendekati Iwan lagi. Tidak menghindar, Iwan malah menyembunyikan bukunya ke belakang.
"Eh nggak segampang itu dong, Ca," Iwan menjauh saat aku hendak ke belakang tubuhnya.
"Mau apa lagi ih?" Aku memberengut, tapi cowok itu dengan seenaknya menyeringai. Firasatku benar-benar jadi tambah buruk sekarang.
"Sun dulu dong!" Iwan dengan santainya menunjuk pipi kanan. Tentu saja aku kaget. Enak saja mau menodai bibirku.
"Gila kamu ya!"
Iwan malah lari lagi dengan semringahnya. Aku memegang kepalaku yang mulai berdenyut karena kebanyakan teriak.
Dari awal keluar kelas, aku memang berlari sendiri untuk mengejar cowok nakal itu. Tidak ada yang berniat membantu. Bukan mereka tidak mau, tapi mereka tahu kalau mendebat cowok sejenis Iwan tidak akan pernah selesai. Justru kalau diladeni, mereka malah kesenangan.
Hanya saja, aku terpaksa mengejar biang masalah ini sebab cowok itu mengambil buku yang sengaja kupinjam dari Indah. Artinya, buku orang lain yang sedang dipermainkan. Dan aku tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab.
Kalau buatku nggak apa-apa. Lagian aku tidak suka novel. Aku lebih suka mendengar urutan ceritanya secara langsung dari seseorang, apalagi saat membicarakan orang. Itu punya kenikmatan sendiri buatku. Hei jangan hina aku sebagai tukang gosip! Kalian tidak akan hidup tanpa keburukan orang lain.
Kalau saja bukan Rena, adikku yang baru masuk SMP, aku tidak akan meminjam buku yang tebalnya bikin aku merinding itu. Apalagi harus kumasukkan ke dalam tas, yang pasti akan menambah berat beban hidupku.
Sebenarnya, bukan dengan Iwan saja aku sering merasa teraniaya. Hampir semua cowok di kelasku, tidak ada yang benar.
Sebenarnya ada. Namanya Bagas. Dia juara satu di kelas dan juara dua paralel. Tapi menurutku, jadi pintar ada efek sampingnya. Bagas adalah sosok aktor yang suka mendramatisir keadaan. Sepertinya, kebanyakan belajar bikin logika Bagas agak konslet.
"Awas."
Aku tersentak sesaat aku menstabilkan napasku kembali. Aku sontak menoleh ke belakang dan mendapati cowok asing yang baru kulihat. Mungkin dari kelas lain.
"Bukan awas, tapi permisi. Nggak tau sopan santun banget sih!" Aku mencibir, meski begitu aku tetap bergeser memberi jalan. Koridor yang ramai saat istirahat, memang jarang ada jalan yang luas. Aku tahu diri kalau aku yang salah di sini, tapi nggak harus dijuteki juga kayak cowok ini barusan.
"Terserah." Cowok itu melenggang pergi begitu saja membuat dahiku otomatis mengerut.
"Dih sok cool banget. Pasti lagi jengkel tuh karna kesiangan." Aku menjulit sendiri. Lihat saja tas yang masih digendongnya. Sudah pasti cowok itu baru datang. Terus karena saking kesalnya, ngomongnya kayak yang jutek begitu.
Iya, pasti seperti itu.
**
"Eh serius kamu?" Ekspresi muka Bila, teman semeja Indah sekaligus cewek yang duduk di depanku, membuatku penasaran. Aku yang baru selesai berurusan dengan Iwan langsung saja mendekati mereka yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu. Mudah-mudahan cowok itu akhirnya mengalah dan memberikan buku Indah sepulang nanti. Karena kutahu, pembuat masalah bakalan bosan kalau objeknya tidak melawan.
"Kalian lagi ngomongin apa sih?" Aku langsung duduk di depan mereka. Untung saja yang punya kursi ini lagi tidak ada.
Bila dan Indah sontak menyorotku. Indah mengisyaratkan agar aku mendekat dan cewek itu mencondongkan badannya disusul oleh Bila.
"Kamu tau Bu Ida, kan?" tanya Indah berbisik. Aku langsung saja mengangguk cepat. Siapa lagi kalau bukan Bu Ida yang itu? Guru Bahasa Indonesia yang suka bikin keki satu kelas. Tiap pelajarannya harus bawa buku KBBI tebal serta menyetor buku apa yang sudah habis dibaca satu minggu. Kalau tidak, harus siap dikurung di perpustakaan dengan satu buku tebal random yang beliau tunjuk.
"Emang kenapa, Ndah? Mau pindah? Bagus dong!"
Indah melambaikan tangan. "Ih bukan," katanya menyela, "ini lebih seru tau."
Aku semakin mencondongkan tubuhku. Bila juga ikutan, padahal kurasa dia sudah tahu hal apa yang ingin dibicarakan Indah.
"Kata sepupuku, Bu Ida belum nikah."
Aku memelotot tak percaya. Tentu saja aku tidak lantas memercayai ucapan Indah itu. Bu Ida kelihatan sudah kepala lima, mulutnya juga cerewet kayak ibuku.
"Ah, kamu bohong ya," kataku meragukan.
"Aku serius!" Indah memelotot, menekankan kalau apa yang dibicarakannya itu hal betulan. "Kakak sepupuku alumni sini. Trus kemarin dia datang ke rumahku sambil nanya gini 'Ndah, Bu Ida udah nikah belum?'"
Indah mulai menceritakan kronologi kenapa cewek ini sampai mengetahui sejarah guru itu. Aku tidak berani menyela, apalagi Bila yang sedari tadi begitu serius mendengarkan.
"Aku bilang pasti udahlah. Orang mukanya tua begitu. Ya kali masih perawan."
Ini bukan saatnya ketawa. Aku beneran penasaran sekarang. "Trus kata sepupuku itu, Bu Ida emang belum nikah pas zamannya dia masih sekolah di sini. Padahal, baru tahun kemarin lho sepupuku lulus. Dan katanya lagi, Bu Ida tuh suka banget kalo udah liat cowok ganteng di kelas. Suka dibaik-baikkin."
"Serius kamu?" Kini Bila bersuara. "Ih pantes waktu aku dikasih hukuman, aku disuruh baca novel yang tebelnya kayak Harpot. Eh giliran si Nando, dia ngasih kumpulan cerpen anak-anak doang!"
"Beneran, Bil?"
Bila mengangguk meyakinkan. Nando memang salah satu cowok yang sedikit berkualitas di kelas. Wajahnya putih, tinggi dengan rambut yang dipangkas rapi. Nando memang nggak banyak tingkah, tapi sebagai seseorang yang sering menjuarai lomba game online, cowok itu agak ansos. Aku saja malas kalau sudah ngobrol sama dia. Kalau nggak dicuekkin, pasti ngobrolin games seolah aku mengerti ucapannya.
"Oh yang kamu pernah kesiangan karena harus baca novel itu, bukan?" tanya Indah memastikan. Bila mengangguk lagi.
Aku jadi ikutan ingat waktu pertama kali Bila datang kesiangan hampir setengah jam. Muka lelahnya benar-benar kelihatan. Apalagi, Bila itu cewek terajin di antara kita. Bila saja lelah, apalagi aku yang otaknya punya kapasitas sedikit.
"Eh pantes ya ngajarnya tuh galak. Nggak pernah ngalamin punya anak sih ya!" Aku mulai mengompori. Lagian aku benar-benar kesal sama guru satu itu. Memangnya pelajaran cuma bahasa Indonesia saja apa?
Kami pun terus membuat dugaan-dugaan yang tentu saja belum tentu ada benarnya. Tahu, kalau membicarakan orang itu salah. Tapi sesuatu yang salah kadang menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Hingga tak terasa, bel berbunyi. Aku berpindah ke tempat asalku, yaitu di belakang Bila dan Indah. Aku duduk sendirian di meja kedua dari belakang. Jumlah siswa kelas ini memang ganjil dan sialnya cewek-cowok tidak terbagi rata. Cowok pas dengan jumlahnya genap dan aku yang harus jadi sisa. Salahkan saja jam alarm yang lupa aku set saat pertama kali masuk sekolah ini.
Sekarang harusnya pelajaran Sejarah yang masuk, tapi kami semua dibuat bingung saat Bu Sari, wali kelas X IPS 1, datang ke kelas dengan seorang cowok di belakangnya.
Murid baru?
Kok aku belum mendengar beritanya? Biasanya kalau ada hal-hal seperti itu akan ada beritanya di grup kelas.
"Siang, Anak-anak."
"Siang, Bu."
"Dimas! Simpan dulu gitar kamu!" Mataku langsung menoleh pada cowok yang tadinya memangku gitar, kini cengengesan dan melepas earphone-nya.
"Hari ini kalian kedatangan murid baru."
**
Itulah ingatanku kemarin, bagaimana cowok yang saat ini di sampingku bisa duduk. Cowok yang pernah kuhalangi jalannya dan saat ini kelihatan kesusahan membuka kresek yang kurasa isinya bekal cowok ini.
Sedangkan aku, sudah mulai menghabiskan separuh nasi makan siang ini. Aku memang punya kebiasaan makan di kelas dan ditinggalkan Indah, juga Bila.
"Sini aku bukain," aku menyentuh pundaknya dan sontak membuat Regal berjengit.
Kasihan saja perutnya karena bisa jadi dia sudah kelaparan, tapi kesusahan cowok itu membuatnya lama menyuapkan nasi. Lalu, dia menggeser tempat makannya itu tanpa bilang apa-apa.
Aku meraih tempat makan cowok ini dan melihat simpul kresek yang sepertinya rumit sampai-sampai cowok itu kesusahan. Tapi saat kulihat, mukaku mendadak masam. Susah di bagian mananya? Cuma diikat pita biasa, bukan simpul mati!
"Kamu udah lemes ya sampai nggak bisa buka ini?" tanyaku heran sambil menggeser tempat makannya.
Cowok itu cuma bergumam. Tidak bilang makasih atau menjawab pertanyaanku. Diam-diam aku memerhatikan si kue marie ini. Iya, namanya Regal. Merek jajanan masa kecilku dulu.
Awal masuk, cowok itu nggak banyak bicara. Diajak ngobrol pun diam saja seolah tiap dia ngomong satu kata, harus bayar goceng. Senyum saja aku belum pernah lihat. Padahal, kalau dibanding-bandingkan Regal itu ganteng. Satu level dia atas Nando. Belum kelihatan anehnya sih! Tapi kuyakin, seminggu kemudian, ah nggak, besok saja pasti kelihatan aslinya.
Balik lagi pada kenyataan. Regal sepertinya berasal dari kalangan elite. Saat mataku melirik sembari menyuap nasi goreng ke dalam mulutku, Regal ternyata membawa satu tempat berukuran sedang yang pas untuk nasi dan sisanya ada dua wadah kecil. Saat dibuka, mataku tidak bisa ditahan untuk memelotot.
Nasi goreng dengan telur orek, nugget mahal yang suka ada di iklan serta sosis besar yang suka dijual waktu bazar. Gila! Makan siang saja isinya begituan. Apalagi makan malam.
Kemudian, aku membandingkan dengan isi bekalku. Jiwa kemiskinanku menjerit melihat perbedaan signifikan itu. Aku memang suka bersyukur, tapi karena Regal, hati dengki pun mulai muncul.
"Mau?"
Aku tersentak sesaat wadah kecil berisi beberapa potong nuget didekatkan padaku. Aku menatap Regal yang sibuk mengunyah tanpa menatapku.
"Boleh?" Aku tanya untuk memastikan. Takut saja, Regal menarik wadah ini lalu meledek wajah kelaparanku. Tapi melihat cowok itu mengangguk, sepertinya Regal memang berniat baik padaku.
Kelamaan bergaul dengan orang-orang yang ada di kelas membuatku suka sekali berprasangka buruk.
"Nggak bayar, kan?" Aku masih saja ragu atas tawaran Regal. Jangan hina aku karena aku tidak tahu diuntung. Kebanyakan pengalaman dijahili, membuatku harus berhati-hati. Apalagi di kelas ini.
"Nggak."
Aku mengangguk sekali dan mengambil sepotong nuget itu cepat. Siapa tahu Regal berubah pikiran kalau aku kelamaan mikir. Hati orang siapa yang tahu, kan?
**
Tbc tralala~
Ini ODOC guys... jadi bakal aku tamatin sebulan. Ceritaku yang lain bodo amat-in dulu. Semangatku emang di awal aja sih! Kalau cerita ini emang bakalan tamat kok!
Special thanks for theWWG udah adain event ini, Gen 4-ku yang unyu2 dan ga bisa aku tag satu2, buat suju VII (i love you kaliansss). Udah gitu aja...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro