Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kirby yang Tak Dikenali

Sudah tiga tahun Kirby tidak pernah merasa gugup ketika bertemu seorang laki-laki, sejak ia putus dengan mantan pacar terakhirnya. Namun, kali ini bertemu kembali dengan seorang Daska Atharya telah berhasil membuat perasaannya kacau. Kirby kehilangan kosa kata yang biasanya mudah ia keluarkan, ketika bertemu dengan wali siswa.

Daska membuatnya seperti keledai dungu, hingga Sukma menyenggol tangannya untuk berbicara. Dengan mata yang mengerjap beberapa kali, dan berusaha mengendalikan dirinya. Kirby berdehem untuk memulai pembicaraan dengan Daska, yang saat ini sudah duduk di atas sofa berwarna keemasan, sofa super empuk yang juga diduduki oleh Kirby.

"Mohon maaf mengganggu waktunya, Bapak ...?"

Kirby menggantung kalimatnya, berakting seakan-akan tidak mengenal Daska sebelumnya. Walau hati kecilnya meneriaki kata bodoh berulang kali, Kirby tetap pada sikap profesionalnya sebagai seorang konselor sekolah.

"Daska Kim, panggil saja Daska," kata laki-laki itu, dengan suara beratnya yang membuat Kirby hampir berteriak—demi apa pun, Kirby merindukan suara itu. Sial, dia terlihat seperti seorang jalang sekarang.

"Baik, Pak Daska, saya Kirby dan ini rekan saya, Sukma. Kami adalah konselor di sekolah Raya Kim, adik Pak Daska."

Daska menganggukkan kepalanya, laki-laki itu sepertinya masih sama, tidak banyak bicara seperti dulu. Entah mungkin karena kepribadiannya atau sariawan menahun, Kirby juga tidak yakin. Karena dulu, Kirby dan Daska beda jurusan, hanya saja fakultas mereka berdekatan, Daska ada di Fakulta Ekonomi, sedangkan Kirby ada di Fakultas Psikologi. Jadi, dia tidak begitu mendapatkan banyak informasi soal kepribadian Daska semasa kuliah. Hanya saja, beberapa selentingan yang ia dengar, Daska memang sosok yang tidak begitu banyak bicara. Tapi, bukan berarti anti sosial, Daska memiliki beberapa teman akrab, seingat Kirby, ada tiga teman yang sering nongkrong dengan Daska di kafetaria kampus.

"Jadi, tujuan kami untuk berkunjung adalah untuk membicarakan soal Raya Kim, adik Anda. Beberapa kali, saya sebagai konselor sekolahnya sudah melakukan konseling dengan Raya untuk beberapa alasan." Kirby mengambil napas, berhadapan dengan Daska seperti membatasi kadar oksigen yang masuk ke paru-parunya.

"Raya beberapa kali membolos, tidak memenuhi tugas kelasnya, pernah ketahuan merokok dan kasus yang kami temui terakhir, kami mendapatkan kiriman foto Raya yang sedang berciuman panas di sebuah kelab malam, juga beberapa fotonya yang sedang mabuk."

Kirby menatap Sukma, memberikan kode pada Sukma untuk memberikan bukti foto itu pada Daska.

"Ini Pak Daska, bisa Anda lihat sendiri," kata Sukma sewaktu perempuan itu menyerahkan ponselnya pada Daska.

Laki-laki itu lalu mengamati ponsel Sukma, tampak serius memperhatikannya. Dahinya membentuk beberapa kerutan, seperti sedang berpikir keras. Untuk beberapa saat, Daska hanya diam sambil memperhatikan foto itu, sedang Kirby? Perempuan itu diam-diam mengamati Daska yang tampak lebih tampan dan dewasa di usianya yang menginjak angka ke tiga puluh satu tahun, badannya lebih berisi daripada dulu, dengan rambut yang tertata rapi menggunakan jel. Kemeja abu-abu yang melekat pada tubuh Daska dan sebuah dasi hitam bergaris putih membuat laki-laki itu seperti khayalan Kirby soal billioner muda dan tampan. Mungkin Daska sudah memenuhi semua ekspektasi Kirby soal laki-laki idaman yang menjadi khayalan babunya selama ini.

"Saya tidak pernah mendapat laporan soal Raya selama ini." Daska mengeluarkan suaranya, terdengar sedikit keberatan.

"Kami sudah berusaha menghubungi orang tua Anda, tapi sulit. Setiap telepon ke rumah selalu pembantu Anda yang mengangkatnya. Kami tidak punya akses untuk menghubungi Anda, karena data siswa hanya sebatas nomor orang tua, Anda juga tidak tercantum sebagai wali Raya." Kirby memberikan penjelasan, meski perasaannya sedang aneh, Kirby tetap bisa bersikap profesional.

Daska menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa, laki-laki itu tampak menghela napas berat. "Orang tua saya sedang berada di Korea, sudah tiga tahun ini, Ibu saya sakit kanker darah, dan Ayah saya memutuskan untuk membawanya berobat di sana. Saya minta maaf untuk itu, mungkin juga karena saya kurang memperhatikan Raya, karena sibuk mengurus pekerjaan saya."

Ada nada penyesalan yang bisa Kirby tangkap, Kirby pikir—Raya—gadis itu adalah adik kesayangan Daska, meskipun jarak usia Daska dan Raya cukup jauh, lima belas tahun, tapi sangat terlihat bagaimana Daska mencoba untuk menjadi kakak yang baik bagi Raya.

"Raya mungkin kurang perhatian, seharusnya memang dia ikut orang tua saya pindah, tapi karena Ayah harus fokus dengan pengobatan Ibu saya, Raya harus tinggal di sini dengan saya. Nahasnya, saya juga tidak begitu memperhatikan gaya hidupnya. Saya memang jarang bertemu dengan Raya, hanya sesekali memantaunya lewat pesan WhatsApp."

"Tapi, sekarang, bukan waktunya menyalahkan diri sendiri, Pak Daska. Sekarang waktunya untuk membantu Raya memperbaiki hidupnya. Raya memang butuh orang yang bisa memberikan pengarahan untuknya," ucap Kirby, ia berusaha menenangkan Daska yang sepertinya merasa bersalah atas kenakalan Raya.

"Saya tidak tahu harus berbuat apa, menurut Anda bagaimana?"

"Coba berikan Raya perhatian, usahakan untuk mengajaknya mengobrol setiap hari walau singkat, jangan hanya memenuhi materinya, karena selain materi, hakikatnya, anak seusia Raya itu butuh cinta dari keluarganya. Butuh perhatian yang tidak ia dapat selama ini. Raya mungkin bertingkah banyak karena merasa kesepian dan ingin diperhatikan, karena meski secara materi Raya lebih dari cukup, dari segi kasih sayang, mungkin masih kurang."

Daska terdiam, ia sedang memikirkan kata-kata Kirby. Ini kali pertamanya Daska mengobrol dengan guru Raya di sekolah. Selama ini, ia hanya mewakili orang tuanya untuk mengambil rapor Raya, tanpa pernah berdiskusi dengan wali kelas Raya tentang perkembangan adiknya itu.

"Saya memang harus mengusahakan soal itu sepertinya."

Kirby mengangguk, lalu kembali berdehem. "Boleh, saya bertemu Raya? Dia di rumah kan?"

"Ya, mungkin. Sebentar," kata Daska, ia lalu beranjak, menaiki tangga, menuju kamar Raya di lantai dua.

"MasyaAllah bikin oleng Pak Daska," Sukma berbisik ke telinga Kirby, membuat Kirby berdecak.

"Fokus ... fokus."

"Ck, aku masih inget wajah bodohmu pas ngelihat Pak Daska ya, By. Nggak usah sok nggak terpesona."

Kirby memutar kedua bola matanya, menatap sebal pada Sukma yang tampak tersenyum jahil padanya. "Bisa diem?" kata Kirby dengan suara pelan, Sukma hanya cekikikan.

"Sudah kabarin Miss Angel?"

Kirby teringat dengan wali kelas Raya. Angel. Di sekolahnya memang masih menganut sistem kelas yang hampir mirip dengan kurikulum nasional, dengan masih memiliki wali kelas dan rombongan belajar. Karena meskipun beberapa mata pelajaran dibebaskan untuk dipilih sendiri oleh siswa, namun untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Kewarganegaraan, sekolah mewajibkan untuk semua siswa. Saat pelajaran itu lah, semua siswa akan duduk di kelas yang sama bersama teman satu kelasnya.

"Sudah, beres itu."

"Oke."

Tak lama, Kirby melihat suara langkah yang berjalan dengan cepat, dari arah tangga, ia melihat Daska yang sedang membopong seorang perempuan berambut cokelat—Raya Kim. Kirby dan Sukma lalu bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Daska yang terlihat panik.

"Kenapa Raya, Pak?"

"Saya tidak tahu, saat melihatnya, dia sudah seperti ini. Bisa bantu saya untuk ikut ke rumah sakit?" Daska sepertinya tidak bisa berpikir jernih, laki-laki itu jelas panik luar biasa. Ia butuh teman untuk membawa Raya ke rumah sakit, karena supir dan dua pembantunya baru saja berpamitan untuk belanja kebutuhan dapur, setelah mengantar minuman Kirby tadi. Dan, tidak mungkin mengajak satpam yang sedang berjaga di depan rumah.

"Baik, ayo!" balas Kirby, ia juga ikut panik saat melihat kondisi Raya, mulutnya mengeluarkan busa dengan wajah yang pucat pasi.

***

Raya terlalu banyak menelan obat tidur. Entah darimana gadis itu mendapatkan obat tidur, karena biasanya obat itu dikonsumsi atas resep dokter. Raya masih belum sadar, meski sudah dipindah ke ruang perawatan. Kirby terpaksa membolos seharian untuk menunggui Raya, karena Daska tadi mendapatkan telepon dari kantornya untuk segera rapat dengan pihak pemerintah dan tidak bisa ditunda, sedangkan Sukma sudah kembali ke sekolah beberapa jam yang lalu.

Kirby duduk di samping Raya, perempuan itu memandangi wajah Raya yang pucat. Ia merasa kasihan dengan muridnya ini, sepertinya memang banyak hal yang disembunyikan Raya selama ini. Ingatan Kirby lalu kembali jatuh pada pertemuannya tadi dengan Daska, seumur hidupnya, itu kali pertama ia berbicara dengan Daska, karena selama masa kuliah, Kirby hanya mengamati Daska dari jarak yang tidak diketahui oleh laki-laki itu. Jelas saja, Daska tidak akan mengenalinya. Memang siapa Kirby? Meskipun dulu, ia aktif di BEM Fakultas, tapi Kirby tetaplah bukan bintang kampus yang harus dikenal oleh semua orang, termasuk Daska—yang jelas-jelas beda fakultas dengannya.

"Raya?" Kirby memanggil Raya sewaktu melihat gadis itu membuka matanya.

Raya masih diam, dengan mata yang mengerjap beberapa kali, entah sudah berapa lama gadis itu tidak sadar, hari ini bahkan sudah hampir maghrib dan Raya baru membuka matanya. Seharian Kirby menunggui gadis itu—muridnya.

"Miss Kirby?" Raya menatapnya dengan terkejut sekaligus heran dengan keberadaan Kirby.

"Nggak usah bangun, istirahat saja," kata Kirby, mencegah Raya yang hendak bangun. Gadis itu lalu meringis, sepertinya mengalami sakit kepala.

"Kamu terlalu banyak meminum obat tidur, seharian kamu nggak sadar. Sekarang, kamu ada di rumah sakit." Kirby menjelaskan tanpa diminta.

"Saya nggak bisa tidur," ucap Raya, pelan. Matanya lalu terpejam dengan dua jari tangan kanannya yang memijit pelipis.

"Jangan memikirkan apa pun, kamu istirahat saja, ya? Saya panggil dokter dulu."

"Makasih, Miss."

Kirby mengangguk, lalu keluar dari ruangan Raya. Ia pergi ke bagian informasi untuk mencari perawat agar memanggil dokter yang menangani Raya, melupakan fakta bahwa ada tombol pemanggil di ruangan Raya. Kirby sepertinya tidak fokus karena pertemuannya dengan Daska hari ini.

Kirby mengecek jam di pergelangan tangannya, lalu menghela napasnya. Ia menunggu di luar, selagi dokter memeriksa Raya.

"Maaf, saya baru datang dan lupa mengabari pembantu saya untuk menggantikan Anda menjaga Raya," suara milik Daska membuat Kirby sedikit terkejut.

"Ah, tidak apa-apa." Kirby memberi pemakluman. Wajah Daska terlihat kusut dan lelah.

"Mari saya antarkan pulang, pembantu saya akan datang sebentar lagi."

"Tapi, ada dokter yang memeriksa Raya di dalam."

"Saya akan bertemu dokternya nanti, setelah mengantarkan Anda pulang."

"Emh, mobil saya masih di rumah Anda. Jadi sebaiknya saya mengambilnya di sana."

Daska menggeleng. "Mobil Anda, biarkan saja. Supir saya akan mengantarkannya nanti."

"Maaf, tapi nanti saya merepotkan." Kirby memberikan bantahan, merasa tidak enak juga harus merepotkan Daska atau mungkin, ia hanya belum siap berada satu mobil dengan Daska?

"Mari, saya antar," pungkas Daska, laki-laki itu sepertinya tidak ingin dibantah, membuat Kirby kikuk.

Kirby hanya membayangkan suasana awkward antara dirinya dan Daska di dalam mobil nantinya. Pasti aneh sekali, menarik napas panjang, Kirby lalu mengekori Daska untuk berjalan menuju mobilnya di parkiran rumah sakit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro