5. Usaha Melupakan
Cinta pertama, selalu terngingang, menjadi bayangan yang sulit dilupakan dan selalu dikenang.
Tips untuk move on:
1. Ikhlas
2. Berhenti stalking
3. Cari gebetan baru
...
Aika berhenti pada deret point ketiga. Mencari gebetan baru? Cewek itu memerhatikan lagi kalimat yang berada di salah satu lama blog khusus cewek itu.
"Bullshit!"
Ia berteriak di dalam kamarnya, tidak kencang namun cukup terdengar frustrasi. Nyatanya, ia sudah mencoba usaha itu berkali-kali, tetap saja hatinya kembali lagi pada Darja. Cowok sialan yang dengan mudahnya melupakan dirinya disaat ia sendiri masih berhenti pada satu titik.
First love lies deep, mungkin salah satu ungkapan yang sialannya berlaku untuknya. Aika menghela napasnya, ia menyandarkan badannya pada bahu kursi yang tengah diduduki, memikirkan segalanya. Berapa banyak waktu yang telah ia buang percuma untuk menunggu Darja, berapa banyak waktu yang telah dihabiskannya dengan sia-sia hanya untuk mengingat Darja.
Cewek itu lalu meraih satu lembar kertas HVS yang terletak di dekat printer, dan meraih spidol besar berwarna hitam yang ia letakkan di atas meja. Memejamkan matanya. Ia menuliskan sesuatu di sana, tiba-tiba saja ia teringat pada salah pemateri seminar nasional di kampusnya bulan lalu, bahwa manusia harus menuliskan targetnya di atas kertas, menempelkannya di dinding kamar dan mendoakannya setiap hari—jika ingin harapan itu dikabulkan.
Melupakan Darja Djalasena Sastrakusuma dan menemukan yang lebih baik dari Darja.
Senyum Aika merekah begitu ia selesai menuliskan kalimat itu. Cewek itu lalu meraih double tip di laci mejanya dan menempelkan kertas itu dibalik jadwal kuliah yang sudah ia pajang sebelumnya—takut mama, papa atau Abangnya yang jail itu melihat apa yang ia tulis.
***
Aika berjalan dengan dagu terangkat, ia bukan cewek melankolis yang menyalahi komitmen yang ia buat sendiri dan terus meratapi kesedihannya, karena cinta bertepuk sebelah tangannya pada Darja. Ia akan menganggap, peryataan Darja di masa lalu hanya bualan cowok itu semata. Lagipula, ia harus memiliki prinsip bahwa mati satu tumbuh seribu.
"Astaga!"
Aika memekik kaget, karena saat ia berjalan di lorong kampus, tiba-tiba saja Darja sudah berada di hadapannya sambil membawa tas ransel dan jas almamaternya—entah darimana, yang jelas saat Darja memakai almamater biru mudanya, sudah pasti cowok itu baru saja mengikuti salah satu kegiatan di kampus yang bersifat formal.
"Kita perlu bicara."
Aika heran dengan ucapan Darja. Terasa ada yang janggal dengan kalimat yang disampaikan oleh Darja.
"Kita? Lo sama gue please, kapan ada kita?" kata Aika sarkas.
Darja tersenyum kecil, pandangannya lurus menatap Aika, membuat cewek itu panas dingin. Bagi Aika ditatap oleh orang yang disayangi itu rasanya nano-nano. Sulit digambarkan, tapi yang jelas, ia tahu usahanya untuk melupakan cinta pertamanya tidak akan semudah dan semulus jalan tol.
"Gue mau pulang. Lo kalau ada perlu ya cepetan, Ja."
Aika bersedekap di depan Darja. Mereka bahkan sudah diperhatikan oleh beberapa mahasiswa yang lewat di depan sana, namun Aika yang super cuek dengan keadaan dan Darja yang tidak merasa terganggu, mengabaikan tatapan-tatapan penasaran itu.
"Nggak bisa cepetanlah, kita harus bahas visi misi sama foto buat kampanye."
"Kampanye segala, macem caleg aja lo, Ja."
"Dari dulu memang begitu kan? Lo siapin orasi lo, gue nggak mau tahu pokoknya lo harus bisa ngomong nanti."
Aika tersenyum miring, menatap remeh pada Darja. "Bukannya lo yang kurang bisa ngomong? Lo lupa siapa gue? Juara debat bahasa Indonesia tingkat nasional semester kemarin."
Aika berkata setengah mencibir pada Darja. Cowok itu tersenyum tipis, untuk urusan orasi di depan publik, Aika mungkin lebih baik dirinya. Darja sendiri bukannya tidak pandai berorasi, cowok itu hanya tidak terbiasa berbicara di depan umum, sedangkan jika untuk sekadar negosisasi dengan pejabat kampus, ia bisa melakukannya dengan mudah.
"Ayo kalau gitu, buktikan kalau lo jago debat."
Darja memberi tantangan yang disambut Aika dengan kekehan.
"Ja, Ja...lo yang bakal malu kalau udah lihat aksi gue nanti, sedangkan lo, lo cuma...?"
Aika menaikkan sebelah alisnya, ia tidak melanjutkan perkataannya padahal Darja sudah menunggu dengan ekspresi tenang andalan cowok itu. Mengunci rapat kalimat yang hendak dikeluarkannya, Aika mengembuskan napasnya. Ia hampir kelepasan mengungkit kisah mereka lagi di masa lalu.
"Lupakan, ayo sekarang."
***
Darja tampak serius dengan Macbook di depannya. Ia membuka lembar word dan mulai menyusun visi misi yang akan digunakan mereka dalam masa kampanye nanti. Aika juga sibuk dengan catatan di depannya, ia sedang mencatat beberapa poin untuk membuat visi dan misi, nanti akan dipilah bersama Darja, mana yang sebaiknya digunakan dan mana yang sebaiknya dibuang.
"Ja."
"Kenapa?"
"Kalau gue pesen susu gimana? Gue lagi pengin minum susu segar, di kafe ini jual tadi," kata Aika tiba-tiba. Ia ingat insiden Darja melempar susu kotaknya kemarin.
Sebenarnya Aika cukup penasaran dengan apa yang telah terjadi pada Darja, mengapa sampai cowok itu terlihat begitu antipati dengan susu. Apa karena pernah mengalami trauma ataukah ada hal lain yang disembunyikan Darja? Sangat janggal sekali karena dulunya Darja sangat suka susu putih.
"Lo bisa pesen yang lain."
Darja berkata ringan, ia kembali sibuk dengan pekerjaannya, mengabaikan Aika yang menatapnya dengan rasa penarasan.
"Seingat gue, lo dulu penggemar berat susu UHT, sampai stok susu gue di rumah aja lo yang ngehabisin."
Darja menghentikan gerakannya, cowok itu melepas kacamata yang melekat di pangkal hidungnya—Darja memiliki silinder dan minus sejak enam bulan lalu, sehingga ketika menggunakan laptop atau saat mengikuti perkuliahan, cowok itu kerap memakai kacamatanya, meski beberapa kali ia melupakan, karena belum terbiasa.
"Nggak usah membahas masa lalu, Aika. Lo ada di masa sekarang, cuma buang-buang waktu kalau lo membahas masa lalu."
Aika terperangah, sedetik kemudian ia tersenyum masam. Menertawakan ketololannya barusan, rasa penasarannya pada Darja sebagai bentuk peduli cewek itu, namun saat ini Aika ingin memukul kepalanya sendiri karena telah bersikap tolol di depan Darja.
"Iya ya. Buang-buang waktu, toh lo juga dulu pura-pura nggak kenal gue. Lagian lo siapa? Orang yang nggak penting dalam hidup gue kan? Lo cuma numpang lewat di masa kecil gue, dan pergi setelah lo bilang cinta, padahal itu semua cuma bualan remaja ingusan kayak lo."
Aika tidak dapat lagi menahan uneg-uneg yang ada di kepalanya. Ia mengeluarkan semua uneg-uneg itu daripada terus menyimpannya sendiri. Biar Darja tahu, saat ini cowok itu tak ada artinya lagi dalam hidupnya.
"Itu lo tahu. Lo kan juga udah bahagia sama pacar lo sekarang, pun dengan gue. Jadi, gue harap kita bisa jadi partner yang solid dan nggak melibatkan masa lalu."
Perkataan Darja melukai Aika dengan dalam, Aika menatap tajam cowok bermata tegas itu. Jika bukan di tempat umum, Aika berjanji akan menendang tulang kering Darja hingga si empunya memohon ampun. Enak saja, dia membuat seorang Aika Kanaya Ajidarma terluka selama bertahun-tahun dan gagal move on. Memang, siapa dirinya?
"Yahhh, partner yang solid. Suka-suka lo deh, Ja."
Seutas senyum yang pernah menjadi mimpi-mimpi indah pada tidur Aika saat ini menjelma menjadi luar biasa mengerikan. Melupakan memang sulit, tapi bukan berarti manusia harus terus-menerus bertahan ketika disakiti bukan?
Saat Aika akan kembali fokus dengan catatannya, ponsel cewek itu bergetar, menampilkan nama Laksamana Tirtoadji—saudara jauhnya yang tinggal di Surabaya. Aika beberapa kali bertemu dengan Laksamana dan sering menghabiskan waktu bersama dengan sepupu jauhnya itu ketika sedang pulang ke Mojokerto, sehingga mereka bisa sekarab saat ini.
"Halo Mas Laksa? Kenapa?"
Aika mendengar suara tawa dari cowok itu. Laksamana hanya terpaut dua tahun darinya. Jadi, bisa dikatakan mereka seumuran.
"Mas mau ke Jakarta besok, kamu jemput di bandara ya?"
"Loh, ngapain?"
"Menghilangkan kejenuhan."
Aika terkikik, Laksa pasti sedang kabur dari orang tuanya. Pakde dan Budhenya di sana memang sedang meminta Laksa untuk segera bertunangan dengan anak teman mereka.
"Oke deh. Nginep di mana nanti?"
"Kosnya Karyolah, nanti kalau nginep di rumahmu, Mama bisa tahu."
Aika tidak dapat mengendalikan tawanya. Ia mengasihani nasib Laksa yang cukup mengenaskan. Hidup dengan keluarga yang masih menganut benar adat Jawa memang sering membuat Laksa tertekan. Termasuk urusan jodoh, kedua orang tua Laksa benar-benar selektif memilih calon menantu.
"Iya deh, nanti aku sama Karyo jemput di bandara. See you, Mas."
Aika menutup panggilan Laksa setelah mendengar salam perpisahan dari Laksa. Menyisakan Darja yang menatapnya dengan dahi mengerut.
"Jadi mana visi misi yang udah lo bikin?"
Darja bertanya langsung membuat Aika diam sejenak, apa Darja tidak penasaran dengan siapa ia menelepon barusan?
"Nih. Tapi gue udah harus balik, ada urusan."
Darja mengangguk singkat. Aika berdiri dari duduknya, merapihkan tasnya dan menghabiskan sisa minuman cokelat yang masih seperempat gelas.
"Aika..."
Menghentikan aktivitasnya, Aika menatap lurus pada Darja. Ia menemui Darja tengah tersenyum tipis.
"Gue nggak pernah main-main atas apa yang pernah gue katakan di masa lalu," tukas Darja, membuat tubuh Aika menegang sesaat dan senyum miris hadir di wajahnya. Brengsek Darja!
Cewek itu tak mengatakan apa pun, mengabaikan apa yang baru saja diucapkan oleh Darja. Setelah tasnya rapi, ia meninggalkan Darja di kafe itu, menegakkan tubuhnya dan meyakinkan dirinya sendiri, bahwa apa yang dikatakan oleh Darja tidak akan menghalanginya untuk move on.
Tbc
Kenal Mas Laksa? Kalau enggak, kenalan dulu di Ketua Senat :p
Regards,
Arista vee cek ig aristavstories, di sana aku akan berbagi apa pun seputar ceritaku. Dari mulai cast, info novel baruku dan lainnya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro