Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ingatan tentang Daska

Kita tidak pernah bermula dan tidak pernah menemui selesai. Apakah, di kemudian hari nanti ... kita bisa menciptakan kisah baru yang memiliki titik mulai, dan menemui garis usai?

"Miss Kirby ... emh, ini tentang Raya."

Kirby mengerutkan dahinya, ia lalu mendekat pada Sukma yang sedang fokus pada ponsel berwarna hitam miliknya. Perempuan berambut sebahu itu tampak menghela napas berat. Kirby sibuk bertanya ... membuat ulah apalagi seorang anak perempuan bernama Raya Andreana Kim itu?

"Kenapa, Miss Sukma?"

"Raya sudah lima hari nggak masuk sekolah, dan ... aku dapat kiriman video soal Raya yang emh ... sedang mabuk-mabukan, dan foto ciumannya dengan seorang anak laki-laki di sebuah kelab malam."

Sukma menyodorkan ponselnya pada Kirby yang diterima perempuan itu dengan cepat. Raya Kim adalah seorang murid kelas sebelas yang sudah bolak-balik berurusan dengan Kirby, karena selain banyak kasus pelanggaran, Kirby merasa bahwa Raya itu butuh penanganan yang serius dari ahli kejiwaan. Seharusnya Raya memang sudah dikeluarkan dari sekolah, namun karena kedua orang tuanya adalah penyumbang dana di yayasan, pihak sekolah tidak bisa berbuat banyak. Yah, bukan rahasia umum lagi, jika banyak lembaga di negeri ini, dari segala jenis dan lini, selalu dibatasi tentang jabatan, termasuk uang pelicin. Apalagi sekolah tempat Kirby bekerja adalah sebuah sekolah swasta yang dimiliki oleh perseorangan.

"Sudah hubungi walinya?"

"Orang tuanya ada di luar negeri dan nggak bisa dihubungi, Miss. Aku udah coba buat hubungi Raya. Lalu, tiap kali aku telepon ke rumahnya, pasti pembantu Raya yang mengangkat." Sukma memberi penjelasan, membuat Kirby mengurut dahinya berat. Tipikal kehidupan orang kaya, walau tidak semuanya, tapi banyak yang seperti ini.

"Miss Sukma, coba cari data keluarga Raya, masa nggak ada yang di Indonesia?"

Sukma mengangguk.

"Bentar, ya, Miss. Aku buka masterdoc-nya dulu."

Kirby kembali mengangguk, lalu menarik kursi di depan meja Sukma dan menunggu perempuan itu untuk menemukan data otobiografi Raya. Kirby Areta sudah tujuh tahun ini berprofesi sebagai School Counselor di sebuah sekolah swasta elit di kawasan Surabaya. Tahun ini, usia Kirby menginjak dua puluh sembilan tahun, dan dia masih single, belum memiliki pandangan soal pernikahan. Meskipun, ibu sudah sibuk mendesaknya untuk segera menikah dan meski di lingkungan tempat ibunya tinggal, ia sudah pasti dicap sebagai perawan tua. Tapi, bagi Kirby, semua itu bukan urusannya. Toh, mereka tidak akan menanggung derita Kirby apabila Kirby salah memilih suami. Lagian, pernikahan bukan semudah itu, banyak pertimbangan yang harus Kirby lakukan untuk melangkah ke kehidupan itu.

"Ah, ketemu! Raya punya satu kakak laki-laki, Miss. Sepertinya tinggal di Indonesia."

"Great. Kalau gitu, kita home visit aja, Miss. Aku juga khawatir soal Raya, dan karena nggak ada yang bisa dihubungi, pembantunya juga nggak banyak tahu, jadi ... kalau home visit sepertinya lebih gampang. Semisal kita udah di sana dan kakaknya tidak ada, ya, kita minta pembantunya buat hubungi. Bagaimana?"

"Ide bagus sih, Miss. Kalau gitu, kapan mau ke sana?"

"Besok gimana? Nanti urusan di sini biar Andrew yang handle dulu."

Sukma mengangguk setuju. "Kita ajak wali kelasnya?"

"Hm, harus, sih, kalau itu. Coba hubungi Miss Angel."

"Oke, Miss. Nanti, aku hubungi Miss Angel dulu."

Kirby mengacungkan kedua jempolnya lalu kembali duduk di meja kerjanya, sembari mengamati layar laptop yang berisi angket sosiometri milik kelas 10 A. Sebenarnya, masalah muridnya di sini memang tidak terlalu banyak, setidaknya tidak sebanyak kasus di sekolah-sekolah pinggiran, hanya saja ... sekali ada kasus, ya, begini, bisa membuat Kirby pusing tidak keruan. Apalagi gadis bernama Raya Kim itu, sudah berulang kali Kirby memberi konseling untuk gadis berusia enam belas tahun keturunan Korea itu, namun ... tidak membuahkan hasil.

***

Sekolah tempat Kirby bekerja adalah sebuah sekolah swasta favorit yang mengadopsi sebagian kurikulum Cambridge dan menggabungkannya dengan kurikulum nasional. Jadi, di SMA Tjahya Pertiwi ini memiliki tiga tingkatan kelas, dengan masing-masing siswanya bebas memilih kelas yang ingin mereka ikuti. Ada kelas sains, sosial dan bahasa yang disediakan, dengan berbagai mata pelajaran yang bisa dipilih sendiri oleh siswanya.

Kirby cukup betah bekerja di SMA itu, karena selain lingkungan kerjanya yang menyenangkan, gaji yang ditawarkan juga cukup untuk membiayai hidup Kirby di kota sebesar Surabaya. Kirby bahkan bisa mengontrak sebuah rumah minimalis yang saat ini ia tinggali, juga ia memiliki sebuah mobil Toyota Agya yang kreditnya baru saja lunas bulan lalu.

Kirby menghela napasnya, ia memandang sebuah buku diary miliknya semasa kuliah, yang terselip di antara tumpukkan novel di atas meja kerjanya. Buku berwarna biru laut bergambar beruang itu sudah tampak koyak di ujungnya. Tangan Kirby lalu meraih benda itu dan membuka halaman demi halaman yang ia kenali benar bentuk tulisannya. Tulisan tangan Kirby, yang tidak ada cantik-cantiknya, alias berantakan. Di antara tumpukan tulisan zaman kuliahnya yang mulai memudar, Kirby menemukan satu nama dari masa lalunya. Nama seseorang yang pernah ia kagumi semasa menjadi mahasiswa baru.

Daska Atharya K.

Sosok laki-laki berperawakan tinggi, dengan kilatan mata yang tajam. Wajahnya tidak begitu lebar, dengan rambut hitam kecokelatan miliknya. Kak Daska-nya tidak memiliki badan setegap dan seseksi Choi Siwon—idolnya, tapi mampu membuat Kirby seperti remaja alay yang berkhayal untuk bisa bersama pujaan hatinya.

"Sial, alay banget dulu. Idih, geli banget ...," dumel Kirby, lalu menutup buku hariannya dengan wajah yang terasa panas. Bahkan, ia masih mampu mengingat dengan jelas setiap detail wajah dan bentuk tubuh Daska.

Memalukan! Untung, masa-masa bucin itu berakhir saat Kirby menerima kenyataan pahit, saat wisuda kelulusan, seorang perempuan berwajah bak artis Korea mendampingi Daska. Kirby? Jelas, merasa kalah sebelum berperang.

Ponsel Kirby berkedip-kedip, sebuah panggilan dari Kanjeng Ibunda membuat Kirby menarik napasnya berat. Dengan menyiapkan mental, perempuan itu lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya.

"Assalamualaikum, Kanjeng Ibunda."

"Waalaikumsalam, masih inget sama Bunda?"

Kirby menelan ludahnya berat, ia meringis. "Masih, dong, Kanjeng Ibunda yang paling cantik se-Kabupaten, masa iya aku lupain?"

"Halah, nggak usah ngerayu. Bunda udah kebal, ya, By. Jadi, gimana?"

"Apanya?" Kirby pura-pura bodoh sambil menghitung mundur dalam hati.

"Calon mantu buat Bunda lah, apalagi?"

Kan ... benar.

"Jadi, begini, Bun ... udah jam 7, aku musti berangkat. Nanti kutelepon lagi lah, ya, Bun. Hehe, bye, Bunda ... Assalamualaikum."

Kirby segera mematikan ponselnya dengan tidak sopan, membiarkan bundanya mengomel di sana. Masih pagi, Kirby belum sarapan dan ia tidak ingin mendengar rengekan bundanya soal calon mantu, mana statusnya sedang single happy sekarang.

***

Sukma menatap takjub bangunan rumah megah yang berdiri di depannya. Lahan parkir yang luas dengan taman cantik yang menghiasi halaman, membuat siapa pun akan betah jika berlama-lama di tempat itu. Tak terkecuali Sukma, yang membuat Kirby mencubit pipi rekan sejawatnya itu.

"Miss Sukma, plis lah ... ini bukan pertama kalinya kita ke rumah crazy rich Surabaya, jadi tolong ... mukanya dikondisikan," bisik Kirby membuat Sukma terkikik—setengah malu.

"Maaf, Miss. Aku kan jadi mengkhayal babu pengin punya rumah beginian."

"Bisa, kok ... kalau mau." Kirby menatap Sukma dengan raut serius, omong-omong, mereka sedang menunggu pintu utama rumah ini dibuka oleh si empu rumah, setelah dipersilakan satpam rumah untuk masuk.

"Apa?"

"Cari sugar daddy," kata Kirby menahan geli.

"Astaghfirullah ... mulut tolong, mulut," dumel Sukma, membuat Kirby berusaha menahan tawanya yang akan meledak.

"Maaf, ya, Bu, menunggu lama. Mari, silakan masuk," ucap seorang wanita paruh baya, dengan daster batik yang melekat di badannya. Kirby pikir, itu adalah asisten rumah tangga di keluarga Raya Kim.

"Nggak papa, Bu. Terima kasih," balas Kirby ramah.

Wanita paruh baya itu lalu mempersilakan Kirby dan Sukma untuk masuk ke dalam rumah besar bercat cokelat dan krem itu. Mata Kirby meminda seisi ruang tamu, berbagai perabotan mahal tampak menghiasi rumah Raya Kim—pantas saja, gaya hidup muridnya itu luar biasa, ternyata ... keluarganya memang sekaya ini.

"Ada perlu apa, ya, Bu?" lagi, wanita paruh baya itu bertanya.

"Jadi begini, sebelumnya perkenalkan, saya adalah Kirby dan ini teman saya Sukma. Sebenarnya, ada satu lagi Miss Angel, wali kelas Raya, tapi beliau hari ini berhalangan hadir. Kedatangan kami ke sini, ingin menyampaikan beberapa hal terkait Raya Kim, dan kami ingin bertemu dengan wali dari Raya," papar Kirby.

"Iya, Bu. Bu Sukma yang kemarin menghubungi saya, kan? Saya Minah, asisten rumah tangga di sini. Tapi, sebelumnya mohon maaf, Bapak dan Ibu sedang ada di luar negeri dan belum bisa pulang dalam waktu dekat," kata Minah, Sukma mengangguk.

"Keluarga lain, apa tidak ada?"

"Ada sih, Bu. Kakaknya Mbak Raya. Beliau sedang di kantor, Bu."

"Bisa minta tolong diteleponkan? Ini sangat penting, terkait Raya."

Minah tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengangguk. "Saya izin untuk menelepon dulu kalau begitu," ucapnya, lantas berjalan beberapa langkah untuk meraih gagang telepon rumah yang berada di atas meja kecil, di sudut sofa.

Kirby mengedarkan tatapannya lagi, memindai seisi ruangan yang luas itu. Sebuah foto keluarga berukuran besar di gantung di salah satu sisi dinding. Dahi Kirby berkerut-kerut, ketika ia mendapati wajah seorang laki-laki di dalam foto itu, yang tidak asing untuknya. Dia mirip seseorang yang Kirby kenal, namun tidak mengenal Kirby. Tidak salah lagi, meski bentuk wajahnya sedikit berubah, Kirby tak mungkin salah mengenali.

"Mas Daska akan segera pulang, Bu. Mohon ditunggu, saya buatkan minum dulu," pungkas Minah sebelum berlalu—sebelum Kirby sempat menolak minuman itu.

"Miss, itu kakaknya Raya bukan, ya? Gila, Miss ... kayak Oppa Korea. Eh, maklum lah, keturunan Korea." Sukma memandang foto yang juga diperhatikan Kirby dengan mata berbinar-binar.

"Nyebut, Suk ... nyebut ... inget Mas Pacar lagi layar," peringat Kirby, mengingatkan Sukma soal pacarnya yang seorang pelaut dan kini tengah tugas berlayar.

"Kagum doang, By ... Ya Allah, cuci mata ini loh," balas Sukma, ia mulai berbicara tidak formal—mengikuti Kirby, jika di luar jam kerja, mereka memang berbicara dengan bahasa yang lebih santai.

Kirby menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Sukma, sedang ia sendiri masih memikirkan soal kakak Raya Kim. Apakah memang benar Daska yang sama? Kenapa hatinya yang telah lama tidak berdetak untuk Daska, kini dengan kurang ajarnya malah berdetak tidak keruan? Kirby juga sedikit ... gugup.

Sial.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro