Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tinggal di Rumah Daska?

Kirby mendongak, ketika melihat satu cup boba brown sugar diletakkan oleh seseorang di atas meja kerjanya. Andrew! Laki-laki peranakan Chinese yang memiliki kulit sepucat Edward Cullen itu sedang menampilkan senyum lima jarinya. Kirby menaikkan sebelah alis, bersamaan dengan tangan kanannya yang meraih minuman itu.

"Tumben? Biasanya pelit," kata Kirby setengah menggoda, Andrew memang sedikit perhitungan, tapi untungnya laki-laki itu sering mentraktir Kirby. Mungkin Kirby pengecualian.

"Mulut pedes amat ... jualan lagi rame, ya, udah kubawain satu." Andrew membalas sambil masih tersenyum lebar.

Andrew memang memiliki usaha gerai minuman yang ada di beberapa mal di Surabaya. Seperti kebanyakan orang Chinese, laki-laki itu juga memiliki keahlian wirausaha yang patut diacungi jempol oleh Kirby. Mengingat, Andrew adalah keponakan dari pemilik sekolah tempat Kirby mengajar, tapi laki-laki itu memulai semua bisnisnya dari nol, dengan gajinya sebagai konselor di sini.

"Kenapa nggak dua? Miss Sukma?"

Andrew berdecak malas, ia memutar kedua bola matanya. Kadang-kadang Kirby memang tak tahu diri, tapi Andrew menyukai Kirby sebagai teman, perempuan itu tipe yang bisa memahami seseorang dengan sangat baik. Kirby adalah sosok yang tidak mudah menilai seseorang dari satu kejadian, ya, mungkin karena dia mencintai ilmu yang ia pelajari semasa kuliah, jadi mudah menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Sedikit berbeda dengan Andrew, dia asal memilih jurusan kuliah, yang penting lulus, jadi sarjana, urusan pekerjaan, itu gampang.

"Miss Sukma? Tuh, udah habis," kata Andrew, ia melempar pandangan pada Sukma yang hanya nyengir dan kembali fokus pada layar laptopnya. Kirby tebak, perempuan itu pasti sedang streaming Drama Korea.

"Kurang ah kalau cuma segelas, kan kamu tahu, aku boba lover. Love boba pake banget."

"Belilah, bangkrut aku kalau ngasih terus ke kamu, By. Satu, mana cukup?"

"Nah itu tahu." Kirby tergelak membuat Andrew menatapnya sebal.

"Bantuin jualan, nanti upahnya dua cup boba."

"Enak aja! Ogah," tolak Kirby dengan wajah yang bersungut-sungut. Andrew tertawa keras, lalu melangkah menuju meja kerjanya.

Kantor untuk konselor sekolah di SMA Tjahya Pertiwi ini lumayan luas, ada sebuah ruangan konseling khusus di dalam ruangan ini, yang diperuntukkan untuk sesi konseling dengan murid. Sebuah ruang tamu yang khusus digunakan jika ada pertemuan dengan wali siswa. Dan tiga meja kerja untuk Kirby, Andrew serta Sukma.

"By, ayo nanti nonton," ajak Andrew, Kirby berhenti menyedot bobanya.

"Nggak lagi ngajakin kencan, kan?"

Andrew melotot sambil menggeleng. "By, inget ... Tuhan itu satu kita yang nggak sama."

Kirby tergelak, ia lalu memperhatikan sebuah salib yang ada di atas meja Andrew. Memang benar, cara amin mereka saja sudah berbeda. Andrew memang tampan, secara usia juga hanya di bawah Kirby setahun, tapi perbedaan mereka luar biasa besar. Baik Kirby dan Andrew sama-sama tidak akan mau mengalah satu sama lain, untuk urusan keyakinan. Untungnya, Kirby tidak terbawa baper, karena kadang, Andrew bisa semanis ini. Mereka murni sebagai rekan kerja dan teman. Lagipula, Andrew sudah punya pacar.

"Iya, iya ... yah sayang sekali." Kirby pura-pura sedih. "Mau nonton apa btw?"

"Ya, nanti kamu aja yang pilihlah, yang komedi kalau perlu, By. Ngelu ndas-ku, By," ucap Andrew, sesekali laki-laki itu menggunakan Bahasa Jawa dengan aksen medoknya.

"Kenapa lagi?" Kirby mengajukan pertanyaan yang ia sudah tahu jawabannya.

"Soal Mamilah, apalagi? Kan kamu tahu, By. Aku lagi nunggu Winda selesai S-2. Mami maksa buat jodohin sama anak temen arisannya."

Andrew terlihat frustrasi. Bukan aneh atau kuno, tapi kata Andrew memang tradisi perjodohan itu masih ada di keluarganya. Mami Andrew itu orangnya agak keras, calon mantunya harus sesuai ekspektasi dan ia yang memilih langsung. Kata Andrew, kakak perempuannya bahkan mengalami hal yang sama, dan berakhir dengan perceraian karena suaminya KDRT. Terkadang, memaksakan kehendak sebagai orang tua memang tidak baik, belum tentu sesuai dengan apa yang diinginkan anak. Namun, masih banyak yang melakukan hal seperti itu, dalam kasus ini, orang tua Andrew adalah contoh nyata.

"Kenapa kamu nggak bilang? Toh, Winda, kan, juga sederajat sama keluarga kamu. Maksudku, dari segi agama, kedudukan. Jadi, kenapa mamimu harus nggak setuju?"

Andrew mengangkat kedua bahunya, seperti pasrah. "Entahlah, aku juga nggak paham sama jalan pikiran Mami."

"Ndrew, kamu laki-laki. Harus tegas, harus berani bilang iya atau nggak. Maksudku, dengan alasan yang bisa dipercayai sama mami kamu. Kamu sering nyuruh murid kamu buat komunikasi yang asertif, masa nggak kamu terapkan?" Kirby terkekeh di akhir kalimatnya, membuat Sukma menahan tawa.

"Kamu juga harus tegas sama Winda. Dia beneran mau nikah sama kamu atau nggak? Katamu tiga bulan lagi dia lulus? Atau jangan-jangan Winda juga belum yakin sama kamu?" Sukma menimpali, perempuan itu meski sedang menonton drama Korea, tapi mendengarkan pembicaraan Andrew dan Kirby sedari tadi.

"Gitu, ya? Ada benernya juga saran kalian."

Kirby baru akan membuka mulutnya, saat suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Sukma lalu bergerak dengan cepat untuk membuka pintu. Mrs Ira datang bersama dengan dua orang murid laki-laki yang wajahnya ... lumayan berantakan.

"Ini ada apa, Ma'am?" Kirby telah bergerak untuk mendekat dan bertanya pada Mrs Ira.

"Saya menemukan mereka berdua sedang adu jotos, Miss, di belakang gedung kelas sebelas. Jadi, saya bawa ke sini. Kebetulan, hari ini saya sedang piket," ucap wanita paruh baya itu sambil menatap dua orang murid laki-laki yang ada di depan Kirby.

"Oke, terima kasih Mrs Ira. Akan saya proses segera."

"Thanks, Miss Kirby. Kalau begitu, saya tinggal dulu."

Kirby mengangguk, lalu menatap serius pada dua anak laki-laki itu, sebelum menghela napasnya. "Ikut saya ke ruang konseling," ucap Kirby pada keduanya. "Ndrew, tolong nanti kamu bantu Sukma buat follow up lagi ke kepala sekolah, soal rencana tes kecerdasan untuk kelas dua belas." Kirby menatap Andrew dan Sukma sekilas, sebelum meninggalkan mereka.

***

"Romeo dari kelas sebelas tiga dan Dionisius dari kelas sebelas dua. Benar?"

Kirby memasang wajah serius namun tetap santai. Ia bukan konselor sekolah yang galak, meski wajahnya tampak tegas, namun Kirby tidak pernah sekalipun memarahi siswanya. Karena tahu bahwa kapasitasnya sebagai seorang konselor bukan untuk mengeluarkan kalimat pedas pada kliennya—dalam hal ini, muridnya di sekolah.

"Benar, Miss." Salah satu dari mereka yang dikenali Kirby sebagai Romeo menjawab pertanyaannya.

"Oke. Jadi, Rom ... kenapa berantem sama Dion?"

"Dia yang mulai duluan, Miss. Mobil saya dikempesin bannya."

Kirby mengalihkan tatapannya pada Dion. "Benar itu, Dion?"

"Benar, Miss." Dion menjawab sambil memegangi pipinya yang memar, karena pukulan dari Romeo.

"Kenapa? Kalau boleh saya tahu?"

Dion menatap sengit pada Romeo, remaja itu lalu membuang wajahnya. "Dia selingkuh sama pacar saya, Miss."

"That's just nonsense, Miss Kirby. Pacar dia saja yang ganjen." Romeo membela diri, tidak terima dengan tuduhan Dion.

"Loh, bukti sudah jelas masih mengelak? Pengecut."

Romeo yang merasa terprovokasi dengan Dion segera berdiri dari duduknya dan mencengkram erat kerah baju Dion, melupakan fakta soal sesi konseling, Kirby dan skorsing yang mungkin menantinya.

"Mind your attitude, Romeo. Duduk lagi!" Kirby beralih pada Dion. "I warned you to watch your manners, Dion."

Romeo menghela napasnya dan kembali duduk di samping Dion yang tampak tidak suka dengan situasi ini. Kirby melihat kedua muridnya itu dengan tenang, ia berusaha meredam situasi yang memanas.

"Kalian berdua, lihat saya. Ikuti instruksi saya." Kirby memberi jeda sejenak. "Tarik napas dari hidung, tahan tiga detik, keluarkan lagi. Lakukan tiga kali."

Mau-tak-mau Romeo dan Dion melakukannya, mengikuti instruksi Kirby. Setelah memastikan kedua muridnya agak tenang, Kirby memulai lagi sesi konselingnya. Ia harus tahu tahu dulu duduk permasalahan antara Romeo dan Dion. Dua remaja yang bertengkar hanya karena urusan cinta monyet. Kirby tidak heran, sih, bertahun-tahun menjadi konselor sekolah, kasus seperti ini sudah tidak asing untuknya. Bahkan banyak yang lebih parah. Kirby mencoba untuk bisa membantu mereka menyelesaikan masalahnya. Dua remaja yang emosinya sama-sama gampang tersulut dan ego besarnya. Well, risiko pekerjaan seorang Kirby Areta.

***

Urusan Dion dan Romeo belum selesai. Kirby memutuskan untuk memanggil orang tuanya besok. Mereka sudah melakukan pelanggaran berat. Saling pukul sampai babak belur, pihak kesiswaan pun juga sudah menyiapkan skorsing satu minggu untuk mereka. Kirby tidak bisa berbuat banyak jika pihak kesiswaan sudah turun tangan, bagaimanapun untuk beberapa kasus berat, ia memang tetap harus koordinasi dengan kesiswaan, dalam artian wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan timnya.

Kirby tidak tahu pasti, apa isi kepalanya sedang bermasalah atau tidak. Mengapa malah ia menjalankan mobilnya menuju rumah sakit tempat Raya dirawat, ketimbang langsung pulang dan mendekam diri di dalam kamar. Setelah insiden diantar pulang oleh Daska dua hari lalu, Kirby belum bertemu lagi dengan laki-laki itu. Sebenarnya Kirby juga bingung, ia hendak mengunjungi Raya semata untuk melihat keadaan anak itu atau untuk misi lain, bertemu dengan Daska misalnya. Entahlah, Kirby memilih untuk membuang pikiran randomnya dan segera masuk ke ruang inap Raya.

Gadis itu ditemani oleh asisten rumah tangganya—Minah. Kirby lalu meletakkan sekeranjang buah di atas meja di kamar itu, ia bahkan masih sempat membeli buah itu sebelum ke rumah sakit. Sungguh, alam bawah sadarnya seperti sudah merencanakan ini semua.

"Miss Kirby?" Raya menatapnya sedikit terkejut, mungkin tidak menyangka Kirby akan mengunjunginya lagi. Raya memang sering berurusan dengan Kirby, tapi mereka tidak sedekat itu.

"Gimana, Ray, sudah sehat?"

"Lumayan, Miss."

"Segera sembuh, ya, Ray. Jangan pikirkan apa pun, yang sekiranya nggak penting. Fokus sama diri kamu sendiri." Kirby memberi nasihat, ia membaca raut wajah Raya yang sedikit berubah.

"Mbak Raya, saya boleh izin sebentar untuk ke kantin?"

"Iya, Bi." Raya menjawab permintaan Minah.

Setelah berpamitan, wanita itu segera meninggalkan ruang inap Raya, menyisakan Raya dan Kirby yang saat ini sudah duduk di atas kursi, di samping tempat tidur Raya. Kirby melempar senyum pada gadis itu.

"Ray, kamu nggak sendiri loh. Kamu punya Miss, kalau kamu mau cerita sesuatu hal. Miss nggak akan bilang sama siapa-siapa."

Raya hanya diam, menghindari tatapan Kirby. Sebenarnya Raya bukan anak yang keras dan kurang sopan santun, ia hanya memiliki rasa penasaran yang besar dan terkadang sulit mengendalikan keinginannya. Ditambah lagi, ia benar-benar tidak pernah mendapatkan bimbingan dari orang tuanya, sejak kecil, Raya lebih sering bersama pembantu dan pengasuhnya daripada bersama kedua orang tuanya.

"Miss Kirby nggak mau maksa kamu, Ray. Miss cuma pengin bilang, jangan memendam semuanya sendiri, bagi beban kamu ke orang lain, orang yang bisa kamu percayai. Ray, kamu masih muda, masa depan masih panjang, banyak hal yang masih bisa kamu lakukan."

"They don't care about me, Miss."

"Siapa bilang? Mereka pasti peduli sama kamu."

"Dari kecil, saya sendirian, Miss. Di saat semua anak mudah mengadu ke orang tuanya, saya? Mana bisa. Mereka selalu sibuk dengan bisnis mereka, Kak Daska juga begitu. Bahkan saat saya hampir jadi korban pemerkosaan, apa mereka tahu? Nggak."

"Kapan itu, Ray?"

Raya berubah sedih, air mata turun dari kedua matanya, membasahi wajah pucat gadis itu. Kirby lalu memutuskan untuk menggenggam tangan gadis itu, memberinya kekuatan.

"Minggu lalu, di kelab. Saya dijebak, saya—saya—" tubuh Raya bergetar, gadis itu menutup kedua matanya sambil menahan ingatan menakutkan soal kejadian malam itu.

"Ray, tenang ... ambil napas yang dalam, buang pelan-pelan. Ayo tenang dulu." Kirby memeluk gadis itu dengan hati-hati, menatap iba sosok Raya yang benar-benar seperti anak tersesat.

"Minum, ya?" Kirby melepas pelukannya, lantas menyodorkan segelas air putih di atas meja untuk Raya.

Raya mengingatkan Kirby pada Melda, yang menjadi muridnya beberapa tahun lalu. Sama seperti Raya, Melda menjadi korban keluarganya. Waktu itu Kirby tahun pertama Kirby menjadi seorang konselor sekolah, Melda adalah klien tetapnya. Berkali-kali Kirby melakukan proses konseling hingga menemani gadis itu ke psikiater untuk diagnosis dan pengobatan lebih lanjut. Sayangnya, Melda menyerah ... bukan karena bunuh diri, tapi stres berkepanjangan membuat pola makannya berantakan, kesehatannya menurun drastis, karena mengalami sakit lambung parah. Melda akhirnya meninggal, membuat Kirby sempat berduka selama berbulan-bulan. Ia sudah terlanjur menyayangi Melda sebagai adiknya sendiri. Ia yang menemani Melda di masa sulitnya. Saat itu Kirby merasa gagal menolong Melda. Melda adalah kenang-kenangan pahit di tahun pertamanya menjadi konselor sekolah.

"Udah nggak papa, semuanya kan sudah berlalu. Kamu tidur aja, ya, Ray? Biar tenang."

Kirby tidak ingin mengorek lebih banyak informasi soal Raya, karena gadis itu sedang sakit. Hal paling penting untuk saat ini adalah kesembuhan Raya. Gadis itu mulai memejamkan matanya, mungkin kantuk cepat menyerang karena emosinya tadi. Kirby mengelus rambut Raya pelan, sampai akhirnya Raya sudah jatuh tertidur. Menarik napasnya, Kirby lalu merapikan selimut yang dikenakan Raya yang berantakan.

"Saya ingin bicara, bisa?" suara seseorang membuat Kirby terkejut.

"Pak Daska?"

Daska mengangguk, laki-laki itu berdiri di belakang Kirby dengan kemejanya yang sedikit berantakan, dasi yang longgar dan jas yang telah dilepas. Kirby sempat menahan napasnya sebelum kembali bernapas dengan normal. Daska di usia dewasa memang jauh lebih tampan dari Daska di masa perkuliahan dulu.

"Bisa," balas Kirby dengan suara pelan, seperti cicitan tikus.

***

Perempuan itu lalu mengekori Daska, yang mengajaknya pergi ke Starbucks yang ada di lantai satu. Rumah sakit tempat Raya dirawat memang cukup mewah, ada sebuah kedai Starbucks yang ada di lantai satu. Maklum, ini adalah rumah sakit paling dekat dari komplek perumahan Raya, bisa dibilang masih berada dalam satu komplek.

"Saya tidak sengaja mendengar pembicaraan kamu dengan Raya," kata Daska, sedikit menghilangkan keformalannya, membuat Kirby mengeryit bingung. Aneh, terlalu tiba-tiba.

"Lalu?"

"Seperti yang kamu bilang, Raya mungkin memang butuh bimbingan orang yang lebih dewasa. Orang tua saya jelas tidak bisa, saya tidak ingin mengganggu mereka. Ayah saya sudah cukup sibuk dengan pengobatan Ibu saya di sana."

"Emh, ya? Pak Daska juga bisa menjadi pengganti mereka. Seperti yang kita bicarakan tempo hari."

Daska menggeleng, ia meminum Americano Coffee-nya sebelum kembali berbicara. "Saya tidak pernah berurusan soal mengasuh anak, apalagi remaja seperti Raya. Saya tidak bisa setiap waktu berada di dekat Raya, karena kesibukan saya di kantor. Sejak Ayah berada di Seoul, semua urusan di Indonesia, berada di bawah tanggung jawab saya."

"Mungkin keluarga Pak Daska yang lain?"

"Mereka di Jakarta, tidak ada yang di Surabaya. Harapan saya satu-satunya hanya kamu, mengingat kamu tahu kondisi Raya dengan baik."

Kirby membuka mulutnya sebelum kembali menutupnya. Memalukan. Perempuan itu menatap penuh tanya pada Daska. "Maksudnya?"

"Kamu mau membantu saya?" Daska berbicara dengan serius.

"Membantu dalam hal?"

"Bantu saya membimbing Raya. Tinggal di rumah saya. Saya akan membayar kamu mahal untuk ini."

Kirby diam, ia mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan Daska. Tinggal di rumah Daska? Dibayar? Yang benar saja! Bukan karena Kirby menolak uang, tapi ... akan bahaya jika ia tinggal di rumah Daska. Bagaimana kalau ia menyerahkan lagi hatinya untuk Daska? Sial, di usianya saat ini, bukan waktunya lagi untuk main-main.

"Pikirkan dulu. Saya berharap kamu bersedia. Saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi."

"Tapi saya nggak harus tinggal di rumah Pak Daska, kan?"

"Saya sering keluar kota, karena itu saya ingin kamu tinggal di rumah saya, biar lebih bisa membimbing Raya."

Kirby mendesah, ia menatap Daska yang sedang menunggu jawabannya. Gila! Kirby pasti sudah tidak waras, atau Daska yang gila? Kirby tidak mengerti. Sial sekali, kenapa harus bertemu dengan Daska dan membuat hatinya kembali rumit? Kirby berada dilema, antara urusan hati atau sisi kemanusiaannya. Jujur, ia memang kasihan denga Raya, dan tidak keberatan jika harus membimbing Raya. Tapi, tinggal di rumah Daska? Yang benar saja?

"Hanya untuk sementara, sampai kondisi Raya stabil," kata Daska, seakan mengerti kebimbangan Kirby.

Menarik napasnya, Kirby menegakkan badannya. "Saya akan berpikir lebih dulu."

"Great! Saya harap, saya mendapatkan kabar yang baik."

Kirby tersenyum paksa, memang ... Daska pikir, ini kesepakatan bisnis? Hell, terima kasih untuk Daska yang membuat jantung Kirby kembali jumpalitan dan hati Kirby tidak tenang. Rasa-rasanya, Kirby mulai tidak baik-baik saja. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro